Malam harinya, Bara terlihat mondar mandir, ia sangat kesal karena alat komunikasi satu satunya di situ oleh Pak Kiai. Alasannya di pondok tidak ada santri yang boleh menggunakan benda pipih itu apalagi merokok.
" ah elah! jadul banget ni pondok! masa hp di larang! lah orang mau tau ada kemajuan apa kan susah, mau tau gosip juga gak bisa!"
" HAAAH " teriak Bara kesal
Di pondok, jika ingin menghubungi keluarga para santri terbiasa datang ke rumah Pak Kiai, karena hanya disana yang terdapat telepon sebagai sarana komunikasi. Para santri yang nakal juga sering mencuri curi menggunakan komputer yang ada di lab komputer, mereka menggunakan aplikasi seperti f*******:, Twitter, atau i********: untuk berkirim pesan.
" Assalamualaikum" jawab Pak kiai ketika mengangkat gagang telepon. " Waalaikumsalam, Haji Umar. Gimana kabarnya sehat?" Tanya seorang sahabat dari ujung telepon. " Alhamdulillah, Haji Fariz. Ya Allah gimana kabar ente, ji?" Sahut Pak Kiai
" Alhamdulillah, ane sehat. Gini, ji..ane mau minta tolong nih.." ucap Haji Fariz
" Ane kan, ada undangan ceramah di Semarang. Nah, ternyata ane juga dipanggil habib tofik diminta nyusul ke Kairo. Kira kira Haji Umar bisa ngga ni..gantiin ane ke Semarang?" Sambung Haji Fariz menjelaskan.
" Waduh..ane kan juga harus ke Banten, ji. Gimana ya?" Pak Kiai tampak bingung.
" Ke Banten mah suruh aje ustad Kosim apa ustad Hendra, ji. Gimana?" Usul Haji Fariz. Pak Kiai terdiam tampak berpikir, pasalnya seminggu lagi orang tua Bara akan datang untuk membicarakan pernikahan Bara dan Haura. " Oke, deh. Ntar ane atur, ji " sahut Pak Kiai akhirnya. " Nah, cakeepp. Gitu dong, ji. Makasih banyak ni ane..soalnya habib dadakan banget, ji. Maap dah ya, jadi ngerepotin nih..nanti satu muharom ane ke pondok Haji Umar dah..". Haji Fariz mengucap janji. " Serius ni, ji. Ane tunggu pokonya". " Iye..ya udah ane tutup dulu teleponnya, ji. Makasih banyak ni sekali lagi. Assalamualaikum " Haji Fariz pami lalu memutuskan sambungan telepon. " Waalaikumsalam warahmatullahi wa barakatuh".
Bara melangkah perlahan mengendap endap menuju lab komputer, ia berniat mengirim pesan pada salah satu temannya agar menjemputnya ke pondok. Tidak mungkin ia menunggu mobil pick up yang membawa bahan makanan, terlalu lama bagi Bara.
" Langit!" Panggil Pak Kiai mengejutkan Bara ketika ia akan membuka knop pintu.
" Astagaaa..! Pak tua! Ngagetin aja!" Ucap Bara mengusap dadanya lantas memutar bola matanya malas. Pak Kiai tersenyum,
" Bisa ikut Abi ke rumah sebentar?"
" Mau ngapain?" Tanya Bara mengerutkan keningnya. " Ada sesuatu yang ingin Abi sampaikan". " Bisa ntar aja ngga? Gue lagi sibuk!" sahut Bara enteng masih hendak melangkah masuk ke rumah lab
" Tidak bisa, Langit. Harus sekarang juga" Pak Kiai menarik pelan bahu Bara.
" Hadduuuhhh! apalagi dah ah! "
" besok aja napa, pak tua!"
" harus sekarang, Langit! tidak bisa tidak!" jawab pak kiai tegas
" Hhhuuufffttt, ada aja halangannya" gumam Bara mengeluh pelan tapi masih bisa terdengar Pak Kiai. Pak Kiai hanya tersenyum menanggapi gumaman Bara.
***
Lagi lagi Bara harus menunda untuk keluar dari pondok. Ia mengikuti langkah Pak Kiai dengan terpaksa. Yang ada di benaknya hanyalah gengnya, pasti akan banyak yang tiba tiba datang menyerang hingga kemarkas mereka karena mengetahui ketidak beradaan Bara di sana.
Sesampainya di rumah Pak Kiai, Bara dipersilahkan duduk, Pak Kiai menyuruh Haura membuatkan tiga gelas teh hangat dan secangkir kopi. Bara mengerutkan keningnya heran, kenapa tiga gelas teh? Sedangkan kopi pastilah diperuntukkan untuk Pak Kiai. Tak berapa lama datang ustadzah Yani dan ustadz Hendra -suaminya, " disini kalo cari pasangan hidup harus dari sini juga ya?" Tanya Bara menyindir. " Ya, ngga juga mas Langit, Alhamdulillah saya menemukan jodoh saya disini" sahut ustadz Hendra.
" Sambil menunggu Haura membuatkan minum, Abi akan langsung menyampaikan maksud meminta kalian datang ke sini" Pak Kiai memulai pembicaraannya. " Langit, kenapa kamu? Kamu cari apa?" Tanya Pak Kiai melihat Bara yang celingukan seperti mencari sesuatu. " Em...gua mau ke toilet..iya, ke toilet. Sebelah mana?" Sahut Bara gugup. Padahal Bara celingukan mencari ponselnya yang di sita. " Oh, Abi kira kamu kenapa.. toilet ada dibelakang, ada Haura di sana, tanyalah pada dia". Bara bergegas berdiri lalu berlajan ke belakang. " Astaughfirullahalazim, Ka..kamu mau ngapain?" Haura terkejut melihat Bara yang tiba tiba muncul. Ia sedang mengaduk teh dan kopi untuk di bawanya kedepan. " Heh! Barang gua yang di sita bapak lo, taro dimana?" Bukannya menjawab Haura, Bara malah mengajukan pertanyaan dengan sinis.
" Mana saya tau! Cari aja kalo ketemu..ambil!
barang jelek aja ditanyain!" Jawab Haura ketus lalu meninggalkan Bara di dapur sambil membawa nampan. " Aaarrrgghh!" Bara mengacak rambutnya gusar. Ia berbalik menuju ruang tamu kembali karena tidak menemukan yang dicarinya
Bara duduk dan langsung meminum teh hangatnya tanpa meminta izin terlebih dahulu. " Kenapa gua dipanggil kemari? Buruan deh ngomong, udah ngantuk nih.." ucap Bara setelah meletakkan kembali gelasnya ke atas meja.
" Assalamualaikum, Pak Kiai maaf saya terlambat" salam Fadilah ketika baru tiba dan menyalami semua yang ada di sana.
" Waalaikumsalam"
" Nah, ini dia yang ditunggu tunggu sudah datang" ujar Pak Kiai. Yang bersangkutan senyum senyum merasa orang penting karena mereka menunggunya. Bara sudah akan membuka mulut untuk mengajukan protes ' siapa yang nungguin?' namun Pak Kiai keburu berucap. " Langsung saja Abi sampaikan sekaligus meminta tolong, lusa Abi akan ke Semarang. Ada undangan ceramah disana, sedangkan undangan di Banten akan Abi utus ustadz Hendra. Kemungkinan Abi pergi selama satu Minggu, itupun kalau tidak di undang datang langsung ke Kairo.." Pak Kiai menjeda ucapannya agar Bara mengerti, sebab yang lain pastilah sudah mengerti. Tapi yang ada di benak Bara justru rencananya untuk melarikan diri akan semakin mudah karena Pak Kiai tidak berada di pondok. " Maaf Pak Kiai, untuk membantu memberitau pengairan sawah di ujung desa itu nanti siapa Pak Kiai? Kalau ustadz Hendra pergi ke Banten?" Fadilah bertanya. " Justru itu Abi meminta Langit kesini, tugas itu akan Abi berikan pada Langit" . Sontak Bara mendongak, ia mengerutkan keningnya bingung. " Tunggu, maksudnya gimana?"
" Jadi begini, Langit..di ujung desa kita, perairan sawah itu masih belum tertata rapi, karena banyak warga memakai cara yang berbeda beda.." Pak Kiai menjelaskan.
" Tugas kamu, memberikan pengarahan pada mereka agar memakai cara yang sama dan menghemat air" sambung Pak Kiai.
Bara terdiam sejenak, " kenapa lo nyuruh gua? Kan banyak santri atau ustadz yang laen?". " Ya, karena kamu calon menantu Pak Kiai..kita tidak bisa memberi tugas pada santri karena tugas ini berada di luar pondok" ustadzah Yani yang menjawab.
Deg.
Jantung Bara dan Fadilah berdebar kencang. Keduanya menoleh lalu saling pandang.
Pasalnya mata ustadzah Yani jereng, jadi Fadilah dan bara siapa yang di bilang kamu oleh ustadzah Yani