Chapter 2 - Pertemuan Pertama Dengannya

1532 Words
Pieter Leonhardt, ayah kandung Darren, langsung tersenyum lebar begitu mendengar kalau Karina bersedia dinikahkan dengan anak laki-laki semata wayangnya itu. “Benarkah? Kamu bersedia menikah dengan Darren?” ucapnya semangat. Karina tersenyum tipis. “Iya, paman. Aku bersedia menikah dengan Darren ..,” ucapnya dengan raut wajah yang terlihat amat terpaksa. Senyum di wajah renta Pieter melebar, “Bagus.” Pieter lanjut bicara, “Oh, dan jangan panggil aku paman, Karina, panggil saja ayah. Sebentar lagi kan aku akan segera jadi ayahmu juga.” Karina hanya tersenyum tipis. Karina terdiam sejenak sebelum kembali bicara, “Darren .. kenapa dia tidak hadir hari ini?” “Darren masih ada di Belanda, dia baru saja menyelesaikan studinya sekalian mengurus keperluan bisnis kami di sana. Dia baru kembali ke Indonesia besok,” jawab Marisa, ibu kandung Darren, seraya tersenyum ramah. “Ah, begitu ..,” ucap Karina acuh tak acuh. Oh, bahkan Karina sama sekali tak tertarik untuk sekadar bertanya apa jurusan studi yang baru saja selesai ditempuh Darren, atau jenis bisnis apa yang dijalankannya di negeri kincir angin itu. Buat apa juga? Toh Karina merasa sama sekali tak ada untungnya bagi dirinya untuk mengetahui soal Darren. Pierer langsung tersenyum lebar, “Ada apa, Karina? Kamu sudah tidak sabar bertemu dengan Darren ya?” Karina langsung menggeleng, “Ah, bukan, bukan begitu. Aku hanya penasaran saja kok.” Marisa lanjut bicara, “Bagaimana kalau kamu saja yang menjemput Darren di bandara besok?” Kedua mata indah Karina langsung membulat. “Ide yang bagus. Siapa tahu juga setelahnya kalian bisa jadi lebih dekat. Iya kan?” tambah Baskara, ayah kandung Karina, yang rasa-rasanya malah memperburuk keadaan. Karina tersenyum kecut. ‘Sial, kalau tahu akan seperti ini jadinya lebih baik aku tidak usah bertanya soal Darren tadi,’ benaknya getir. “Tapi ..” Karina terdiam sejenak untuk berpikir. “Ah, iya, aku baru ingat. Aku harus ke rumah sakit besok,” bohongnya. “Benarkah? Memangnya siapa yang sakit, Karina?” tanya Arini, ibu kandung Karina, dengan raut wajahnya yang terlihat amat bingung. Karina langsung gelagapan. “Ah, itu .. Mi .. Michelle. Iya, temanku, Michelle,” bohongnya lagi. “Michelle? Sejak kapan kamu punya teman bernama Michelle?” ucap ayah kandung Karina seraya mengerutkan dahinya. Karina tambah gelagapan. ‘Sial, sial, sial,’ benaknya. “Ah, itu .. Dia teman kerjaku,” bohong Karina lagi. Ibu kandung Darren akhirnya angkat bicara. “Tidak apa-apa kalau Karina tidak bersedia menjemput Darren di bandara besok. Biar kami saja yang menjemputnya,” ucapnya seraya tersenyum ramah. “Iya, biar kami saja ..,” ucap ayah kandung Darren sambil menutup mulutnya dan sesekali terbatuk-batuk. Ayah kandung Karina langsung merasa khawatir, “Pieter? Kamu tidak apa-apa?” Ayah kandung Darren menggeleng perlahan. “Aku baik-baik saja. Hanya sedang batuk dan flu saja akhir-akhir ini,” bohongnya. Sengaja, supaya Karina yang menjemput Darren. “Iya. Kami memang jadi sering jatuh sakit akhir-akhir ini karena terlalu memikirkan Darren. Maklum, dia anak kami satu-satunya,” tambah ibu kandung Darren yang seolah-olah mengerti apa yang dimaksud suaminya. Ibu kandung Karina langsung terkejut, “Ah, benarkah?” “Iya ..” ucap ibu kandung Darren seraya mengangguk perlahan. “Kamu saja yang menjemput Darren, Karina. Kasihan ayah dan ibunya, sepertinya mereka sedang tidak enak badan,” ucap ayah kandung Karina. “Iya, betul itu, Karina. Kasihan ayah dan ibunya Darren,” tambah ibu kandung Karina. Karina menghela napas sejenak. ‘Sabar, Karina, sabar,’ benaknya. “Baiklah .. Jam berapa pesawat Darren sampai Indonesia?” tanyanya. “Jam delapan lewat lima belas pagi,” ucap ayah kandung Darren semangat. Seketika batuknya langsung hilang begitu mendengar ucapan Karina. Karina langsung terkejut, “Benarkah? Pagi sekali ..” “Ayolah, Karina, kamu juga biasa bangun tidur jam tujuh pagi, kan?” ucap ayah kandung Karina seraya tersenyum ramah. “Baiklah. Biar aku yang ke bandara besok,” ucap Karina dengan amat berat hati. ***** Esok paginya, Karina langsung terbangun dari tidur lelapnya seketika mendengar suara pintu kamar tidurnya yang terus-terusan diketuk. “Karina? Karina, bangun! Sudah hampir jam sepuluh! Katanya kamu mau ke bandara menjemput Darren?” ucap ibunya bak sedang kebakaran jenggot. Kedua mata indah Karina langsung membulat seketika dirinya melihat jam dinding yang menunjukkan sudah pukul sembilan lewat sepuluh. “Ah, sial ..,” ucapnya seraya terburu-buru bangun dari ranjang tempat tidurnya. Karina terburu-buru mandi dan merias diri sejenak, lalu dengan langkah amat tergesa-gesa berjalan keluar dari rumahnya dan langsung mencegat sebuah taksi yang kebetulan saja lewat. “Taksi!” cegat Karina. “Mau ke mana, nona?” tanya sang supir taksi bingung. “Ke bandara, pak,” jawab Karina. Naas, hampir satu jam setelahnya, taksi yang membawa Karina tak kunjung sampai bandara. “Bisa lebih cepat tidak, pak? Saya sudah telat sekali ini ..,” ucapnya gelisah. “Ini sudah lewat jalan yang paling sepi, nona. Jam-jam segini jalanan menuju bandara memang sudah pasti akan macet,” ucap sang supir taksi. ‘Aduh, mati aku,’ benak Karina yang terlihat semakin gelisah. Sesampainya di bandara, ternyata masalah masih tak kunjung selesai. Sang supir taksi rupanya sama sekali tidak memiliki uang kembalian. “Uangnya besar sekali, saya tidak punya kembaliannya, nona,” ucapnya. “Bapak tidak punya uang receh sama sekali?” ucap Karina terkejut. Sang supir taksi langsung menggeleng, “Tidak ada, nona. Saya baru melayani nona saja pagi ini, belum ada penumpang lain.” “Ya sudah, bapak simpan saja kembaliannya,” ucap Karina seraya tersenyum kecut dan merelakan uang tiga ratus ribunya lenyap begitu saja. Sang supir taksi langsung tersenyum lebar, “Terima kasih banyak, nona.” “Sama-sama,” ucap Karina seraya tersenyum tipis. ‘Sial, hilang sudah uang tiga ratus ribuku karena Darren,’ benaknya getir. Pagi ini, tak seperti biasanya, bandara nampak begitu ramai. Sialnya, Karina harus mencari seorang diri yang mana sosok Darren Leonhardt di tengah-tengah banyaknya manusia yang berlalu-lalang. “s**t, aku lupa bertanya pada paman Pieter kemarin seperti apa wajah Darren ..,” ucapnya kesal. Tanpa menunggu lama, Karina langsung menelepon Pieter, ayah kandung Darren. Untungnya lelaki asal Belanda yang usianya sudah lebih dari setengah abad itu menjawab panggilannya tak sampai lima menit kemudian. “Karina? Kamu sudah sampai bandara?” tanyanya semangat. Karina mengangguk. “Iya. Paman bisa mengirimkan foto Darren padaku? Aku bingung harus mencari Darren ke mana, ramai sekali di sini, paman ..,” ucapnya frustrasi. “Tunggu saja di ruang kedatangan, Karina. Darren membawa sebuah koper besar dan tas ransel warna hitam. Dia suka memakai kacamata hitam, jadi jangan sampai salah orang,” jawab ayah kandung Darren ramah. Karina tersenyum kecut, “Baiklah, paman ..” Percuma Karina meminta bantuan ayah kandung Darren, jawabannya benar-benar tidak membantu. “Astaga, kenapa hari ini semua orang harus membawa koper dan tas ransel warna hitam sih?!” gerutu Karina yang merasa semakin frustrasi. Nampaknya Karina sudah lupa kalau yang namanya di bandara, setiap orang pasti akan membawa entah itu ransel atau koper. Untungnya, sebuah ide cemerlang tiba-tiba saja terlintas dalam benak Karina. “Tunggu dulu, aku punya ide,” ucapnya. Dengan sigap, Karina meminjam sebuah spidol hitam dan papan nama berukuran besar dari salah satu turis asing yang nampaknya sedang menunggu seseorang, lalu menuliskan nama ‘Darren Leonhardt’ sebesar mungkin di atas papan nama tersebut dengan harapan Darren bisa membacanya. Ya, Karina hanya bisa berdoa semoga saja Darren bisa menemukan dirinya di tengah-tengah lautan manusia. Karina mengangkat papan namanya tinggi-tinggi setelahnya lalu tersenyum kecut. ‘Sial, aku seperti orang bodoh saja,’ benaknya getir. Tak sampai lima menit kemudian, seorang laki-laki berparas bule nan bertubuh tinggi semampai berjalan menghampiri Karina. Tatapan kedua matanya terlihat amat intens dan serius, sampai-sampai berhasil membuat Karina jadi salah tingkah seketika. “Ada yang bisa saya bantu, Tuan?” tanya Karina kikuk. Laki-laki berparas bule itu langsung mengerutkan dahi mulusnya. “Kamu kenal denganku?” ucapnya dengan logat Belandanya yang terdengar amat kental. Karina langsung tertegun. “Eh? Maksudmu?” ucapnya bingung. “Papan nama itu. Itu namaku,” ucap laki-laki berparas bule itu seraya menunjuk ke arah sebuah papan nama yang dipegangi Karina. Tubuh Karina seketika langsung membatu. Oh, ternyata ini laki-laki yang bernama Darren Leonhardt. Padahal awalnya Karina mengira sosok Darren sebagai seorang laki-laki berperut buncit, bertubuh pendek dan berkepala plontos. Ternyata dugaannya benar-benar meleset. Darren bertubuh tinggi semampai, bahkan sangkin tingginya, Karina harus mendongakkan kepalanya sedikit agar mampu menatap kedua matanya yang berwarna coklat terang itu. Rambutnya berwarna coklat gelap sedikit pirang, kulitnya putih bersih layaknya laki-laki Eropa pada umumnya. Batang hidung Darren terlihat amat tinggi, bibirnya berwarna sedikit kemerah-merahan ditambah garis rahangnya yang terlihat begitu tajam. Otot-otot tubuhnya terlihat terbentuk amat sempurna dari balik kaus putih ketat yang dikenakannya. Darren Leonhardt terlihat amat tampan namun juga terlihat amat sensual di saat yang bersamaan. Setiap orang yang baru pertama kali melihatnya pasti akan langsung setuju kalau laki-laki keturunan setengah Belanda ini punya daya tarik seksual yang amat tinggi. ‘Sial, tampan dan gagah sekali,’ benak Karina. “Kamu .. Darren Leonhardt?” ucap Karina seraya terus menatapi Darren dengan raut wajah cantiknya yang terlihat amat tak percaya. Darren hanya terdiam seraya menaikkan satu alisnya, dan terus menatapi Karina dari ujung kaki hingga ujung rambutnya dengan raut yang terlihat amat sulit untuk diartikan. ♥♥TO BE CONTINUED♥♥
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD