Setelah kejadian menggairahkan dengan Alberto di ruang pribadi Jessica tadi, Elena jadi tak fokus bekerja. Perhatiannya buyar. Entah disadari atau tidak, belaian dan remasan tangan Alberto tadi terus terngiang-ngiang dalam benaknya. Sungguh, sebuah sensasi aneh yang bahkan belum pernah Elena rasakan dan dapatkan sebelumnya dari seorang Nathan, yang notabenenya adalah kekasih hatinya sendiri.
“Elena?” panggil Tiffany, rekan kerja Elena.
Elena langsung menoleh, “Ya?”
“Maaf mengoreksimu sedikit, tapi bagian yang ini seharusnya ditulis di kolom yang ini,” ucap Tiffany seraya menunjuk ke salah satu dokumen kantor.
Elena menghela napas sejenak, “Astaga ..” Elena lanjut bicara seraya tersenyum, “Thanks atas bantuannya, Miss Tiffany.”
“Sama-sama,” ucap Tiffany ramah. Tiffany lanjut bicara seraya menatap Elena bingung, “Kamu kenapa? Aku perhatikan sepertinya kamu jadi kurang konsentrasi seperti ini?”
Elena tersenyum tipis. “Aku tidak apa-apa kok,” bohongnya.
Tiffany terdiam sejenak sebelum kembali bicara, “Kamu .. dimarahi Miss Jessica ya?”
Elena langsung menggeleng, “Ah, tidak. Tidak sama sekali. Miss Jessica baik, kok. Aku .. aku hanya sedang kepikiran ayah dan ibuku saja ..”
Tiffany menatap Elena iba, “Semangat, Elena. Aku yakin, semua pasti akan baik-baik saja.”
Elena hanya tersenyum kecut. ‘Tidak, semua tidak akan baik-baik saja selama masih ada Alberto dalam hidupku,’ benaknya getir.
Tak lama setelahnya, Jessica, sang manager HRD tempat Elena dan Tiffany bekerja, kembali menghubungi Elena. “Elena? Bisa ke ruangan saya sebentar?” ucapnya.
‘Lagi?’ benak Elena kecut—dirinya tahu kalau Alberto masih ada di sana. Elena mengangguk perlahan, “Baik, Miss.”
Begitu sampai di ruangan pribadi Jessica, rupanya dugaan Elena terbukti adanya. Alberto Romano masih ada di sana.
Elena menatap Alberto sebal. ‘Ternyata benar dugaanku. Laki-laki kurang ajar ini belum pergi juga,’ benaknya. Elena lanjut bicara pada Jessica, sama sekali tak mempedulikan keberadaan Alberto, “Ada perlu apa, Miss?”
Jessica tersenyum ramah seraya memberikan pada Elena sebuah map plastik berisi beberapa lembar dokumen, “Tolong berikan dokumen ini pada Mister Albert. Suruh dia menandatangani lembar persetujuannya.”
Elena langsung mengangguk seraya menerima map plastik tersebut, “Baik. Ada lagi?”
Jessica menggeleng, “Tidak, itu saja.”
Elena baru saja berjalan beberapa langkah menuju pintu keluar ruangan pribadi Jessica, saat tiba-tiba Alberto memanggil dirinya kembali. “Elena?” panggilnya—yang sedaritadi tak bisa melepas pandangannya dari wajah cantik Elena.
“I .. iya, Mister Alberto?” ucap Elena terbata-bata.
Alberto tersenyum manis, “Nama yang cantik. Sama seperti wajahmu.”
Elena tersenyum tipis, “Te .. terima kasih.” Dengan cekatan, Elena langsung pergi meninggalkan ruangan pribadi Jessica.
Segera setelah Elena pergi, Jessica beralih bicara pada Alberto lagi. “Mau sampai kapan kamu seperti ini, Alberto?” ucapnya dengan raut wajah yang terlihat sedikit risih.
Dahi mulus Alberto langsung mengerut, “Apa maksudmu?”
Jessica tersenyum miring, “Kamu tidak sedang berencana untuk mengunjungi tempat kerjaku setiap hari hanya demi Elena, kan?”
“Kalau iya, kenapa memangnya?” tantang Alberto.
Jessica menghela napas sejenak, “Aku tidak nyaman bekerja seperti ini, Alberto. Kamu memecah konsentrasiku.”
“Maaf,” ucap Alberto acuh tak acuh.
“Kalau memang tujuanmu mau melihat Elena, tunggu saja di ruangan lain,” lanjut Jessica. Jessica terdiam sejenak sebelum kembali bicara, “Ah, aku tahu. Di basement ada kafe kopi yang baru buka belum lama ini. Kamu bisa menunggu di sana.”
Alberto tersenyum ramah, “Jadi kamu mengusirku secara halus?”
Jessica membalas senyum Alberto, “Bisa dibilang begitu.”
Alberto menghela napas sejenak, “Baiklah. Jika itu maumu, aku akan pergi sekarang.” Alberto merapihkan pakaian dan jam tangannya sejenak sebelum akhirnya pergi meninggalkan Jessica sendirian, “Terima kasih atas bantuanmu, Miss Jessica.”
Jessica menggeleng seraya tersenyum, “No, aku yang berterima kasih padamu karena sudah mau menjadi investor di perusahaan ini, Alberto.”
Alberto menatap Jessica serius, “Berterima kasihlah pada Elena. Semua ini aku lakukan demi dirinya.”
“Yeah. Semoga sukses.”
“Sukses untuk apa?” ucap Alberto bingung.
“Mendapatkan hati Elena, bodoh,” canda Jessica.
Alberto hanya tersenyum lebar.
Jessica lanjut bicara lagi sebelum Alberto pergi, “Ah, satu lagi.”
“Apa?”
“Hari ini semua karyawan dipulangkan tepat pukul empat sore. Ya, siapa tahu kamu mau mengantar Elena pulang ke rumahnya kan?” ucap Jessica seraya tersenyum nakal.
Alberto menyeringai lebar seraya mengedipkan satu matanya, “Ide yang bagus.”
*****
Sorenya sepulang kantor, hujan deras malah turun. “Aduh, kenapa harus hujan deras di saat seperti ini sih?” dengus Elena kesal.
Beberapa saat setelahnya, suara Alberto lagi-lagi kembali mengagetkan Elena. “Elena?” panggilnya dengan suaranya yang terdengar amat berat.
‘Oh, astaga,’ benak Elena terkejut. “Alberto? Kamu belum pulang daritadi?” ucapnya bingung.
Alberto menggeleng seraya tersenyum, “Belum, aku baru saja menghabiskan waktuku buat minum kopi di kafe.”
“Kafe mana?” tanya Elena penasaran.
“Kafe yang baru buka di basement kantormu,” jawab Alberto ramah.
“Ah, begitu ..,” ucap Elena cuek.
Alberto lanjut bicara seraya memegangi lengan Elena, “Mau aku antar pulang?”
Elena langsung bergerak menjauh, “Tidak! Tidak usah, terima kasih. Aku naik kendaraan umum saja ..”
“Okay, kalau itu maumu,” ucap Alberto santai. “Selamat sore, Elena,” lanjutnya sebelum akhirnya pergi menuju tempat dimana mobil jaguar hitamnya diparkir.
Elena hanya tersenyum tipis.
Setelahnya, Alberto tak benar-benar pergi meninggalkan Elena. Hatinya mana sanggup meninggalkan Elena sendirian begitu saja? Apalagi Elena sudah dianggap seperti bongkahan permata bagi seorang Alberto Romano. Dan sudah selayaknya bongkahan permata, setiap orang pasti menginginkan untuk memiliki Elena. Dengan sabar, Alberto terus menunggu sendirian dan menatapi Elena dari kejauhan di balik lindungan mobil jaguar hitamnya.
Elena mulai panik, “Aduh, kenapa sama sekali tidak ada bus yang lewat ya? Bagaimana aku akan pulang kalau seperti ini ..”
Setelahnya, Elena beranjak menelepon Nathan, kekasih hatinya. Namun sayang seribu sayang, ponsel lelaki tampan keturunan setengah Perancis itu malah sedang tak aktif. Elena mengehela napas panjang, “Ponsel Nathan juga tidak aktif ..”
Bunyi klakson yang sedikit memekakan telinga terdengar beberapa saat setelahnya. “Mobil siapa itu?” ucap Elena bingung.
Sang pemilik mobil mewah itu membuka jendela mobilnya setelahnya, “Elena? Kamu yakin tidak mau pulang bersamaku?”
Begitu melihat Alberto yang ada di dalam mobil mewah itu, Elena langsung menggeleng seraya membuang muka, “Tidak usah, aku naik kendaraan umum saja.”
Alberto menatap Elena serius, “Tidak akan ada bus yang lewat, Elena. Apalagi hujannya sedang deras seperti ini. Kamu mau menunggu semalaman?”
Elena terdiam sejenak untuk berpikir. Sepertinya ucapan Alberto benar adanya. Memang tidak ada bus yang lewat sedaritadi dirinya menunggu. Lagipula Alberto juga sudah mengetahui alamat rumahnya, bukan?
Alberto tersenyum manis, “Tenang saja, aku tak akan menculikmu, kok.”
Elena menghela napas panjang, “Baiklah ..”
“Pakai sabuk pengamanmu,” ucap Alberto pada Elena, yang kini duduk di kursi penumpang persis di samping dirinya.
Elena menatap Alberto bingung, “Yang mana?” Maklum, sepanjang hidupnya, Elena hampir tak pernah naik mobil. Apalagi mobil mewah sekelas jaguar.
Alberto bergerak perlahan mendekati Elena lalu memasangkan sabuk pengamannya, “Yang ini.”
Alberto menelan ludahnya dengan kasar setelahnya. Dirinya dapat melihat samar-samar bagaimana bentuk gundukan ranum Elena yang nampak dari balik bra dan kemeja kerjanya yang sedikit basah karena terguyur air hujan tadi. ‘Damn,’ benaknya.
“Te .. terima kasih atas tumpangannya,” ucap Elena kikuk.
Alberto bergerak menjauh setelahnya, lalu mulai menyetir mobil jaguar hitamnya dengan serius.
Sepanjang perjalanan, Elena yang tadinya hanya terdiam di tempatnya akhirnya kembali bicara begitu melihat ke mana Alberto membawa dirinya. “Kita mau ke mana, Alberto?” ucapnya bingung nan kesal di saat yang bersamaan.
Alberto menyeringai nakal, “Pulang, Elena sayang.”
Elena menatap Alberto tajam, “Pulang? Tapi ini kan bukan jalan pulang ke rumahku?”
Alberto menggeleng perlahan, “Bukan pulang ke rumahmu, Elena, tapi pulang ke rumahku.”
Dahi mulus Elena langsung mengerut, “Apa?”
Alberto menatap Elena sejenak, “Tinggallah bersamaku malam ini.”
♥♥TO BE CONTINUED♥♥