Trauma

1130 Words
Dengan hati-hati, Ares menuntun Arlen berjalan memasuki kamar di apartemen yang baru disewa Ares untuk mereka tinggali. Tidak mudah bagi Ares mencari apartemen sesuai kebutuhan mereka dan pindah dalam waktu hanya satu minggu. Namun, Ares tahu, apa yang dialami dan dirasakan Arlen seratus kali lebih berat. Arlen tidak mau tinggal di rumah mereka lagi. Selain malu, dia juga tidak akan sanggup masuk ke rumah di mana dia telah diperkosa oleh laki-laki yang bahkan ia tidak tahu siapa. "Kamu tunggu di sini dulu. Kakak ambilkan makanan buat kamu. Tadi Kakak masakkan sup iga," kata Ares setelah mendudukkan Arlen di kursi di kamar. Namun, Arlen dengan cepat menahan tangan Ares. Mata Arlen sudah berlinang. "Kak Ares, jangan tinggalin aku sendiri," pinta Arlen ketakutan. Matanya beredar memandang sekeliling. Suasana memang sudah berubah. Apartemen mereka sangat nyaman dengan view kota dan pengamanan penuh. Baik di bagian luar dan dalam gedung ada satpam yang berjaga. Tetap saja masih ada trauma pada Arlen. Ares menepuk tangan Arlen pelan. "Kakak cuma ke dapur, Sayang. Kamu di sini aja. Nggak boleh capek," kata Ares. "Aku ikut," ucap Arlen langsung bangkit dan menggandeng tangan Ares. Ares mengalah dan membawa Arlen ke dapur bersamanya. Arlen diminta menunggu di meja makan, sementara Ares memanaskan sup dan nasi di piring untuk Arlen. Ares sebenarnya sudah sangat lelah, sedih, dan cemas. Namun, ia berusaha tegar di depan Arlen. Walaupun Arlen hampir setiap hari ditangani psikiater di rumah sakit, ia masih ketakutan setiap hari. Sering menangis dan berteriak setiap mengingat kejadian buruk itu. Bingung juga jika Arlen terus seperti ini. Ares tidak mungkin terus menerus bolos kerja. Dia harus tetap bekerja untuk dirinya dan Arlen. Sewakru di rumah sakit, Arlen sudah mulai bisa ditinggal karena ada adiknya, Marcell gantian berjaga. Sekarang, Marcell sedang sibuk ujian semester. "Makanlah, Sayang. Kamu harus sehat," ucap Ares seraya meletakkan makanan di meja, depan Arlen. Arlen memandang makanan itu pilu. Sebenarnya dia sangat lapar, tapi suasana hati seperti itu susah untuk menelan makanan. Ares mengambil sendok dan mulai menyuapi Arlen makan. "Please, makan. Kamu harus kuat. Kalau kamu sakit, Kakak juga akan sakit," kata Ares. Arlen menatap wajah suaminya. Wajah Ares masih sangat tampan seperti biasa. Namun, tampak kusut. Cambangnya sudah tidak dicukur dan rambutnya sudah berantakan. Arlen membuka mulut dan makan dari suapan Ares. Ares tersenyum dan hampir menangis. "Enak banget, Kak. Kakak sering-sering aja masak kayak gini," kata Arlen. Dia jujur. Tidak disangka masakan Ares lezat. Ares tertawa. "Kan udah Kakak bilang dulu Kakak pernah diajarin masak sama Om Kakak yang koki itu. Makanya kamu harus pintar masak juga. Jangan tahunya cuma nyambel ikan sama ayam doang." Arlen tertawa. "Kan aku suka sambal, Kak. Nggak bisa makan kalau nggak ada sambal. Kakak juga suka." "Ya udah. Makanya ini udah Kakak sediain sambal buat kamu. Tapi ini sambal beli sama teman kantor Kakak. Sambal cumi gurih banget. Ayo coba," kata Ares mengangsurkan sebotol sambal pada Arlen. Arlen tersenyum dan membuka botol sambal dengan semangat. Selera makannya sudah kembali. Tanpa sadar, Arlen makan dengan lahap. "Kamu udah kayak Patrick Star aja makannya," goda Ares. Arlen mencubit tangan Ares. "Ah, Kakak jahat. Aku kan lapar." "Iya, ih, ntar kamu gendut kayak Patrick Star. Ya nggak apa. Kakak tetap suka, kok." Arlen tertawa. "Sejak kapan Patrick gendut, Kak? Dia cuma buncit doang!" Ares dan Arlen terbahak. Selama beberapa saat mereka saling bertatapan. Bahagia karena sejenak mereka bisa melupakan kejadian buruk yang telah terjadi. Ares senang melihat senyuman di wajah Arlen muncul kembali. Ia pun berharap pelan-pelan bisa memaafkan dirinya. *** Pukul sebelas, Ares mengajak Arlen masuk ke kamar. Arlen masih belum pulih, harus banyak istirahat. Kesulitan juga bagi Ares karena harus hati-hati membujuk Arlen tanpa menyinggung masalah kemarin. Psikiater menyarankan agar Ares tidak memaksa Arlen dan membiarkan Arlen melewati fase sulitnya. "Sini, Arlen," ucap Ares lembut membawa Arlen ke ranjang. Arlen tadinya biasa saja. Namun, begitu melihat ranjang, ketakutan menguasainya. Isak tangisnya menjadi. "Aaargggh!" teriak Arlen. Wajah Arlen begitu pucat ketakutan. Ia segera berlari panik mencari jalan keluar ke sana ke mari. Karena pintu dikunci Ares dan Arlen dalam kondisi uring-uringan, dirinya malah berlari ke arah jendela balkon. "Arlen!" Ares panik seketika berlari menangkap tubuh Arlen. Dengan sekuat tenaga Ares memegangi pinggang Arlen. "Lepas! Jangan! Aaarrgh!" teriak Arlen memukuli tangan Ares. Dia terus berteriak histeris. "Sayang, ini aku. Aku suamimu," ujar Ares pilu. Butuh waktu beberapa lama sampai akhirnya Arlen bisa tenang. Ia menangis lemas dalam pelukan Ares. Air mata Ares jatuh tanpa bisa tertahan lagi. Ia mengecup kening Arlen, istrinya yang sangat cantik. Wanita ceria dan aktif, kini begitu rapuh dan terluka. "Maafin aku, Arlen. Maaf," ujar Ares. Arlen mulai mendapatkan kesadarannya. Ditatapnya wajah Ares. Ada kepergian yang ia rasakan. Ia telah ternoda. Rasa malu terus mengejarnya. "Lepaskan, Kak," ujar Arlen seraya melepaskan pelukan Ares. Ares menatap Arlen bingung. Mau menggapai Arlen yang mundur menjauh darinya. "Arlen, tolong jangan kayak gini," pinta Ares. Arlen menangis. Hatinya begitu sakit. Tubuhnya begitu kotor. Ada noda yang tidak bisa hilang berapa kali pun ia berusaha membersihkan. Arlen beringsut di bawah ranjang dan terisak di sana. Hati Ares turut terluka. Rasa bersalah kembali menghantuinya. Namun, mendekati Arlen saat ini bukan hal baik. Selama beberapa jam, Ares duduk di dekat Arlen menunggu tangis Arlen reda. Setelah Arlen lelah, matanya terpejam. Ia tertidur dalam kesakitan. Perlahan Ares mengangkat tubuh Arlen dan meletakkan di ranjang. Memeluknya sampai pagi menyapa. Arlen terbangun pagi itu mendapati tangan Ares memeluknya di atas ranjang. Arlen ingin berteriak, tapi sebuah kekuatan muncul dalam dirinya. "Kak Ares," ucap Arlen. Ares tidak menyahut. Masih tertidur. Pasti sangat lelah menjaga Arlen semalaman. Rasa sakit yang Arlen rasakan mungkin tidak mudah dimengerti. Namun, Arlen tahu suaminya terus berusaha menguatkannya. Di samping itu, Ares pun selalu saja menyalahkan dirinya. Arlen semakin sakit karena Ares juga menderita. "Kak Ares, ayo kita sholat," ajak Arlen. Ares yang sudah terbangun langsung terkesiap dan memandang Arlen. Senyuman muncul di wajah Ares. "Iya, Sayang. Ayo," sahut Ares. Jelas pria itu tidak bisa menyembunyikan kebahagiannya. Akhirnya Arlen bisa lebih kuat dan sabar. Arlen akan segera sembuh. Cobaan ini akan mereka lewati dengan baik. Mereka bangkit dari ranjang dan segera mengambil wudhu. Salat Subuh kali ini terasa begitu spesial bagi Arlen dan Ares. Di mana tangis dan doa mereka mengalir deras. Arlen dan Ares tahu hanya Sang Pencipta yang bisa mengobati segala luka dan kesakitan yang mereka rasakan. Doa Arlen agar ia diberi kekuatan lebih lagi. Ia ingin melanjutkan hidup bahagia bersama sang suami. Itu harapan terbaiknya. Selesai sholat, Ares menatap Arlen dalam. Rasa sayang dan cintanya pada Arlen sama sekali tidak berkurang. Malah ia semakin ingin menjaga Arlen. "Arlen," panggil Ares. "Ya, Kak?" sahut Arlen berusaha membalas senyuman Ares. "Maaf," ucap Ares. Ada getaran pada suaranya. Getaran yang terasa sampai ke relung hati Arlen. Arlen menggeleng dan tersenyum semakin manis untuk Ares. Ini saatnya mereka memulai semuanya dari awal lagi. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD