BAB 5

1003 Words
Setelah sholat subuh Bara memutuskan kembali ke asrama melanjutkan mimpinya. Sementara para santri yang lain bersiap memulai kelas pelajaran. Ia sama sekali tidak berniat mengikuti kelas pelajaran karena menurutnya dirinyalah yang pantas menjadi guru bukan murid mengingat pendidikannya lebih tinggi. Sehingga ia meremehkan para santri juga pesantren. Matahari mulai terang menghangatkan lingkungan pesantren, ketika Pak Kiai mengetuk pintu asrama. Bara mengabaikan berpikir biarkan saja santri lain yang membukakan pintu. Pintu di ketuk lagi, kemudian barulah ia sadar bahwa hanya dirinya yang berada di kamar. Bara beranjak malas dari tempat tidur, membukakan pintu perlahan. Seketika matanya mengerjap beberapa kali karena terkena sinar matahari. " Assalamualaikum" Pak Kiai mengucap salam " Kenapa?" Bukannya menjawab Bara malah bertanya. " Kalau ada yang mengucap salam seharusnya kamu menjawabnya" " Waalaikumsalam" sahut Bara cepat. Pak Kiai memberikan baju Koko dan sarung masing masing tiga buah juga satu buah peci putih. Bara menerimanya sambil mengerutkan keningnya. " Buat paan, ni?" . " Gantilah pakaianmu dengan sarung dan Koko itu lalu pergilah ke pendopo, ikutlah belajar seperti santri yang lain" ucap Pak Kiai memerintah sekaligus memberitau. " Harus banget, ya?" Tanya Bara malas. " Kamu juga santri di sini sama seperti mereka, jadi kamu juga harus belajar bersama sama dengan mereka" jelas Pak Kiai. " Ya udah, iya. Gue ganti baju dulu. Pak tua pergi gih..banyak kerjaan kan?" Ucap Bara santai. " Baiklah, setelah berganti pakaian, kamu langsung ke sana, Abi tunggu" " Abi? Siapa lagi tuh, Abi?" Tanya Bara semakin mengerutkan keningnya. " Nanti juga kamu akan tau" jawab Pak Kiai kemudian melangkah meninggalkan Bara. Bara pun kembali menutup pintu dan berganti pakaian. Setelah selesai ia bercermin, menatap dirinya sendiri. Sekilas ia teringat terakhir kali memakai pakaian seperti ini. Ketika sholat tarawih bersama mamanya. Bara terdiam, tak terasa air mata menetes dari sudut matanya. Hatinya terasa ngilu jantungnya berdetak cepat. ' Bara akan selalu berdoa buat mama' batinnya. Ia tersadar dari lamunan, mengusap sudut matanya kemudian berjalan keluar kamar menuju tempat di tunjukkan Pak Kiai. Di sana para santri tampak fokus dengan materi hari ini yang tengah membahas kekuatan surah Al Fatihah. Bara pun mendengarkan dengan seksama, sepertinya ia mulai tertarik. Ayat demi ayat di bacakan, di terjemahkan lalu di jabarkan agar mudah dipahami. Bara mulai serius mendengarkan penjelasan. Pelajaran berlangsung hingga pukul setengah dua belas siang, setelah itu para santri kembali ke asrama sebelum melaksanakan shalat zhuhur. Bara masih mengikuti serangkaian kegiatan di pesantren itu karena ia tidak tau apa yang akan ia lakukan. " Kamu bisa ngaji?" Tanya Fadilah " Nggak!" Sahut Bara singkat. " Kenapa?" Bara balik bertanya. " Ndak, Pak Kiai menyuruh saya mengajarkan kamu membaca Alquran" " Boleh, kapan kita mulai, sekarang?!" Bara bertanya, ia memang harus belajar apa yang ia tidak ketahui. Setelah mengikuti pelajaran tadi, terbersit dalam benaknya ingin mempelajari ilmu agama agar bisa mengirimkan doa untuk mamanya. " Keren tok, ndak bisa baca Qur'an buat apa?" Celetuk Iqbal. " Keren ngga menjamin masuk surga, mas Bara" sambung Iqbal, membuat rahang Bara mengetat sambil memejamkan mata menahan marah. " Sabar, balajar menahan emosi" ucap Fadilah menepuk pundak Bara pelan. *** " Pa, bagaimana dengan rencana perjodohan Bara dengan Haura?" Sofie bertanya sambil meletakkan secangkir kopi di meja ruang keluarga. " Papa juga ngga tau, ma. Bagaimana cara menyampaikannya pada Bara, biarlah Pak Kiai yang menyampaikan..." Sebastian menyahut lalu menyeruput kopinya. " Betul juga..." ' buat apa repot repot, biarkan saja pak kiai yang akan memperlancar rencanaku tanpa harus aku bertindak dengan mulutku' batin sofie "tapi apa Bara mau mendengarkan Pak Kiai, pa?" " Ya, semoga saja, ma. Karena ini juga adalah amanat mamanya. Mungkin Bara akan menurut" Ayah Salma yang tak lain adalah eyang kung Bara sudah berkawan lama dengan Habib Hasan, ayahnya Pak Kiai Umar Ghani. Salma dan Zahwa-almarhumah ibunda Haura mengandung pada waktu yang bersamaan, hanya berbeda dua bulan usia kandungan. Ketika itu Salma berharap anak yang dikandungnya laki laki dan ia berharap anak yang di kandung Zahwa perempuan. Kemudian Salma dan Zahwa berniat menjodohkan anak mereka jika memang berjodoh. Tapi sayangnya ibunda Haura meninggal dunia setelah melahirkan. *** Di suatu tempat, tepatnya markas Silent Boom-geng motor yang di pimpin Bara, tengah mempersiapkan penyerangan terhadap geng motor lain. Banyak geng motor baru bermunculan saat tau Bara sudah tidak lagi memimpin. Mereka menaruh dendam pada Bara karena kekalahannya. Ada juga gadis gadis yang bergabung dengan mereka karena merasa disakiti oleh Bara. Mortal Enemy, adalah geng motor musuh bebuyutan geng motor Bara. Segala peralatan penyerangan di letakkan menjadi satu di meja, satu persatu anggota geng memilih senjata tajam yang di inginkan. Kemudian mereka beramai-ramai menuju tempat yang sudah ditentukan. Bentrok kembali terjadi, bayangkan saja enam kelompok geng motor se-Jakarta bersatu dan menyerbu geng motor Silent Boom untuk membalas dendam anggotanya yang tewas dalam suatu keributan, sebenarnya itu hanya di jadikan alibi yang di gunakan oleh ketua Genk mortal Enemy Bentrokan terjadi sebagai upaya balas dendam atas pembunuhan salah satu anggota geng motor. Untuk melampiaskan niatnya, mereka menggandeng 5 geng motor lainnya. Bayu, orang yang dipercaya menggantikan Bara sementara, kewalahan dalam mengatur anak buahnya karena tidak menyangka akan begitu banyak yang menyerang mereka. Ia tidak memperkirakan enam geng motor bersatu menyerang mereka bersamaan, tentu saja kekuatan tidak seimbang. " b******k!" ucap Bayu membanting pistol yang ia gunakan tadi. " coba aja Bara ada disini...kita ngga bakal kalah kayak gini!" semua anggota sibuk saling mengobati luka, beruntung tidak ada korban yang menghilangkan nyawa teman temannya. " mereka terlalu banyak, Bay.." celetuk Jason sambil mengoles obat di lengannya. " kita harus atur strategi buat nyerang balik!" putus Bayu. " gue rasa jangan dulu, Bay...kita jemput paksa Bara, baru kita atur siasat" celetuk Boim. Bayu mengangguk setuju. Bayu tampak diam seperti tengah berpikir " jangan, kita jangan dulu bertindak, jangan maksa Bara balik juga..." Bayu menjeda ucapannya Boim mengerutkan keningnya bingung " tadi Lo bilang iya, Bay... sekarang laen lagi...ah, plin plan, lo" " biarin dah ah, udah lo obatin tu jidat Lo sendiri!" Bayu memang belum bisa mengatakan apapun, jadi ia hanya bisa diam seribu bahasa Menunggu titah sang boss yang sedang mendalami ilmu agama
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD