Menyelidiki Kasus Pemerkosaan

1369 Words
Seminggu telah terlewati dari kejadian pemerkosaan Arlen. Perlahan kondisi Arlen membaik. Selain rutin mengikuti pengajian mingguan, Arlen juga ikut kelas memasak. Siang itu, saat jam istirahat kerja, Ares pulang ke rumah untuk menjemput Arlen. Dia akan mengantar Arlen ke kelas yang bertempat di rumah seorang YouTuber yang sedang naik daun. Tidak mengapa Ares harus merogoh kocek lumayan asal Arlen bisa bahagia dan melupakan kenangan pahitnya. "Kamu nggak apa-apa Kakak tinggal di sana?" tanya Ares cemas begitu Arlen turun dari mobil. Tangan Arlen ia pegang erat. Arlen menggeleng. Sebuah senyuman manis ia berikan pada suami yang begitu sabar. "Nggak apa, Kak. Di sana kan banyak teman masak. Nggak bakal sendirian. Kakak juga kan harus balik ke kantor." "Serius?" tanya Ares. "Apa perlu Kakak minta Marcell nemenin kamu lagi?" Ares enggan melepaskan tangan Arlen. "Jangan, Kak. Kasihan Marcell. Dia bakal jauh bolak balik dari sini ke kampusnya." Arlen membelai bahu suaminya lembut. "Kakak tenang aja ya. Aku baik-baik aja. Hari ini kami mau bikin cake apel. Nanti kalau udah mahir, aku bakal buatin cake enak buat Kakak. Udah, ah. Ntar telat!" Arlen menyalami tangan Ares lalu melambaikan tangan, melangkah masuk setelah satpam rumah YouTuber membukakan pintu. Setelah menunggu sosok Arlen perfu, baru Ares tancap gas. Tanpa diketahui Arlen, ada hal lain yang ingin dikerjakan Ares hari ini. Dia sudah izin telat kembali ke kantor. Mobil SUV putih Ares melaju cepat membelah jalanan. Dia akan menuju tempat itu. Tempat yang telah lama menyita pikirannya. Klub Desire Tomb. Perlu waktu setengah jam untuk sampai ke klub itu. Selain jalanan lumayan macet di beberapa titik, tempat itu lumayan jauh. Ares menatap lama depan klub yang menyewa sebuah gedung bertingkat tiga. Lumayan besar dan bersuasana modern. Tanpa banyak pertimbangan, Ares masuk ke klub. Meskipun tempat itu diutamakan sebagai klub malam, pada siang hari tetap dibuka, tapi lebih formal dan tidak ada musik hingar bingar. Begitu masuk, Ares duduk di bar. Pelayan menawarinya minunam. Ares hanya memesan cocktail. Minuman keras di siang hari? Jelas tidak. Apalagi Ares bukan peminum. Mata Ares memperhatikan setiap pengunjung klub. Memang akan sulit menyelidiki seorang diri dengan clue yang hanya sedikit. Namun, Ares tidak sabar menunggu kabar dari polisi. Ia ingin mencari tahu lebih cepat. Tidak satu pun laki-laki pengunjung klub di lehernya ada tato serigala. Cukup sulit juga bagi Ares mengendus satu per satu bau mereka. Bau alkohol, rokok, parfum lain, lebih terasa ketimbang aroma cokelat. Ares sadar mencari tahu dengan cara seperti itu akan sulit. Dengan sikap cool dan berusaha setenang mungkin, Ares mendekati seorang wanita seksi yang bekerja menjadi pelayan di klub itu. Sang wanita langsung tersenyum menggoda begitu Ares mendekat. "Cari sesuatu, Bos?" tanya wanita itu sambil memainkan gelas. Ares tersenyum. Ia lalu mengeluarkan rokok dan menawarkan pada wanita itu. Sang wanita menarik sebatang rokok dan menyulutnya dari korek yang dinyalakan Ares. "Aku Belinda," kata wanita itu menatap Ares dari atas ke bawah dengan sikap tubuh menggoda. Asap rokok berembus di dekat Ares. Pria tampan itu mengeluarkan beberapa lembar dari sakunya lalu meletakkan uang ke saku seragam Belinda. Belinda tersenyum semakin menggoda. "Nggak perlu buru-buru. Nanti setelah pulang kerja, aku bisa chat kamu," ujar Belinda. Ares tersenyum. "Bukan. Aku cuma ingin nanya sesuatu." Belinda menatap curiga, masih tersenyum menggoda. "Kayaknya masalah rumit. Info mahal." Ares menatap wanita itu tajam. Sepertinya Belinda langsung menangkap maksud Ares. Sudah biasa menjadi informan di tempat itu. "Bisa kita bicara lebih privat?" tanya Ares memandang sekitar ragu. Memang sedari tadi orang-orang di klub itu pun sepintas seperti melihat Ares berbeda. "Bisa." Belinda mengecek handphone-nya. "Tunggu di depan. Depan kedai burger bernama Rosie itu. Nanti aku akan pura-pura membuang sampah." Belinda lalu pergi melanjutkan kegiatannya. Ares menghabiskan minumannya. Pura-pura bersantai sebentar, lalu pergi meninggalkan tempat itu setelah membayar. *** "Jadi kamu tidak punya nama, Bos?" tanya Belinda memandang Ares penuh minat. Kantong sampah masih berada di tangannya. "Panggil aja Brian," kata Ares. Belinda tertawa. "Oke, Brian. Namanya juga bukan Belinda." Ares menghela napas, lalu menunjukkan kartu VIP milik pemerkosa istrinya ke Belinda. "Apa kamu tahu informasi tentang anggota klub VIP klub itu? Ada berapa anggotanya? Yang VIP?" tanya Ares. Belinda memegang kartu itu sebentar. Tampak perubahan pada wajahnya. Ia lalu memberikan lagi pada Ares. "Kamu berurusan dengan orang-orang berbahaya, Bos." Belinda membuang rokoknya dan menginjak rokok dengan sepatu heels-nya. "Tolong beritahu aku," pinta Ares. Belinda menatap tajam Ares. "Apa yang ingin kamu tahu, Brian?" "Pertanyaanku tadi belum kamu jawab." "Hm, aku hanya pelayan biasa. Bagianku bukan di situ." Ares menarik napas tampak kecewa. "Tapi aku bisa cari tahu dari temanku yang biasa main di Sabtu dan Minggu," ucap Belinda. Mata Ares berkilat kembali. "Tolong, Belinda." "Dari tahun ke tahun semakin bertambah anggota klub. Dunia makin gila, huh. Untuk VIP mungkin sekitar dua ratus orang." "Apa?" Ares kaget tidak dibuat-buat. Dua ratus orang member? Yang benar saja. Itu jumlah manusia yang banyak. Lalu bagaimana melacak b******n yang telah memperkosa Arlen. Ares yakin ada hubungannya dengan klub itu, bukan sekadar kartu yang hanya kebetulan ada pada penjahat dan bukan miliknya. Ares mengeluarkan handphone dari saku bajunya dan mulai mencatat. "Berapa nomormu?" Belinda menyebutkan nomor w******p-nya yang langsung dihubungi Ares sebagai penanda. "Apa kamu tahu siapa di antara mereka yang punya tato serigala di leher dan suka pakai parfum beraroma cokelat?" tanya Ares serius. Semakin tidak sabar. Belinda menggeleng. "Selama satu tahun aku kerja di sana, belum pernah lihat ada yang bertato serigala di leher. Aku juga nggak punya kebiasaan mengendus pelangganku. Yah, cuma satu dua kali dapat pelanggan kaya." Senyuman nakal terbit lagi di wajah Belinda. Ares tidak terlalu menanggapi Belinda. "Dengar, aku butuh info darimu tentang siapa yang bertato serigala di leher dan beraroma cokelat. Kalau kamu tahu, cepat hubungi aku. Akan kuberikan balasan yang setimpal untukmu." Belinda melangkah mendekati Ares dan fokus menatap d**a kekar Ares. Bukan menggoda, malah tergoda. "Benarkah? Kamu akan kasi hadiah yang bagus?" Bibir Belinda mengerucut menggoda. Ares menunjukkan tumpukan uang di balik saku blazer yang ia pakai. "Dua kali lipat dari ini kalau kamu berhasil." Belinda tersenyum. "Baik, Bos." Tidak banyak buang waktu lagi, Ares segera meninggalkan tempat itu. Entah kenapa dia percaya pada Belinda. Meskipun tampilan wanita itu meragukan, tapi Ares mempercayainya. Barangkali keputusannya ini benar. Sambil menunggu berita terbaru dari polisi. *** Ares pulang ke rumah jam tujuh malam. Arlen menyambutnya dengan suka cita. Cake apel yang cantik telah tertata rapi di meja. "Coba, Kak. Rasanya manis. Kakak kan suka apel." Arlen sibuk menarik Ares ke meja. "Kakak mau mandi dulu, Arlen." "Nanti aja. Kakak makan kuenya dulu. Aku udah susah payah buatnya, Kak." Ares memperhatikan ekspresi bahagia dan penuh semangat pada Arlen. Dua hal yang telah lama tidak terlihat padanya. Kebahagian itu turut membuat Ares lega. Ia mengikuti Arlen untuk mencicipi kue. Tahu betul hal itu membuat Arlen semakin senang. "Enak banget," puji Ares. "Serius, Kak? Jangan pura-pura." Arlen menatap Ares curiga. "Serius. Jangan sampai kamu kasi kue ini ke teman kerjaku. Bisa-bisa mereka nagih dan terus main ke sini." Arlen terbahak. "Kakak ada aja. Ya nggak apa, Kak. Traktir orang lain itu kan baik." "Masalahnya si Figo bisa gagal diet kamu kasi kue ini. Kalau Kakak sih nggak masalah. Tipe makan, body banyak tetap keren terkendali." Ares berpose gagah di depan Arlen seperti model papan atas. Arlen tertawa dan mendorong Ares. Ares menangkapnya dalam pelukannya. Selama beberapa saat Arlen dan Ares saling memandang. Arlen lebih dulu melepaskan pelukan dan tampak rikuh. Kesedihan mulai merayap lagi. Padahal sesaat tadi mereka sangat berbahagia. "Sayang," ucap Ares meraih Arlen. Arlen menatap Ares ragu-ragu. "Kak ...." "Kakak kangen banget sama kamu." Ares menatap Arlen sayu. Perlahan Ares mendekari Arlen. Dagu Arlen ia angkat. Ares mencium bibir Arlen. Semakin lama semakin dalam dan panas. Tiba-tiba Arlen panik dan langsung mendorong Ares. "Jangan!" teriak Arlen ketakutan. Ares bingung. Masih dikuasai gairah yang tidak tersalurkan. "Arlen, please, ini aku. Ares." Ares memeluk Arlen, tapi Arlen gelagapan dan menangis. "Maaf, Kak," ujar Arlen berurai air mata lalu berlari masuk ke kamar. Seperti malam-malam sebelumnya. Arlen masih belum bisa melakukan hubungan intim dengan Ares. Selalu menolak Ares dan ketakutan. Ares menghentak meja. Emosi. Sebenarnya tidak ingin menyalahkan Arlen atas apa yang terjadi. Namun, ia adalah Ares. Bukan pemerkosa. Ia tidak mungkin memperlakukan istrinya sendiri dengan ... ah! Memikirkan hal itu saja membuat Ares berang. Gelas kaca dibanting Ares ke lantai. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD