6| Alasan Kamu Datang

1118 Words
Bunyi ketukan papan keyboard mengisi kesunyian ruang perpustakaan siang itu. Sepulang sekolah Flo dan Tiara yang biasanya langsung pulang, hari ini mereka menyempatkan diri ke perpustakaan. Menggunakan wifi perpustakaan untuk menuntaskan sesuatu. “Geser dikit dong, Flo.” Flo lantas bergeleng cepat. Tangannya memegang lengan Tiara erat. Tiara mendesah kesal. “Dia di mana sekarang?” Dia yang dimaksud adalah Sandy. Makhluk halus yang masih bergentayangan di dekat temannya yang takut hantu itu. Flo menunjuk keberadaan Sandy melalui isyarat matanya. Tiara mengerjap, wajahnya sedikit maju untuk berbisik dengan Flo. “Persis berdiri di belakang kita.” “Deket banget malah.” Flo turut berbisik. Sandy menggaruk telinganya yang tak gatal. Ia menunduk dan menempatkan wajahnya di atas kepala Flo dan Tiara. Matanya melihat sebaris kalimat yang diketik di mesin pencari internet. “Cara pengusiran setan.” Sandy bergidik kala melihat foto yang terpampang di layar. “Itu harus nyebur di air kembang?” Flo mengatupkan mulutnya. Tidak ingin merespons pertanyaan Sandy. “Eh, yang lo takutin sama gue apa, sih?” Sandy menegakkan tubuhnya. “Gue nggak seserem setan kayak di foto itu, ya.” Tangannya terulur menunjuk gambar yang ia maksud. “Gue juga nggak hisep darah orang. Liat dong muka ganteng kayak gini lo takutin?” Flo memutar matanya. Tanpa mau melihat ke arah Sandy, Flo membalas ucapan itu. “Lo tembus pandang aja udah serem.” Tiara tersentak. Ia langsung memutar wajahnya menghadap Flo. “Dia ngomong apa?” “Katanya gue nggak perlu takut sama dia. Klise banget, semua setan juga pada bilang gitu.” Bulu kuduk Tiara meremang. Matanya melirik ke kanan dan kiri. Flo tambah merapatkan dirinya kepada Tiara. “Coba cari, deh. Alasan setan gentayangin manusia tiba-tiba,” ucap Flo. Tiara mengangguk. Ia mengetikkan kata-kata yang dilontarkan Flo padanya. “Gue nggak yakin, sih, alasannya bener apa enggak. Tapi kayaknya gue tau.” Sandy tau-tau saja sudah menempatkan wajahnya di samping Flo. Membuat perempuan itu beringsut mundur. “Lo ngapain di situ—” Mulut Flo dibekap Tiara. “Jangan berisik, Flo. Kita di perpus.” “Gue nggak asing sama kalung yang lo pake sekarang.” Sandy menoleh ke samping. Menancapkan netranya pada benda yang melingkari leher gadis itu. Mata Flo sukses membulat. Lehernya naik turun menandakan ia tengah menelan salivanya. “Salah satu alasannya karena ada masalah yang masih berkaitan dengan manusia hidup itu.” Dahi Tiara mengerut. “Lo ada kenal sama makhluk itu, Flo?” Flo mengerjap. “Gue.” Tangannya terangkat menyentuh liontin itu. “Udah ngambil sesuatu miliknya.” *** Kafe Rahasia selalu menjadi tempat nongkrong favorit. Lokasinya yang berada di tengah kota, dengan dekorasi ruangan yang kekinian. Dindingnya bercorak lukisan wajah tokoh terkenal. Seniman lukis dinding tampak menumpahkan semua kreatifitasnya di sini. Pria berkaos polos itu menempatkan bokongnya di kursi bantal. Tangannya asyik menari di tuts laptop. “San!” Lelaki bernama Sandy itu mengangkat wajahnya. Ia melambaikan tangannya kepada lelaki bermasker hitam dan mengenakan topi baseball berwarna senada. “Gue punya berita buruk buat lo,” kata lelaki itu saat ia mendarakan bokongnya di samping Sandy. Sandy terkekeh. “Seburuk apa?” Ia mengambil sebotol air mineral. “Nih, santai dulu. Baru juga nyampe.” Lelaki itu Naufal, penyanyi pendatang baru yang tengah digandrungi kaum hawa. Ia adalah sahabat Sandy sejak SMP. “Dea masih nggak ngabarin lo?” tanya Naufal setelah meneguk minumannya. Jemari Sandy yang tengah mengetik seketika berhenti. Jantungnya berpacu lebih cepat kala nama pacarnya disebut. “Belum. Kenapa?” Naufal merogoh sakunya. Mengeluarkan benda pipih dan membuka layarnya. “Lo liat sendiri.” Naufal memberikan ponselnya kepada Sandy. Memperlihatkan sebuah foto dari postingan **. “Ini siapa?” Terdapat foto Dea dan seorang laki-laki yang tidak Sandy kenal. Awalnya, Sandy merasa biasa saja karena Dea memang orang yang humble dan bergaul dengan siapa saja. Namun, caption yang tertera di sana membuat Sandy merasa membutuhkan penjelasan. “Itu asistennya temen gue. Dunia sempit banget, ya, mungkin tuh cowo nggak tau kalo gue kenal sama Dea. Jadi, fotonya nggak diprivat dari gue.” Sandy mendadak tertawa garing. Ia mengulur tangannya untuk menepuk bahu Naufal. “Mungkin mereka temen deket. Saking deketnya jadi gitu.” Naufal berdecak. “’With My Love’, itu kepsyen buat temen? Yakin?” Lelaki bertopi bergeleng. “Perlu gue kasih yang kayak gimana lagi biar lo percaya, San.” Ia mengambil sebatang nikotin di atas meja dan alat pemantik. “Jadi cowo jangan mau dibegoin gitulah. The real of b***k cinta.” Perkataan Naufal benar. Hal itu membuat rahang Sandy mengeras. Ia mengepal keras menahan sesuatu dalam dirinya. Sandy merasa marah, karena tidak bisa menyangkal ucapan temannya itu. Lantas Sandy mengambil ponselnya di atas meja. Ia memanggil satu nomor secara terus menerus walau tidak ada satu pun panggilan yang diangkat. Kemudian ia mengirim pesan dengan satu buah foto. Bisa jelasin ini siapa? Hari minggu aku ke tempat kamu Tidak ada balasan. Sesering apa pun Sandy mengirimnya pesan. Tetap tidak ada balasan dari orang di seberang sana. Sampai pada akhirnya satu notifikasi yang ditunggu Sandy masuk ke dalam ponselnya. Besok kamu nggak usah ke sini, ya. Atau jangan pernah ke sini lagi. *** “Heh, Sandy lo kenapa nggak bilang dari awal?!” Tiara berseru sambil bertolak pinggang. Flo menggaruk poninya. “Ra—” “Apa?!” Mata Flo melirik ke sampingnya. “Dia diri di situ, lo salah ngadep.” Mulut Tiara mencebik kesal. “Biarin aja.” Lalu ia mendekatkan mulutnya ke telinga Flo. “Dia jawab apa?” Flo menggeleng. “Belum jawab.” Tiara merasa kesal. Buat apa mereka repot-repot ke dukun kemarin, serta waktu yang harusnya ia gunakan untuk berpacaran dengan Beni jadi tertunda karena permasalahan digentayangin-setan-ini. “Gue mana kepikiran. Baru kepikiran sekarang. Kalo memori yang masih gue inget itu, ya, kalung itu.” “Katanya dia baru kepikiran. Ingetannya cuma sebatas kalung ini aja,” jelas Flo kepada Tiara. “Terus lo dapet kalung itu dari mana?” Flo menggigit bibir bawahnya ragu. Tangannya memilin ujung bajunya. “I-itu … gue dapet dari jalan.” Tiara menepuk dahinya tak habis pikir. Ia kira, Flo membeli kalung itu. Tidak menyangka itu hasil nyomot di pinggir jalan. “Jalan mana? Mungkin lo bisa naro kalung itu di tempat asal.” Mata Flo beralih ke kanan dan kiri. Mengingat kejadian di hari minggu kemarin. “Ah, iya, perasaan kemaren tuh Mama gue diceritain warga situ kalau ada kecelakaan. Apa mungkin ini kalung korban kecelakaan itu?” “Berarti kita harus ngembaliin ke pemiliknya. Ke Sandy!” putus Tiara sambil menjentikkan jarinya. Sandy mengusap dagunya ikut berpikir. “Gue kecelakaan?” Ia bergumam yang masih dapat didengar oleh Flo. “Terus keadaan gue gimana? Udah meninggalkah?” Pertanyaan yang membuat tubuh Flo tambah panas dingin.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD