Chapter 3 - Ciuman Pertama

2529 Words
Karina memperhatikan wajah tampan Darren dengan raut yang terlihat amat kikuk. “Se .. sepertinya saya salah orang. Saya permisi dulu,” ucapnya yang terlihat amat salah tingkah, lalu mulai berjalan meninggalkan Darren setelahnya. Karina baru berjalan beberapa langkah saat tiba-tiba Darren langsung memegang lengannya, mencegatnya untuk pergi, “Tunggu.” Darren lanjut bicara seraya menatap Karina serius, “Iya, aku Darren Leonhardt, kamu tidak salah orang.” “Oh, begitu ..” Karina tersenyum kikuk, “Hai, Darren ..” Darren lanjut bertanya setelahnya. “Siapa namamu?” tanyanya yang terlihat masih amat enggan untuk tersenyum. Karina menghela napas sejenak, “Karina Hadriana .. Aku memang ditugaskan oleh orangtuamu hari ini untuk menjemputmu ke bandara. Mereka sedang tidak enak badan jadi tidak bisa hadir ..” Setelahnya, Darren hanya terdiam seraya terus memperhatikan wajah cantik Karina. ‘Kalau dilihat-lihat, perempuan bernama Karina ini cantik dan manis juga. Apa mungkin dia kenalan papa?’ benaknya. Karina menatap Darren bingung, “Ada apa, Darren?” Darren langsung menggeleng. “Tidak apa-apa ..,” ucapnya yang terlihat sedikit salah tingkah. Darren memberikan Karina kopernya setelahnya, “Ini, bawakan koperku.” “Baiklah ..,” ucap Karina seraya tersenyum tipis. ‘Sialan! Dia pikir aku asisten pribadinya apa?!’ benaknya geram. “Ponselku mati, pesan taksinya dari ponselmu saja,” ucap Darren dengan raut wajah super dinginnya, nyaris tanpa emosi. “Oke ..,” ucap Karina acuh tak acuh. Tanpa menunggu lama, Karina langsung mengeluarkan ponselnya dari dalam saku celananya dan memesan sebuah taksi online setelahnya. Sementara Darren, karena tubuhnya yang menjulang tinggi, jauh lebih tinggi daripada Karina, hanya sibuk mengintipi layar digital ponsel Karina. ‘Wallpaper ponselnya gambar kucing. Mungkinkah dia masih sendiri?’ benak Darren penasaran. Karina menghela napas panjang, “Sudah, taksinya akan sampai paling lambat setengah jam lagi ..” Dahi mulus Darren langsung mengerut, “Apa? Kamu sedang bercanda, ya?” “Maksudmu?” ucap Karina yang merasa mulai geram. Darren tersenyum kecut, “Kamu tidak salah menyuruhku menunggu taksi sampai setengah jam? Tubuhku sudah terasa pegal semua, Karina. Kamu pikir penerbangan dari Belanda ke Indonesia itu sebentar ya?” Emosi akhirnya meledak dalam benak Karina. “Ck, kamu pikir kamu saja yang merasa kecapekan?! Aku harus bangun pagi dan mengejar-ngejar taksi hanya untuk menjemputmu tadi! Dan kamu tahu? Yang lebih parahnya lagi, uang tiga ratus ribuku langsung lenyap begitu saja karena bapak taksinya tidak punya uang kembalian!” bentaknya kesal. Darren balik membentak Karina, “Fine!” Dengan cekatan, Darren beranjak mengambil dompet kulitnya lalu mengeluarkan tiga lembar uang dari dalam sana. “Ini, ambil uangku!” bentaknya seraya memberikan uangnya pada Karina. Karina tersenyum miring, “Kamu tidak bisa melihat, ya? Uangmu itu masih dalam bentuk euro tahu! Kamu pikir kita sedang berada di Eropa sekarang?” Darren tersenyum kecut seraya memperhatikan tiga lembar uang euro-nya setelahnya. ‘Sial, bagaimana aku bisa lupa kalau aku belum menukar uangku?’ benaknya getir. “Tunggu di sini sebentar, aku cari money changer dulu,” ucapnya dingin. Karina langsung menggeleng, “Sudah, tidak usah. Ambil saja uangmu, aku ikhlas kok. Lagipula aku memang sudah berjanji pada orangtuamu untuk menjemputmu hari ini.” Setelah pertengkaran hebat itu, baik Darren dan Karina sama-sama tak saling bicara. Keduanya hanya terdiam membatu, duduk samping-sampingan tanpa bicara sedikit pun sambil terus menunggu kedatangan sang supir taksi. ‘Dasar laki-laki arogan,’ benak Karina kesal. ‘Dasar perempuan emosional,’ benak Darren geram. Untungnya, tak sampai setengah jam kemudian, sang supir taksi akhirnya tiba juga. Dengan langkah cekatan, Darren langsung mengambil kopernya—yang tadi sempat dibawakan oleh Karina—dan meletakkannya di dalam bagasi taksi yang ditumpanginya setelahnya. Selama perjalanan pulang, Karina masih merasa amat enggan bicara pada Darren. Ya, meskipun Karina tahu lelaki tampan keturunan setengah Belanda ini sebentar lagi akan resmi menjadi suaminya, tapi entah mengapa, Karina merasa amat enggan berbicara dengan Darren. Akhirnya, Darren yang angkat bicara duluan. “Kamu sudah makan?” tanyanya penasaran. “Belum,” ucap Karina singkat. “Dari pagi tadi?” ucap Darren yang merasa sedikit terkejut. Karina hanya mengangguk. Darren menatap Karina dengan raut wajahnya yang terlihat sedikit khawatir, takut kalau sampai Karina jatuh pingsan di tengah jalan. “Tidak mau makan sesuatu?” tawarnya. Karina hanya menggeleng. “Minum sesuatu mungkin? Supaya tidak dehidrasi?” tawar Darren lagi. Lagi-lagi Karina hanya menggeleng. Melihat Karina yang hanya terdiam membatu, entah mengapa, Darren malah jadi merasa semakin penasaran. Darren lanjut bertanya, “Kamu kenalan papaku?” Karina menghela napas sejenak. “Iya. Papamu kawan lama ayahku ..,” ucapnya yang masih sibuk menatapi kaca jendela taksi yang sedang dinaikinya, enggan menatap balik wajah tampan Darren. “Benarkah?” ucap Darren terkejut. “Hmm,” ucap Karina acuh tak acuh. Darren tersenyum kecut, merasa sedikit kesal karena Karina sudah mencueki dirinya, “Oh, okay ..” Darren lanjut bicara seraya menatap Karina dingin, “Aku mau tidur dulu sebentar, bangunkan aku nanti kalau kita sudah sampai.” “Hmm,” ucap Karina lagi, masih enggan menatap balik wajah tampan Darren. Darren tersenyum getir. ‘F*ck,’ benaknya geram.   Selama Darren tertidur pulas persis di sampingnya, Karina sempat curi-curi pandang sejenak. Oh, bahkan jika dilihat dari samping seperti ini, Darren Leonhardt nampak lebih gagah nan mempesona. Batang hidungnya terlihat amat tinggi nan mancung, garis rahangnya terpahat amat jelas nan tajam, kulitnya putih bersih—nyaris tanpa noda. Terkadang Karina masih tak menyangka, benarkah laki-laki tampan berparas bule ini yang sebentar lagi akan segera menjadi suaminya? Karina langsung menggelengkan kepalanya. ‘Astaga, Karina, apa sih yang sedang kamu pikirkan?’ benaknya. Setelah melewati hampir satu jam perjalanan yang terasa amat melelahkan, keduanya akhirnya tiba di kediaman keluarga Leonhardt. “Darren? Kita sudah sampai,” ucap Karina seraya menggoyang-goyangkan lengan Darren. Melihat Darren yang tak kunjung merespon, akhirnya Karina bergerak mendekati Darren dan berteriak persis di depan telinganya. “Darren! Bangun!” bentak Karina kesal. Reflek karena kaget, Darren langsung terbangun dan bergerak dengan cepat setelahnya. Karena jarak tubuhnya dan tubuh Karina yang berada amat dekat, akhirnya tanpa disengaja sama sekali, Darren malah mengecup bibir Karina sekilas. Ya, ciuman pertamanya dengan seorang Karina Hadriana. Karina langsung tertegun kaget. ‘Oh, astaga ..,’ benaknya. Darren langsung bergerak menjauh. “Maafkan aku,” ucapnya yang terlihat amat kikuk. “Tidak apa-apa. Ayo turun, kita sudah sampai,” ucap Karina yang tak kalah kikuknya dengan Darren. Sesampainya di dalam rumah, Darren dan Karina langsung disambut oleh senyuman hangat Marisa, ibu kandung Darren. “Darren?!” ucap ibu kandung Darren yang tak kuasa menyembunyikan kebahagiaannya. Darren langsung memeluk erat tubuh renta ibunya, “Aku sangat merindukanmu, mom.” Darren melepas pelukannya lalu lanjut bertanya, “Papa mana?” “Papamu masih di kantor, ada meeting penting hari ini,” jawab Marisa seraya tersenyum ramah. Marisa lanjut bicara pada Karina setelahnya, “Terima kasih, Karina, kamu sudah bersedia menjemput Darren pagi ini.” Karina tersenyum tipis, “Iya, tidak apa-apa.” Karina lanjut bicara, “Saya permisi sebentar, mau ke kamar kecil dulu.” Marisa mengangguk seraya tersenyum manis, “Boleh, silahkan. Kamar kecilnya ada di samping dapur.” Begitu Karina sudah pergi ke kamar mandi, Darren langsung bertanya pada ibunya. “Siapa perempuan itu, bu?” tanyanya penasaran. “Karina Hadriana. Cantik, bukan?” jawab Marisa seraya tersenyum lebar. ‘Iya, dia cantik sekali,’ benak Darren. “Ibu kenal dengan dia?” tanya Darren lagi. Marisa langsung mengangguk, “Tentu. Ayahnya kenalan baik papamu, mereka sudah seperti kakak adik.” Darren tersenyum miring, “Oh ..” Darren terdiam sejenak sebelum kembali bicara, “Jadi .. hanya kenalan baik saja?” Marisa menggeleng seraya tersenyum, “Tentu saja tidak.” “Lalu?” tanya Darren yang merasa semakin penasaran. “Dia calon istrimu, Darren,” jawab Marisa seraya menepuk pelahan pundak bidang putra satu-satunya itu. Kedua mata Darren langsung membulat. “Apa?!” ucapnya yang merasa amat terkejut. “Aku tidak salah dengar, kan?” tanyanya. Marisa Nunciata, ibu kandung Darren, langsung menggeleng. “Tidak, kamu tidak salah dengar, Darren. Karina memang calon istrimu. Kami memang sudah dari jauh-jauh hari menjodohkanmu dengan Karina. Orangtua Karina juga sudah setuju dengan pernikahan kalian,” ucapnya seraya tersenyum ramah. Darren terdiam sejenak untuk berpikir. ‘s**t, jadi perempuan cantik tapi emosional itu benar-benar calon istriku?’ benaknya. “Ibu tidak sedang bercanda, kan?” tanyanya lagi. Marisa tersenyum geli, “Buat apa ibu bercanda, hm?” Darren memandang wajah ibunya curiga, “Kenapa ibu dan papa menjodohkanku dengan perempuan itu?” Sementara Karina, diam-diam ternyata sudah kembali dari kamar kecil yang terdapat di rumah gedongan Darren. Layaknya seorang maling yang hendak mencuri di rumah sasarannya, diam-diam Karina berdiri di pojokan rumah Darren—persis di balik lemari kayu jati besar, menguping pembicaraan Darren dan ibunya. Tubuh Karina langsung memanas, wajahnya seketika langsung memerah begitu dirinya tahu kalau Darren dan ibunya sedang membicarakan dirinya. ‘Ah, tunggu dulu. Sepertinya aku tahu siapa perempuan yang dimaksud Darren,’ benak Karina geram. Darren lanjut bicara tak lama kemudian. “Dan lagi, tumben sekali papa ikut campur soal urusan asmaraku? Dari dulu aku sering gonta ganti pacar pun papa tidak pernah marah. Kenapa sekarang tiba-tiba papa dan ibu mau menjodohkanku dengan perempuan itu?” ucapnya dengan nada bicara yang terdengar sedikit kesal. Karina tersenyum miring. ‘Ck, ternyata benar dugaanku selama ini. Cowok arogan dan emosional ini memang seorang playboy,’ benaknya getir. Marisa langsung memelankan suaranya, “Shh .. jangan bicara seperti itu, Darren. Dia punya nama, namanya Karina. Karina Hadriana.” Wajah Karina seketika semakin memerah. ‘Sial, ternyata Darren dan ibunya memang sedang sibuk membicarakanku,’ benaknya emosi. Marisa menghela napas sejenak, “Ayah Karina kawan lama papamu. Kami sengaja mau menjodohkan kalian dengan harapan bisa membantu ayah Karina. Mereka hampir bangkrut, Darren. Ayah Karina terlilit banyak hutang.” Marisa lanjut bicara, “Oh, dan satu lagi, papamu memang sudah lama ‘menyukai’ Karina. Kamu tahu kan kalau dari dulu papamu selalu menginginkan anak perempuan?” Begitu mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh ibu kandung Darren, seketika tubuh Karina langsung membeku. Jadi selama ini lelaki paruh baya asal Belanda itu sudah lama ‘menyukai’ dirinya? Pantas saja ayah kandung Darren selalu bersedia membantu keluarga Karina. Ternyata selama ini Karina memang sudah dianggap seperti putri kandungnya sendiri. Darren tersenyum kecut, “Tapi itu bukan urusan kita, mom. Aku tak peduli mau usahanya bangkrut  sekalipun, aku tak suka kalau mama dan papa mencampuri urusan pribadiku.” Darren lanjut bicara, “Dan lagi, aku bahkan belum mengenal siapa perempuan bernama Karina itu. Dan mama tahu? Pertemuan pertamaku dengannya benar-benar menyebalkan.” “Eh? Benarkah?” tanya Marisa terkejut. Tak betah lama-lama berdiam diri dan menyaksikan dirinya jadi bahan pembicaraan orang lain, Karina akhirnya memutuskan untuk keluar dari ‘tempat persembunyiannya’. “Permisi, bu,” ucapnya seraya tersenyum kecut pada ibu kandung Darren. Marisa dan Darren langsung menoleh di saat yang bersamaan. “Ah, Karina, sudah selesai ke kamar kecilnya?” tanya Marisa yang terlihat amat salah tingkah. Karina mengangguk, “Sudah.” Karina beralih menatap sebuah jam tangan kulit warna hitam yang melingkari pergelangan tangan kirinya sejenak. “Sepertinya saya harus pulang sekarang. Ada hal penting yang harus segera saya selesaikan,” bohongnya. “Eh? Tidak mau minum teh dulu? Atau kopi mungkin?” ucap Marisa terkejut. Karina menggeleng seraya tersenyum tipis, “Tidak usah repot-repot, bu.” Marisa membalas senyum manis di wajah cantik Karina. “Baiklah kalau begitu. Tunggu sebentar, biar ibu panggilkan supir dulu untuk mengantarmu pulang,” ucapnya ramah sebelum akhirnya beranjak pergi memanggil seorang supir pribadinya dan meninggalkan Karina berduaan saja dengan Darren. “Thanks,” ucap Karina ramah. Setelahnya, Darren hanya berdiam diri seraya melipat kedua tangannya di depan d**a bidangnya dan terus memandangi Karina dari ujung kaki hingga ujung rambutnya. Dahi mulusnya terlihat mengkerut, kedua matanya yang berwarna coklat terang itu terlihat sedikit memicing. Entah apa yang ada dalam pikirannya. ‘Sial, kenapa cowok ini terus menatapiku seperti itu sih?! Minggir sana!’ benak Karina yang merasa geram sekaligus tak nyaman di saat yang bersamaan karena Darren yang terus-terusan menatapinya. Karina akhirnya angkat bicara, “Ada apa, Darren?” Darren menatap Karina curiga, “Kamu tahu soal perjodohan kita?” Karina menghela napas sejenak, mencoba sebisa mungkin untuk tetap bersabar, “Iya, aku tahu. Kenapa memangnya?” “Dan kamu menyutujuinya?” tanya Darren lagi. Karina langsung menggeleng, “Tidak. Tapi aku tak punya pilihan lain.” Darren baru saja membuka bibirnya sedikit, hendak angkat bicara lagi, saat tiba-tiba Karina sudah kembali bicara duluan. “Dan kamu tahu? Papa dan ibumu juga yang sengaja memintaku untuk menjemputmu ke bandara pagi ini. Aku menyetujuinya bukan karena kamu, tapi karena orangtuamu. Jadi jangan salah paham dulu,” ucapnya sinis. “Siapa juga yang salah paham denganmu?” ucap Darren yang tak kalah sinisnya dengan Karina. Karina tersenyum miring, “Ck, bisa saja, kan? Lagipula aku juga tidak suka denganmu. Dasar lelaki arogan.” Kedua mata Darren semakin memicing, dahi mulusnya terlihat semakin mengkerut, “Apa yang baru saja kamu bilang?” Karina menatap Darren tajam, “Lelaki arogan.” “Ya, ya, terserah apa katamu. Tapi satu hal yang pasti, aku bisa mendapatkan calon istri yang jauh lebih cantik dan menarik daripada dirimu, Karina. Camkan itu,” ucap Darren sinis. “Oh, bahkan aku tak usah capek-capek mencari, banyak perempuan di luar sana yang selalu mengantre dan memohon supaya bisa jadi kekasihku,” lanjut Darren dengan nada bicaranya yang terdengar amat arogan. Emosi seketika meledak dalam diri Karina. “Aku tak peduli! Kamu pikir aku suka saat aku tahu kalau aku akan segera dinikahkan dengan lelaki arogan seperti dirimu?! Lebih baik aku jadi perawan seumur hidup daripada harus punya suami seperti dirimu!” bentaknya kesal. “Baiklah! Biar kita lihat siapa yang akan jadi pemenangnya!” bentak Darren yang merasa tak kalah emosinya dengan Karina. Setelahnya, Karina langsung buru-buru angkat kaki dari rumah Darren. “Selamat siang. Sampaikan terima kasihku untuk ibu dan papamu,” ucapnya dingin. Sementara Darren, hanya berdiam diri seraya terus memperhatikan kepergian Karina dari belakang. ‘Aku yakin sekali suatu saat nanti kamu pasti akan jatuh hati padaku, Karina,’ benaknya geram. Begitu keluar dari rumah Darren, Karina kembali bertemu dengan Marisa. “Karina? Bapak supirnya sudah ..,” ucapnya. Belum sempat ibu kandung Darren menyelesaikan ucapannya, Karina sudah keburu angkat bicara duluan, “Saya pulang naik taksi saja, bu. Selamat siang.” Sepertinya keberuntungan sedang berpihak pada seorang Karina Hadriana siang ini. Sebuah mobil taksi tiba-tiba saja lewat di depan rumah Darren. Tanpa pikir panjang, Karina langsung mencegat taksi tersebut dan secepat mungkin menaikinya. Beberapa saat setelahnya, Karina langsung buru-buru menelepon Aldric Fernando, kekasih hatinya. Aldric menjawab panggilan Karina tak sampai lima menit kemudian,  “Karina?” Entah mengapa, begitu mendengar suara Aldric yang terkesan begitu hangat dan penuh kasih sayang—berbeda seratus delapan puluh derajat dengan suara Darren, setetes air mata langsung jatuh dan membasahi pipi mulus Karina. “Aldric ..,” lirihnya. “Karina? Kamu sedang menangis ya?” ucap Aldric dengan nada bicaranya yang terdengar amat khawatir. Karina terdiam sejenak sebelum kembali bicara, “Aku mau bertemu denganmu sekarang juga, Aldric.” ♥♥TO BE CONTINUED♥♥
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD