Laptop dengan layar menyala itu sudah diabaikan oleh si empunya hampir satu jam lamanya. Padahal tadinya Galuh sudah yakin dengan plot yang akan dia pakai, namun baru mengetik sebanyak seratus kata untuk Prolog saja, dirinya sudah mandek.
Janjinya yang akan menyelesaikan tulisan ini hanya dalan waktu dua bulan, kini terasa mustahil. Bayangan tentang dia yang berlibur bersama dengan Ayah dan Abangnya, rasanya semakin jauh saja. Galuh hampir putus asa.
Harusnya saat ini dia sudah berbaring di pinggiran pantai Kuta, atau berjalan-jalan menikmati jalanan Bali dan berburu cindera mata, bukan malah duduk terbengong di depan laptop seperti apa yang dia lakukan sekarang. Bahkan di kupingnya, suara ombak seakan sudah terdengar. Sepertinya Galuh memang sudah gila karena batal liburan.
"Luh, kamu mau keluar atau enggak?"
Kepala Galuh menoleh ke belakang, dimana Kakaknya melongok dari celah pintu yang terbuka.
"Memangnya kenapa, Bang?" tanya balik Galuh.
"Kalau memang mau keluar, tolong beliin perlengkapan mandi Abang ya? Nanti uangnya Abang transfer ke kamu."
Mengetukkan jemarinya di atas meja, Galuh sedang menimbang adakah semangat di dalam dirinya untuk keluar hari ini. Sebenarnya dia malas, namun sepertinya dia butuh penyegaran pikiran saat ini, daripada membuang waktu di depan layar laptop tanpa bisa melakukan apapun.
"Oke. sekalian sama ongkir nya ya?"
Galih mengangkat jempolnya, tidak keberatan sama sekali dengan permintaan adiknya itu.
"Beres! Nanti Abang kirim lewat chat apa aja yang harus dibeli ya."
Galuh mengangguk. Dia mulai bangkit dari kursi kerjanya dan berjalan ke arah lemari begitu Galih meninggalkan kamarnya.
Dia tidak berganti baju, hanya mengganti celana pendeknya dengan jeans panjang dan juga melapisi kaus pendeknya dengan hodie tebal berwarna peach. Tak lupa dia membawa dompet yang kemudian dia masukan ke dalam tas, beserta dengan ponselnya.
Baru akan keluar dari kamar, dia langsung kembali masuk untuk mengambil kunci motornya. Hampir saja dia melupakan hal yang paling penting. Bagaimana dia bisa sampai di super market jika tidak membawa kunci motor? Motor adalah harta milik Galuh satu-satunya, lebih tepatnya merupakan harta yang dia beli menggunakan uangnya sendiri. Uang hasil menulis.
Sebelum pergi, tidak lupa dia mengunci pintu dan memastikan semua jendela sudah tertutup. Dia memang selalu menjadi satu-satunya orang yang tersisa di rumah saat Ayah dan Abangnya pergi. Kini, rumah menjadi kosong setelah dia juga pergi.
Perjalanan menuju super market terdekat memakan waktu hampir empat puluh lima menit dari rumahnya. Hanya segitu saja, namun untuk kaum mageran seperti Galuh, ini sudah merupakan pencapaian yang luar biasa. Dia bahkan sudah merasa lelah duluan.
Tanpa membuang waktu, dia langsung menuju ke arah bagian peralatan mandi. Membuka ruang chat dengan Abangnya dan mencari dimana keberadaan barang-barang yang dimaksud oleh Abangnya. Tidak sulit, karena biasanya barang-barang untuk lelaki memang sudah dikelompokkan.
Tapi apa karena ini adalah barang-barang lelaki sehingga pihak supermarket menaruhnya di tempat yang cukup tinggi? Atau memang hanya Galuh nya saja yang terlalu kecil?
"Duh, ini harusnya aku minta ongkos kirim yang lebih karena dibuat susah sama Abang." Galuh mengeluh, dia berjinjit untuk mengambil barang yang dia butuhkan. Shampo pria yang letaknya ada di atas, di barisan shampo pria lainnya.
"Mau saya ambilkan?"
Menoleh, Galuh tersenyum kikuk saat mendapati seorang pria tinggi sudah berdiri di belakangnya. Senyumnya terlihat ramah, tapi entah kenapa Galuh kurang nyaman melihatnya.
"Boleh. Saya enggak sampai buat ambil sendiri," ujarnya pada pria itu.
Galuh menyingkir dari hadapan rak dan membiarkan pria itu yang mengambil alih. Satu botol shampo lalu beralih ke tangan Galuh.
"Makasih banyak, Mas. Tadinya saya mau manggil Mas Karyawannya, tapi keburu ada Mas."
Pria itu mengangguk.
"Sama-sama. Bukan hal besar."
Lalu pria itu mengangguk sekilas sebelum kemudian berpaling dan meninggalkan Galuh.
Sampai pria itu menghilang di belokan, Galuh masih merasa bahwa aura yang dipancarkan oleh pria itu sedikit tidak asing. Namun dia tidak bisa mengingat siapa kiranya yang memiliki aura mirip seperti itu.
Memilih untuk tidak perduli, Galuh kemudian kembali mencari barang apa lagi yang harus dia ambil sesuai dengan pesanan Kakaknya.
*
Paginya, seperti yang biasa dilakukan, Galuh hanya berdiam diri di depan komputer. Hanya puluhan kata saja yang berhasil dia tulis. Rasanya belum cukup untuk membuat sebuah kerangka cerita jika dia hanya mengenal sekilas saja sosok Geoffrey yang dia temui di panti asuhan.
Sempat terpikir untuk menggunakan referensi lain sebagai tokoh utama ceritanya, selain Geo. Tapi sayangnya, Galuh sudah terlanjur tertarik dengan pria itu.
Berpikir sejenak, Galuh kemudian mengambil ponsel dan menghubungi Prasa, meminta untuk bertemu dengan sahabatnya itu.
Untunglah Prasa memiliki waktu sehingga Galuh bisa langsung pergi menemui gadis itu. Tempat pertemuan mereka adalah taman bermain yang ada di dekat sekolah SMP mereka dulu, yang juga SMP tempat Ayah Galuh mengajar.
Entah kenapa Prasa meminta bertemu di sana padahal siang sedang terik-teriknya.
"Prasa!" Galuh berteriak.
Yang lebih membuat dia aneh adalah, Prasa yang hanya mengenakan kaus tanpa lengan dan duduk di atas ayunan dengan cuaca se panas sekarang. Terlihat tidak terganggu sama sekali.
"Lo sengaja mau hitamin kulit?" tanya Galuh.
Dengan senyum lebar, Prasa mengangguk.
"Gue bosan sama kulit pucat ini. Mau bikin jadi coklat, biar cantik."
Galuh tidak ingin terlibat dengan keinginan gila sahabatnya, dia lebih memilih duduk di sebuah bangku semen yang di atasnya ada kanopi yang menaungi.
"Gue langsung aja deh, gue mau tanya lo punya kontaknya Mas Geo enggak?"
Mendengar pertanyaan dari Galuh, kening Prasa berkerut.
"Sejak kapan lo manggil dia dengan sebutan Mas?"
Galuh memutar malas bola matanya.
"Sejak kapan hal itu jadi penting buat ditanyakan? Tinggal jawab aja pertanyaan gue. Apa susahnya sih?"
Prasa mendengus. "Orang nanya kok etikanya enggak dipakai. Yang ditanya juga jadi malas jawabnya."
Tawa Galuh terurai mendengar gerutuan dari Prasa.
"Maaf deh, soalnya ini gue mau hubungin dia, minta izin jadiin dia referensi novel gue. Gue dari kemarin buntu banget karena enggak kenal karakter dia itu gimana."
Prasa menggeleng pelan.
"Sayangnya, gue enggak tahu kontaknya dia karena emang enggak kenal."
"Kalau nyokap lo?"
"Enggak akan tahu juga. Mami cuma tahu nomor kepala panti doang."
Galuh terdiam selama beberapa saat. Dia yakin kepala panti pasti tahu kontak Geo, namun rasanya tidak sopan jika Galuh meminta kontaknya begitu saja.
"Lo minggu ini bakalan kesana lagi, enggak?" tanya Galuh.
Pertanyaannya itu langsung dijawab gelengan oleh Prasa.
"Gue ada acara minggu ini. Kenapa? Lo mau kesana lagi?"
Kepala Galuh langsung mengangguk.
"Kalau begitu, lo harus kesana sendirian karena Mami juga enggak akan kesana minggu ini."
Wajah Galuh menampakkan ekspresi terkejut.
"Seriusan?"
Prasa mengangguk, "Serius lah!"
Mendesah lesu, Galuh merasa kebingungan sekarang. Dia membutuhkan referensi untuk novelnya secepatnya. Namun jika harus mengunjungi panti asuhan seorang diri, rasanya canggung sekali.
"Emangnya, harus dia banget yang jadi referensi lo?"
Galuh mengangguk.
"Karena dia tuna rungu?"
Menoleh, senyum Galuh muncul di wajahnya.
"Karena dia tuna rungu dan ganteng. Jarang kan, ada orang yang seganteng dia?"
Prasa mendengus lagi. Gadis itu masih betah saja berada di bawah sinar matahari.
"Yang ganteng kayak dia tuh banyak, Luh. Tapi emang jarang yang tuna rungu. Kebanyakan yang ganteng kayak dia itu sampah masyarakat."
Galuh tertawa, tangannya dia letakkan di pelipis untuk menghalau sinar matahari yang menusuk indera penglihatan nya.
"Jadi beneran, lo enggak akan kesana? Emang enggak bisa, kalau pekerjaan lo diserahin ke anak buah lo dulu?"
Dengan tegas, Prasa menolak. "Dia klien VIP yang dari dulu seluruh pakai EO gue buat setiap acara, jadi gue enggak mau kalau sampai dia kecewa dan berpaling ke lain hati. Lagian kalau emang penting, lo usaha dong, Luh!"
Wajah Galuh merengut.
"Ini juga gue lagi usaha, usaha tanya ke lo."
"Yeeeh! Dasar, Jonggrang! Lo beli aja snack buat anak-anak panti terus datang ke sana. Setahu gue, Geo ada di sana setiap Sabtu sama Minggu."
Menghela napas pelan, Galuh menelengkan kepalanya, menyandarkan pada besi penyangga yang terasa hangat.
"Kayaknya emang enggak ada cara lain ya? Gue kayaknya emang harus datang ke sana."
Prasa mengangguk sebagain tanda setuju.
"Tapi, Luh. Gue penasaran, apa sih yang bikin lo akhirnya nerima project itu? Gue yakin walaupun itu anak CEO yang minta dan lo dipaksa sama editor lo, tapi lo adalah orang yang bahkan bisa bikin tugu Monas tunduk sama lo."
Tawa Galuh kembali pecah saat mendengar ucapan Prasa.
"Enggak segitunya juga kalee! Ngaco aja lo, tugu Monas bisa tunduk sama gue."
Prasa ikut tertawa karena ucapannya sendiri.
"Selain gue bakalan dikasih cuti selama setahun, gue juga akan dapat bonus dari CEO nya secara pribadi. Jadi nantinya, yang gue terima adalah bonus double. Dari penerbitan naskah sama dari bonus pribadi CEO. Rencana gue buat keliling dunia akan berjalan lancar kalau project ini aman."
"Wooo! Pantas aja lo mau. Kalau gitu sih, emang enggak ada cara lain selain lo sendiri yang datang ke sana dan ketemu sama referensi lo. Demi liburan keliling dunia dan hiatus satu tahun lamanya."
"Ya kan? Oke deh! Gue mau kumpulin buku-buku yang udah enggak kepake dan belanja snack yang bakalan gue bawa ke sana. Misi ini harus berjalan dengan lancar!"
Prasa terkikik. "Tapi jangan sampai pemberian lo itu jadi enggak tulus ya, Luh! Sayang banget kan pahalanya."
"Ooootentu tidak! Masalah itu beda urusan. Gue niat memang beramal sambil bekerja. Jadi pahalanya dobel. Iya, enggak?"
Jempol Prasa terangkat naik, menunjukkan kekaguman dan loyalitas Galuh pada pekerjaan.
"Sip! Semoga lancar dan berhasil. Syukur-syukur lo bukan cuma dapat referensi tapi juga dapat calon suami. Iya, enggak?" goda Prasa dengan alis yang naik turun.
Galuh berdecak, bangun dari duduknya.
"Aamiin aja deh. Kalau calon suaminya kayak Mas Geo, gue enggak akan nolak."
**