Seperti bunga yang bermekar, seperti angin yang menyejukkan, dan seperti air yang selalu mendampingi. tapi setangkai tanaman penuh duri seperi Ganiya mana mungkin di pandang spesial?
Rasa takut mulai merambat dalam perasaan Ganiya. fikiran buruk serta bermacam kemungkinan sangat menghantui malamnya yang teramat sunyi. setiap detik berfikir, bagaimana mungkin masih ada manusia yang mempedulikannya? apakah masih ada yang mengenalinya? apakah masih ada yang menganggapnya penting?
Setelah apa yang terjadi di supermarket, Ganiya selalu terfikir pria itu. mengapa Ganiya tidak mengenalinya? dari mana pria itu mengenal Rafa? apakah pria tersebut sahabat Rafa dan Ganiya tidak mengenalnya?
segala keluh kesah pertanyaan hanya satu yang benar-benar tidak di suka. kenapa segala hal harus berhubungan dengan Rafa? tidak bisakah semesta membiarkannya hidup dengan tenang?
Berhari-hari telah berlalu, dan rutinitas terlihat semakin monoton. lauk makan tiga hari yang lalu sengaja Ganiya freezer agar bertahan lama. tiga hari pula Ganiya makan malam dengan menu yang sama.
menyiapkan penggorengan untuk memanaskan lauk, menyiapkan sepiring nasi, dan berlalu lalang menyusun gelas pada tempatnya. itu semua Ganiya lakukan dalam keadaan sunyi. bahkan dentingan gelas yang beradu dengan meja terasa sangat mengganggu kesunyian.
Entah apa yang ada di fikiran Ganiya, beberapa gelas yang sudah ia susun justru tersenggol siku dan bertebaran di atas meja. tidak ada ekspresi kesal yang Ganiya tunjukkan. hanya melirik dan kemudian membereskan kekacauan yang ada. syukur tidak ada gelas yang jatuh kelantai atau pecah.
dengan ekspresi kosong Ganiya membereskan kekacauan. tapi sepertinya kekacauan tidak hanya sampai di sana. lauk yang dipanaskan gosong! berasap dimana-mana. bagaimana bisa aromanya tidak tercium?
sepertinya segala sesuatu yang ada di jiwa Ganiya telah mati rasa. penciumannya pun mati rasa sampai tidak sadar ada aroma gosong!
Sedikit panik, tanpa suara Ganiya mematikan kompor. tangannya refleks meraih penggorengan untuk memindahkan ke bak berisi air. tapi dasar fokusnya sudah hilang, Ganiya meraih penggorengan tanpa alas apapun.
"aww... "
ringisnya menahan pedih. Sepertinya kulit tangannya akan melepuh.
"hati-hati."
Entah berasal dari mana suara itu. Seseorang sebagai pemilik suara yang baru berujar itu meraih tangan Ganiya yang mulai memerah. Meniupnya sekilas lalu memasukkan ke dalam bak air.
Saat dinginnya air menyentuh kulit, Ganiya baru tersadar. Bagaimana bisa ada orang lain di kost nya? Tersentak kaget seakan jantung akan melompat keluar, Ganiya terkulai lemas sembari merangkak mundur.
Siapa dia? Kenapa ada di kamarnya?
"lo-siapa?" tanya Ganiya dengan tatapan menahan takut.
Saat kaki orang asing itu melangkah maju, Ganiya semakin merangkak mundur bahkan bibirnya sudah memucat kering karna terlalu sesak bernafas.
"jangan takut Ganiya, ini saya, jangan takut saya mohon," orang itu berujar sembari berjongkok menyamakan tinggi dengan Ganiya.
Ganiya memang terkejut dengan keberadaan orang itu yang tiba-tiba, tapi dari suaranya orang itu seperti lebih panik dari dirinya.
"ini saya Ganiya...."
Ganiya menatap mata orang asing itu yang merupakan seorang pria. Matanya... Wajah itu... Pria di supermarket?!
"kok lo bisa masuk kamar gue?" setelah sadar dari keterkejutan Ganiya bertanya dengan panik.
Apa niat pria itu?
"tangan kamu harus di obati dulu," pria itu semakin mempersingkat jarak.
Bahkan obat salep sudah ada ditangan pria itu,
benar-benar mencurigakan.
"saya pinjam tangan kamu Ganiya"
Di raihnya tangan Ganiya dengan begitu lembut, bahkan tekstur obat yang sedikit dingin tidak terasa sama sekali.
"lain kali kamu harus lebih hati-hati."
Ganiya masih terdiam menatap pria itu. Segala ocehan seperti hanya sepihak karna Ganiya yang hanya sibuk menatap dengan heran. Mengapa pria itu bisa ada disini? Tapi seperti terhipnotis, Ganiya justru hanya mampu menatap dan mengucap banyak terimakasih di dalam hati.
"mau saya masakkan mie?"
Tatapan mereka bertemu, saling mengunci dengan fikiran masing-masing. Tapi sepertinya hanya Ganiya yang terus berfikir.
"kamu lebih suka mie goreng atau mie rebus?" pertanyaan kali ini sepertinya baru menyadarkan Ganiya.
Mengalihkan pandangan pada tembok di sebelahnya, dan menahan malu. Kenapa pria itu bisa memandang Ganiya dengan begitu santai seakan mereka sudah lama mengenal?
"saya buat-"
"terimakasih" ucapan pria itu tidak berlanjut saat Ganiya menyela.
"untuk apa Ganiya? Saya belum masak mie-nya," heran pria itu.
"siapa nama kamu?" apalagi yang lebih penting untuk saat ini dari menanyakan identitas utama?
"Gyan"
"Dari kapan disini? "
"belum lama"
"masuk sebelum apa setelah saya pulang kerja?"
"sesudah kamu pulang"
"dari mana asal kamu?"
Tunggu, apakah benar bertanya beruntun seperti itu?
"asal saya?" pria itu bergumam pelan. Ah, kita bisa memanggilnya Gyan sekarang.
"saya tidak tahu" tatapan Gyan begitu teduh.
Bagaimana mungkin Ganiya bisa tidak memempercayai tatapan selugu itu. Tapi bagaimana bisa seorang pria tampan dan terlihat begitu pandai bisa se lugu itu? Atau dia seperti manusia pada umumnya, penuh tipu daya?