Alina Elega

731 Words
Alina pov "Alina." "Ya Mrs. Diana?" "Lusa besok kau akan mewakili Bramasta di Olimpiade sains." Ah, sudah biasa ini bagiku. Tak heran jika aku sering menjadi perwakilan Bramasta dalam segala Olimpiade. Aku pintar, selalu menjadi sang juara, dan menjadi si gadis peringkat pertama di Bramasta. Tapi, semua itu aku anggap biasa, karena kenyataanya memang biasa, tak ada istimewanya sama sekali. "Ya Mrs. Diana." jawabku, aku tak suka menjawab panjang lebar, karena itu menurutku sangatlah bertele-tele. "Baiklah, anak-anak kalau begitu ibu pergi dulu. Ada yang ditanyakan?" Semua murid didalam kelas kompak menjawab 'Tidak'. Sedangkan aku sudah memutar bola mata karena jengah. Aku tidak suka suara keras dan ribut dari dalam kelas ini. Aku muak, aku suka kesunyian, dan aku lebih suka kesendirian. "Alina, nanti malam ada acara yang dibuat anak rohani. Kita semua akan hadir nanti malam, kamu hadir tidak?" tanya Kanaya teman sebangku. Suaranya sangatlah lembut, tapi aku tak peduli. "Tidak, tidak ada gunanya." Aku lihat ia sedikit terkejut akan jawaban yang aku berikan. Memang benar kan, apa untungnya menghadiri acara anak rohani? Jika bisa membuat hidupku berubah, maka aku akan datang, tapi jika tidak, jangan harap aku bersedia hadir. "Hm tapi kenapa Alina?" Aku menghembuskan nafas panjang, dan menoleh kearah Kanaya, "Sudah aku bilang bukan, jangan banyak bertanya kepadaku, aku tidak suka itu. Lebih baik kamu diam." Terdengar menyakitkan mungkin dihati Kanaya, tapi itu memang aku. Aku tidak suka orang yang banyak bertanya kepadaku, apalagi bertanya hal yang tidak penting. Aku mangambil novel yang ada didalam tas ku, aku membacanya tanpa memperdulikan Kanaya yang berada disebelah ku. Inilah aku, orang yang tak pernah memperdulikan orang sekitarnya. Buat apa juga aku memperdulikan orang-orang disekitarku? Aku saja tidak ada yang memperdulikan. Hah, miris hidupmu Alina. Tak terasa bel pulang sudah berbunyi, aku langsung membereskan buku dan memasukkannya kedalam tas. Aku langsung melangkah keluar dari kelas, langkah ku begitu cepat dan tak sengaja menabrak tubuh seseorang. "Maaf." itu bukan aku yang mengucapkannya. Tapi pria yang baru saja aku tabrak. Aku mengangkat kepala untuk melihat siapa yang baru saja aku tabrak. Seketika emosiku berada diubun-ubun, ingin sekali aku meluapkannya. "Maaf." sekali lagi pria itu meminta maaf. Tapi aku mengabaikannya dan kembali melanjutkan jalanku. Aku berjalan kearah parkiran dan langsung saja masuk kedalam mobil ku. Aku mengemudikannya dengan kecepatan sedang. Dan hanya membutuhkan waktu sekitar 30 menit, mobil yang aku kendarai sudah sampai didepan rumah yang sangat megah. Aku turun dan langsung masuk ke dalamnya, tapi suara teriakan dan bentakan saling bersahutan membuat aku muak. Aku muak dengan suara ini, suara yang sudah sering aku dengar ketika aku pulang sekolah. Tapi, seperti biasa, aku mengabaikannya dan langsung berjalan menaiki tangga. Aku rasa, kamar adalah tempat yang tepat untuk menyendiri. "Alina" "Alina sayang." Baru beberapa langkah, orang tuaku sudah memanggil namaku, terpaksa aku membalikkan badan dan menatap keduanya dengan malas. "Hm?" "Kamu ikut Daddy ke London, kita akan tinggal disana. Dan kau akan menikah dengan lelaki pilihan Daddy." Belum sempat aku menjawab, Mommy sudah berbicara yang hampir sama dengan ucapan Daddy. "Tidak Alina, kamu akan tetap di Indonesia bersama mommy. Mommy akan menikahkanmu dengan lelaki pilihan mommy. Dia dari keluarga kaya Alina, bila kamu menikah dengan dia, kamu akan menjadi ratu dikeluarganya." Aku diam tak menjawab apapun, bahkan tak ada ekspresi terkejut yang aku tunjukkan kepada mereka. Memang jelas, aku terkejut dengan permintaan pernikahan, tapi aku pintar dalam menyembunyikan ekspresi. "Tidak biasa Reina, Alina akan ikut denganku." "Tidak Fandi, Alina akan ikut denganku." "Tidak Reina, kenapa kau keras kepala hah? Aku sudah muak dengan sikap keras kepala mu itu. Lebih baik kita cerai, dan Alina akan ikut denganku. Dia akan aku nikahkan dia dengan lelaki kaya disana." "Cerai? Ok, baiklah kita cerai. Aku juga sudah muak hidup berumah tangga dengan mu." Kali ini aku terkejut bukan main, mereka ingin cerai? "Kalian serius bercerai?" tanyaku dengan suara bergetar. "Iya." jawab mereka kompak. Bagikan dihantam batu, hatiku sungguh sakit, sangat sakit. Ku urungkan niat untuk menuju kamar ku, aku kembali melangkahkan kaki keluar rumah megah ini. Tak berlama-lama aku langsung masuk kedalam mobil, dan mengemudikannya dengan kecepatan tinggi. "Terserah kalian, terserah. Aku benci kalian." teriakku meluapkan semuanya. Tak terasa air mataku menetes membasahi pipiku. Hah, kenapa juga aku menangis, menangisi dua manusia yang sudah menghancurkan hidupku? Yang membuat aku seperti ini. "Aku benci kalian, pisah lah, jika ingin pisah. Aku benci kalian." Aku memukul stir mobil berulang kali, menyalurkan emosi yang sedari tadi aku pendam. "Aku benci kalian."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD