bc

Marriage For Sale

book_age12+
757
FOLLOW
3.2K
READ
contract marriage
fated
arrogant
independent
CEO
heir/heiress
comedy
sweet
humorous
like
intro-logo
Blurb

Awan Cakrawala, 26 tahun, lulusan sarjana, pengangguran, tinggal di kamar kos dan bertahan hidup dengan belas kasihan teman-teman atau wanita yang menjadi kekasihnya. Bermodal wajah tampan, Awan yang terkenal playboy mampu menaklukkan hati wanita mana pun. Kecuali satu wanita.

Adelia Wiratmadja, 30 tahun, putri satu-satunya, menghabiskan masa usia 20 tahunnya untuk membangun bisnis kafe yang sukses. Menolak dijodohkan dan ingin mencari calon suami sendiri. Kriteria: pria yang tidak akan ikut campur urusan hidupnya. Adel bahkan siap membayar demi mendapatkan calon suami yang diinginkannya.

Ketika Awan dan Adel bertemu, Adel langsung tahu, dia menemukan calon suami yang diinginkannya. Sementara, Awan pikir ia mendapatkan apa yang dia butuhkan ketika Adel menawari pernikahan dengan bayaran yang menggiurkan bagi Awan. Ia pikir ia beruntung, sampai Adel meruntuhkan, memporak-porandakan, membanting, bahkan menginjak hatinya.

chap-preview
Free preview
Bab 1 This F Thirty Thing
  Adelia Wiratmadja memijat pelipisnya dengan tatapan tertuju ke layar laptop. Ia sedang membaca laporan keuangan kafenya, tapi bukan itu yang membuatnya pening. Seperti enam tahun terakhir, profit kafenya di setiap cabang tak mengecewakan. Kafe yang memiliki puluhan cabang bahkan hingga di luar kota dan pulau, kafe yang susah payah dibangunnya selama sepuluh tahun terakhir. Namun, bukan itu masalahnya. Adel baru saja genap berusia tiga puluh tahun bulan lalu, tepatnya akhir tahun lalu. Dengan statusnya yang masih single, tidak memiliki kekasih, pun tidak memilik sejarah tentang kekasih, ia sudah terbiasa dengan rumor yang mengatakan ia punya selera yang ‘berbeda’. Adel tidak peduli tentang itu juga. Yang jadi masalah adalah kakeknya. Tony Wiratmadja. Ketua Grup Wiratmadja. Puluhan tahun lalu, kakeknya gagal menjodohkan mamanya dengan pria pilihannya, membuat mamanya memutuskan keluar dari rumah Wiratmadja dan menikah dengan papa Adel atas nama cinta. Kini, kakeknya sepertinya ingin menuntaskan perjodohan itu lewat Adel. Semalam, ketika Adel mendapat kiriman berkas tentang kandidat calon suaminya, Adel hanya bisa tertawa. Tertawa. Kakeknya memberi Adel saham di grup Wiratmadja dan setelahnya, Adel berfungsi sebagai penguat kekuasaan bagi calon suaminya. Belum lagi, ia harus menjalani kehidupan palsu sebagai istri yang bermartabat dari direktur ini atau CEO itu di grup bla bla bla. Adel sudah sukses dengan jerih payahnya sendiri. Di atas semua itu, ia bebas. Tidak ada tekanan, tidak ada aturan. Singkatnya, Adel bahagia dengan hidupnya. Ia tidak butuh suami s****n yang akan memanfaatkan sahamnya dan menuntutnya untuk menjadi istri yang sempurna. Adel menggeram kesal memikirkan itu dan berdiri. Ia menyambar ponsel dan tasnya, lalu keluar dari ruangannya. Siska, sekretarisnya, menghampiri Adel dengan kaget. “Bu Adel mau ke mana? Apa ada janji mendadak atau …” “Aku mau ke kafe,” ucap Adel pendek. Siska mengangguk mengerti. Kalimat itu, tanpa embel-embel mengecek atau audit dan lain-lain, berarti pemberitahuan jika Adel tidak mau diganggu. Adel merogoh ke dalam tasnya mencari kunci mobil, lalu pergi ke basemen parkir VIP, di mana Adel hanya perlu berjalan tiga meter untuk tiba di mobil Audi merahnya. Ia butuh waktu sendiri di kafenya, kafe pertama yang ia bangun di kota ini, kafe yang sudah seperti rumah baginya. Adel selalu pergi ke sana untuk menenangkan diri. Tanpa menunggu lebih lama, Adel melajukan mobilnya melintasi basemen parkir. *** Awan Cakrawala, pengangguran tak berguna yang paling beruntung karena bisa hidup menumpang dompet kekasih cantiknya. Seperti saat ini. Awan dan Vida, kekasihnya, duduk di kafe yang populer di kalangan anak muda di kota itu. Awan memesan setidaknya tiga piring makanan dan tiga gelas minuman. Itu semua, tentu saja, dibayar oleh Vida. Harga diri? Siapa yang peduli? Kalau sampai Awan mati kelaparan, harga diri tidak akan menyelamatkannya. Begitulah ia hidup selama ini. Awan baru saja akan melahap piring pertama makan siangnya ketika Vida berkata, “Aku mau kita putus.” Tunggu. “Gimana, gimana? Kamu bilang apa barusan?” Awan tak yakin dengan pendengarannya. “Aku mau kita putus, Wan,” ulang Vida. “Kenapa?” Awan meletakkan sendok dan menegakkan tubuh, memasang pose keren. Pose yang sudah menahan beberapa mantannya untuk putus, meski pose itu hanya berlaku dua atau tiga kali selama masa pacaran sebelum akhirnya ia diputuskan juga. Jika dengan Vida, pose ini sudah ia lakukan untuk ke … tiga kalinya. s**l. “Sekarang aku yakin, kamu tuh nggak pernah benar-benar cinta sama aku,” Vida berkata. Awan menggeleng keras. “Aku cinta sama kamu, Vid.” Awan tak ingat sudah berapa ratus atau ribu kali ia mengucapkan kalimat itu. Tentunya kepada banyak wanita berbeda. Demi bertahan hidup, tentu saja. Vida mendengus pelan. “Cinta?” Vida menggeleng. “Kamu selalu ketiduran tiap aku telepon dan curhat ke kamu, kamu nggak pernah dengerin kalau aku cerita ke kamu, kamu selalu asyik main HP sendiri kalau kita jalan. Itu cinta?” “Aku selalu ada buat kamu, Vid. Kalau itu bukan cinta, trus cinta itu apa?” Dalam hati, Awan menajis-najiskan dirinya sendiri. Mulutnya najis banget! Ini mulut apa kain pel, sih? Jijik, cuy! Vida tertawa. Dia pasti sudah gila. Awan melirik meja-meja lain. Pagi itu cukup ramai. Meski untungnya meja di sebelahnya kosong. “Aku tahu kok, selama ini yang kamu butuhin dari aku itu cuma uang,” tembak Vida. Ding dong deng! Tepat sekali! Seratus untuk Vida! Awan berdehem, lalu memasang ekspresi setulus mungkin. “Apa cuma sebatas itu penilaian kamu atas aku, Vid? Atas cintaku ke kamu?” Bagus! Itu tadi sudah cukup dramatis. Vida menggeleng. “Aku udah lama tahu tentang itu, tapi aku pikir, aku bisa ngubah kamu dan bikin kamu jatuh cinta sama aku, Wan. Tapi, aku salah.” “Nggak, kamu sama sekali nggak salah,” sahut Awan cepat. “Kamu udah berhasil bikin aku jatuh cinta ke kamu.” Vida mendengus geli. “Seumur hidupku, belum pernah aku lihat orang ngucapin cinta seenggak tulus ini, Wan. Dan aku minta satu hal ke kamu, tolong jangan sembarangan ngucapin cinta ke cewek-cewek kalau kamu nggak serius tentang itu.” “Vid, aku serius!” Awan berusaha meyakinkan, sembari berusaha mengingat-ingat, bagaimana cara membuat tatapan penuh cinta yang ia pelajari dari salah satu temannya, Nugie. Vida tertawa pelan. “Makasih udah berusaha, tapi aku udah nggak bisa lagi bertahan dengan hubungan kayak gini. Mencintai kamu adalah salahku, Wan. Aku harap kamu bisa ketemu cewek yang benar-benar bisa bikin kamu jatuh cinta. Dan mungkin, cewek yang bisa bikin kamu patah hati. Bukan cuma aku, mungkin semua mantanmu dulu juga berharap kayak gitu. Biar kamu tahu, gimana rasanya patah hati.” Mampus, lo! Dikutuk patah hati sama berapa cewek, tuh? Vida berdiri dari duduknya dan tersenyum. “Ini terakhir kalinya aku bayarin makananmu. Bye, Awan.” Lalu, Vida pergi. Awan kontan mengumpat kesal. Ia menatap makanan di mejanya dan menyesal. Seharusnya tadi ia memesan lebih banyak. Awan berpikir cepat, lalu memanggil pelayan kafe. Begitu pelayan kafe tiba, Awan meminta dua piring makanannya dibungkus. Yah, setidaknya nanti malam Awan tidak perlu kelaparan. Awan mendengar perutnya berbunyi, cacing-cacing di sana merecoki minta makan. Awan mengusap perutnya dan berbicara, “Iya, iya, kita makan.” Awan pun menyendokkan nasi goreng sosis ke mulutnya sembari mengambil ponsel dan menelepon gengnya. Untungnya, selain para wanita yang menjadi dompet tumpangannya, Awan punya tiga sahabat yang setia menemani di kala kantongnya kosong. Nugie, yang setia pada pacarnya, bucin abadi, amit-amit. Wika alias w****k alias Pedia dari Wikipedia, si culun pinter yang tahu semua teori tapi praktek nol kosong, dosen muda tapi tidak ganteng. Ramli, anak juragan yang paling sering kasih pinjam duit ke Awan, tapi sampai sekarang tidak sepeser pun dibayar oleh Awan, rada blo’on, dulu lulus kuliah berkat bantuan Awan, jadi dia tidak pernah ragu menyediakan pinjaman duit ke Awan. Iya, meski tidak pernah uang itu kembali padanya dengan selamat. Tak seperti Awan, Nugie sudah bekerja sebagai editor penerbitan, Wiki dosen muda, sementara Ramli, meski sama-sama pengangguran, tapi dia menganggur pun duit sudah segunung. Intinya, dalam persahabatan mereka, Awan yang paling miskin, tapi paling berani dan paling setia kalau harus membela sahabat-sahabatnya. Kalau bukan karena Awan, Wiki pasti sering bolak-balik rumah sakit gara-gara gegar otak dihajar senior-seniornya. Begitu Awan memasukkan suapan terakhir nasi gorengnya, ketiga temannya itu datang bersamaan. Nugie memang kantornya di dekat sini dan ini sudah jam makan siang. Wiki kampusnya juga dekat sini. Ramli rumahnya jauh, tapi keluarganya punya pesawat pribadi. Sebenarnya tidak, bukan pesawat, tapi angkot pribadi. Pastilah Ramli diantar sopir angkot dengan kecepatan layaknya balapan F1. Ketika mereka tiba di meja tempat Awan duduk, Nugie langsung ngakak menertawakan Awan, seperti biasa. Wiki hanya geleng-geleng kepala dan Ramli langsung ngeluarin dompet. “Udah dibayar, Bro,” Awan berkata pada Ramli. Ramli mengangguk dan akan memasukkan dompetnya, tapi Awan menengadahkan tangan. “Tapi, gue nggak ada cash, nih,” Awan mengaku. Nugie semakin ngakak, Wiki geleng-geleng lagi, padahal mereka nggak lagi dugem. Sementara, Ramli yang berhati mulia, memindahkan dua lembar seratus ribuan dari dompetnya ke tangan Awan. “Sori, Bro, gue nggak bawa duit banyak. Salah ambil dompet tadi,” jelas Ramli. “NJIR SULTAN! Dompetnya ratusan …” celetuk Nugie. “Lebih!” sahut Awan. Mereka berempat kompak tertawa. Receh memang. Saat itulah, terdengar deheman keras dari meja sebelah. Awan menoleh dan melihat seorang wanita mengenakan stelan kerja warna hitam, rambut hitam sepunggung dikucir kuda dengan kencang, dan tatapan tajam tertuju pada Awan. “Maaf, Mbak,” ucap Awan pelan. Diam-diam Awan memperhatikan wanita itu ketika dia sudah tak lagi menatap Awan. Bibir tipisnya dipoles lipstick merah. Hidung mancung, kulit putih, tulang pipi tinggi, bulu mata lentik. Cakep banget sih, tapi jutek. “Korban baru, Bro?” Nugie menyenggolnya. “Kagak, Bro. Ngeri. Langsung dislepet gue ntar,” balas Awan pelan, membuat ketiga temannya tergelak. Namun, tiba-tiba terdengar gebrakan di meja sebelah. Awan sampai terlonjak kaget. Ia menoleh ke meja sebelah dan wanita cantik tapi jutek itu sudah berdiri dan menatap tajam ke arah Awan. “Ini tempat umum, tolong jangan bikin keributan,” wanita itu mengingatkan dengan nada ketus. Wanita itu kemudian menatap meja Awan dan mendengus. “Kalian punya member card?” Awan mengerutkan kening tak mengerti. Member card apa? Alfamart? “Maaf, Mbaknya karyawan mana, ya? Alfamart? Indomart?” tanya Awan dengan sopan. Wanita menggeram kesal, lalu berteriak, “Nugie!” Di sebelah Awan, Nugie berdiri sambil mengangkat tangannya. “Saya, Mbak?” Wanita itu melotot kesal, lalu menatap sekeliling dan kembali berseru, “Nugie!” Lalu, muncul seseorang berseragam kafe menghampiri wanita itu. Seorang pria berkacamata dengan name tag Nugie S. dengan title Manajer. Awan menyenggol Nugie. “Kembaran lo, Gie?” Nugie menggeleng. “Mirip nama doang bukan berarti kembar,” bisik Wiki. “Kebiasaan nih, otak nggak dipakai.” “Iya, tadi gue tinggal di kos,” balas Awan asal. “Iya, Bu? Ada masalah apa?” tanya Nugie si Manajer kafe pada wanita galak tadi. Wanita galak itu mengedik ke arah Awan dan gengnya. “Cek apa mereka punya member card kafe ini. Dia udah ngabisin makanannya dari beberapa saat lalu dan belum pesan apa pun lagi. Kalau dia bukan member VIP kita, harusnya dia udah pergi dari tadi, kan? Ditambah lagi, dia bikin ribut di sini.” Wah, songong banget nih cewek! “Mbak, tolong yang sopan, ya. Jangan mentang-mentang Mbak member VIP, trus bisa seenaknya ngomong gitu ke kita. Kita juga bisa pesan, kok. Ini teman saya, si Ramli, anak juragan angkot sama rental mobil. Mobilnya banyak! Lebih banyak dari yang Mbak punya. Mau Mbak punya member card kafe ini, member card Alfamart, member card Indomart, nggak seharusnya Mbak merendahkan orang lain kayak gitu,” tegur Awan panjang lebar. “Mas, maaf, tolong jangan …” “Nggak, Gie, gue nggak bisa,” Awan memotong kalimat Nugie si Manajer dengan gaya sok kenal. “Mbak-Mbak songong ini nggak bisa dibiarin. Gue udah minta maaf juga tadi karena ngakak terlalu keras. Tapi, dia emang lagi sensi kayaknya. Ya, kalau mau cari ketenangan, jangan di tempat umum. Iya, kan, Gie?” Awan menatap si Manajer, meminta pembelaan. Nugie si Manajer tampak bingung dan panik. Sementara, wanita galak tadi menatap Nugie tajam, lalu menatap Awan. “Kalau sampai dia dipecat,” wanita galak itu menunjuk Nugie si Manajer meski tatapannya masih tertuju pada Awan, “itu salah kamu.” Awan mengerutkan kening bingung, tapi segera sadar. “Oh, Mbak kenal sama yang punya kafe ini? Makanya Mbak seenaknya gitu? Mbak, tuh …” “Kamu dipecat,” wanita galak itu memotong kalimat Awan dengan berbicara pada Nugie si Manajer. Lalu, wanita galak itu pergi. “Bu, Bu Adel, tunggu, Bu!” Nugie si Manajer mengejar si Bu Adel tadi. “Njir, gimana nih, Bro? Lo buat makan sehari-hari aja masih ngutang sama Ramli. Gimana lo mau menghidupi kembaran gue?” bisik Nugie. Awan mengumpat kesal, lalu ikut mengejar Bu Adel yang super galak dan temperamen itu. Gila banget tuh cewek! Cantik-cantik kayak monster! Awan memaki dalam hati. ***   

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Siap, Mas Bos!

read
13.6K
bc

Tentang Cinta Kita

read
190.6K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

My Secret Little Wife

read
98.7K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
206.2K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.7K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.5K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook