5| Salah Paham

1084 Words
Flo menggeliat dalam tidurnya. Ia memutar tubuhnya ke kanan ke kiri lalu ke kanan lagi. Alarm jam beker di kamarnya berbunyi ia mengulurkan tangannya untuk mematikan alarm itu. Setelah itu ia kembali memiringkan tubuhnya ke kiri. Saat matanya ia usahakan saat itu juga ia melihat sepasang senyum sedang merekah di hadapannya. Sontak Flo terlonjak kaget. "Lo ngapain tidur di sini?" "Terus di mana? Masa di lantai," ucapnya santai. Flo memicingkan matanya curiga. "Lo nggak abis ngapa-ngapain gue, 'kan?" Sandy terkekeh lalu beranjak bangun. "Buka baju lo aja nggak bisa, gimana mau ngapa-ngapain lo." Flo lantas menyilangkan tangannya di d**a dan ujung bawah bajunya membentuk perlindungan. "Lo masih pagi aja udah ngeres, dah sana siap-siap mandi. Bersihin tuh iler." Reflek gadis itu mengusap ujung bibirnya. "Resek lo!" Tawa Sandy membuncah kala mendapati wajah malu gadis itu. Flo beranjak ke lemarinya mengambil seragam dan dalamannya untuk ia bawa ke kamar mandi yang kebetulan berada di kamarnya. Sebelum masuk ia kembali melayangkan tatapannya ke arah Sandy. "Lo." Flo menunjuk laki-laki itu. "Awas kalo ngintip, gue doain lo membusuk di neraka jahannam sana." Sandy bergidik ngeri. "Serem amat. Lagian gue nggak minat sama papan triplek." "Kurang ajaaar!" sulut gadis itu sambil melempar barang di tangannya tanpa sadar. Dan ketika ia menyadari apa yang barusan ia lempar, ia menjerit malu. "Aaa! Keluar lo dari kamar gueeee!" Sandy berusaha menahan tawanya. "CD lo kok gambarnya spongebob gitu sih." Lalu ia segera berlari keluar menembus pintu kamar Flo yang masih tertutup. "Dasar setaaan!" Flo kembali menjerit dengan volume suara yang mampu membangunkan orang se-Rt. *** "Pagi-pagi kok udah ribut. Malu sama tetangga Flo." Papa memarahinya ketika ia baru saja mendaratkan bokongnya ke kursi. "Aku digangguin setan, Pa." "Nggak ada setan-setan! Kamu emang gitu, berisik aja kerjaannya. Awas kamu Papa denger berisik-berisik lagi." Mendengar omelan papanya Flo hanya menunduk takut. Ia lantas mengangguk dan menjawab iya serta mengucapkan permintaan maaf dan janji tak mengulanginya lagi, meskipun tak tau janji itu akan ia tepati atau tidak. Seusai makan ia bersiap-siap di teras rumah. Menunggu papanya yang kini akan mengantarnya. Lalu ia berangkat sekolah. Sesampainya ia di gerbang sekolah lantas Flo melambaikan tangannya ke arah mobil sang papa yang bergerak menjauh. "Wow, jadi inget masa SMA." Flo terlonjak karena suara yang tak asing itu. "Lo kok bisa di sini juga?" Sandy mengendikkan bahunya. "Mulai sekarang gue bakal ikutin ke mana lo pergi." "Hah? Kok gitu." "Ya, kecuali kamar mandi." "Mana bisa gitu?!" "Bisa dong." "Iihh! Jangan ikutin gue!" *** Bagaskara Dwilingga, cowo dengan sejuta pesona. Ketua ekstrakulikuler seni musik dan atlet tennis berprestasi yang dimiliki SMA Cakrawala. Tingginya 178 sentimeter, rambut hitam bergaya fringe, dengan alis tebal yang menghiasi wajahnya. Ia tidak hanya populer di sekolahnya saja, bahkan sampai ke SMA tetangga. Tiara menyenggol bahu Flo. “Kak Bagas,” bisiknya. Sudah dua tahun ini Flo bergabung dalam fandom Bagaskara alias termasuk salah satu cewe yang menaksir cowo itu. Mata gadis itu berbinar kala Bagas melewatinya. “Wangi parfumnya, Ra,” kata Flo sambil memejamkan mata. “Biasa aja. Gantengan juga gue.” Lantas, senyum Flo menghilang. Ia menoleh ke sampingnya dan berlari ke belakang punggung Tiara. “Setannya nongol lagi, Ra!” Sandy berdecak, ia menyilangkan kedua tangannya. “Berapa kali, sih, gue bilang kalo gue bukan setan!” “Lo setan!” teriak Flo sambil mengarahkan telunjuknya ke arah Sandy. “Gue bukan setan. Lo liat dong dengan mata hati lo,” ujar Sandy memelas. “Lo setan!," tukas Hana. “Enyah dari hadapan gue! Jangan ganggu-ganggu gue lagi.” Tiara berulang kali menyuruh Flo diam. Menepuk tangan sahabatnya itu agar tidak menunjuk ke depan. Namun, sepertinya Flo tidak mau mendengarkan dia. Maka, saat ada seseorang yang salah paham dengan sikap Flo, Tiara sudah tidak bisa berbuat apa-apa. “Maaf, gue salah apa, ya?” Suara bariton itu menyentak Flo. Matanya membulat kala ia mengintip dari balik bahu Tiara dan mendapati lelaki yang sudah berdiri di hadapannya. “Mampus gue salah tunjuk.” *** “Bagas!” Panggilan seseorang menghentikan langkahnya. Ia berbalik menghadap orang yang memanggilnya itu. “Ya?” “Ada banyak pendaftar, kayaknya gue butuh diskusi sama kak Fendi, deh. Masalahnya sebanyak ini yang udah-udah itu alasannya bukan karena suka senmus. Tapi karena lo.” Bagas terkekeh. “Bagus, dong. Makin banyak anggota, makin eksis ekskul kita.” “Banyak anggota tapi nggak berprestasi sama aja. Kita harus diskusi bertiga sama Kak Fendi untuk seleksi anggota senmus. Gue, sih, pengennya yang bener-bener berbakat.” Bagas mengangguk. Ia menerima setumpuk formulir yang diberikan Alia. “Oke, nanti gue buat jadwal bareng Kak Fendi.” Kak Fendi adalah mentor di ekskul mereka. Mahasiswa jurusan seni di Jakarta itu sudah dua tahun membimbing ekstrakulikuler di SMA Cakrawala. “Gue tunggu kabarnya,” kata Alia sambil melambai dan berjalan pergi. Biasanya seleksi dilakukan oleh Alia dan Bagas. Namun, karena pendaftar ekskul seni musik tahun ini membludak, Alia dan Bagas membutuhkan Fendi untuk membantu. Bagas termasuk orang yang ramah. Hampir tidak ada yang membencinya. Hanya ada dua alasan orang tidak menyukai Bagas. Karena tertolak saat mendaftar di senmus dan ketidakpekaan Bagas terhadap hati mereka. Walau tidak ada satu pun perempuan yang memikat hati Bagas, ia adalah tipe anak yang humble, friendly, dan terbuka dengan orang baru. Bagas tidak pemilih dalam bergaul, maka dari itu ia termasuk murid populer di sekolahnya. Maka, saat ada orang yang tiba-tiba memakinya, Bagas sedikit terkesiap. Ia tak pernah menerima kebencian seterang-terangan ini. “Lo setan!” Bagas mengernyit. Telunjuk itu mengarah padanya. “Lo setan! Enyah dari hadapan gue! Jangan ganggu-ganggu gue lagi.” Bagas paling tidak suka jika ada yang membencinya. Untuk itu ia mendekati perempuan itu dan bertanya, “Maaf, gue salah apa, ya?” Ia sudah berusaha keras membangun image baiknya. Jadi kalau ada yang menjelekkannya di depan umum, Bagas sangatlah terganggu. Perempuan di depannya tampak tergagap. “I-itu, Kak, ma-maksud aku bukan Kakak.” “Iya, Kak, maafin temen saya. Dia suka eror otaknya.” Di sebelahnya perempuan berambut gelombang itu turut menunduk meminta maaf. Bagas mengangguk paham. Makian itu bukan untuknya. “Oh, oke. Kirain saya ada salah.” Bagas masih bisa menangkap gerutuan perempuan berambut gelombang itu. “Lo, sih, Flo ngapain begitu-gitu.” “Ya, dia kan emang setan.” Dahi Bagas mengerut ‘dia setan?’ apa maksudnya? Ia berdehem. Bermaksud menghentikan perdebatan kecil itu. “Maaf, Kak, kita permisi dulu, ya,” kata perempuan berponi rata. Bagas masih memandang kedua perempuan itu. Bahkan saat Flo dan Tiara sudah menghilang di balik pintu kelasnya. “Aneh,” gumamnya sambil terus menatap lurus.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD