bc

My beloved, Geoffrey

book_age18+
131
FOLLOW
1K
READ
HE
fated
goodgirl
drama
sweet
bxg
male lead
city
shy
like
intro-logo
Blurb

Persis seperti namanya, Surga yang berarti segala macam kebaikan ada di dalamnya.

Di dalam pria yang tidak sengaja dikenal oleh Galuh ketika dia sedang melakukan riset tentang cerita barunya, sosok Geoffrey sudah mencolok sejak awal dengan segala sifat baiknya yang bersinar.

Di suatu ketika, saat Galuh jatuh cinta pada pria itu, dia berujar,

"Enggak apa-apa kamu kesulitan mendengar, aku hanya perlu berbicara lebih keras."

Geoffrey yang dia sukai, adalah seorang tuna rungu.

chap-preview
Free preview
One
"Kan Mbak udah tahu kalau saya enggak bisa ditekan begini.” Galuh mendesah frustasi, menatap ke arah seorang wanita berjilbab yang tampak sama frustasi sepertinya. Dia memang hidup nyaman dan berkecukupan selama tiga tahun ini berkat penghasilan dari menulisnya. Membuat cerita yang kemudian diterbitkan oleh salah satu perusahaan penerbitan yang sudah punya nama besar di Indonesia. Dan Kalira, wanita yang kini berhadapan dengannya ditemani dua cup vanila latte dingin itu adalah salah seorang editor yang bertanggung jawab terhadap naskahnya. Kedatangan Kalira memang bukan hal yang aneh, yang membuatnya menjadi aneh dan menimbulkan masalah adalah karena editor Galuh itu meminta dirinya membuat sebuah cerita romantis di saat Galuh sedang dalam masa cutinya. Dan dia sudah mengumumkan tentang rencana cutinya itu dari jauh-jauh hari kepada Kalira dan juga pihak penerbit, namun tiba-tiba saja Kalira datang, memohon agar dirinya mau menerima projek dari perusahaannya ini. "Masalahnya bos mintanya kamu, dia bilang dia suka sama gaya menulis kamu." Galuh berdecih pelan, mau dipuji seperti apapun itu sama sekali tidak bisa membuatnya menerima projek ini begitu saja. Bukan maksud Galuh jual mahal, apalagi honor yang ditawarkan kali ini cukup untuk menambah tabungan keliling dunianya dalam jumlah yang tidak sedikit. Namun yang menjadi masalah adalah Galuh tidak akan bisa sembarangan menulis cerita, dia hanya bisa menulis jika dirinya siap, ingin dan tidak malas melakukan riset. Itu lah kenapa selama tiga tahun ini ceritanya selalu laris dipasaran bahkan banyak dari karyanya yang menjadi best seller. Maka dari itu dirinya merasa tidak bisa kalau harus menerima tawaran dengan begitu saja dari Kalira di saat dirinya sama sekali tidak terpikirkan untuk membuat carita baru. "Kalau memang harus saya, ya seenggaknya bisa tunggu sampai tahun depan, sampai masa cuti saya selesai," kata Galuh. Dia meringis mendapati wajah stres Kalira di depannya. Mau bagaimana juga dia tidak bisa membuat cerita jika bukan keinginannya sendiri. "Kamu kan bisa lihat dari kehidupan sehari-hari, apalagi kamu bukan sekali dua kali nulis cerita dengan genre romance kayak gini, Luh. Pasti gampang kok, saya juga bakal bantu kamu sekuat tenaga," bujuk Kalira tidak menyerah. Galuh mendesah pelan, daripada memilih penolakan lain untuk Kalira dia lebih berminat untuk menarik cup vanila latte miliknya, meneguknya perlahan hingga dahaga yang mampir ke tenggorokannya karena terlalu banyak membantah, hilang. "Tolong lah, Luh. Saya perlu cuti buat nikah di akhir tahun, tapi kalau saya enggak berhasil bujuk kamu, yang ada bos enggak akan ngasih saya ambil cuti di akhir tahun nanti." Kening Galuh berkerut kemudian, "Kok jahat?" "Ya makanya! Udah enggak ada cara lain, Luh. Saya enggak mungkin dong menunda pernikahan saya sampai tahun depan, calon suami saya udah susah-susah ngurus cuti dia." Rasanya semalam Galuh tidak bermimpi buruk atau juga memiliki firasat yang tidak baik, namun kenapa ini malah terjadi di hari yang seharusnya dia nikmati dengan merebahkan diri seharian atau juga mengelilingi mall sampai bosan walaupun tidak membeli apapun? Dia pikir tadi pagi saat Kalira menghubunginya, editornya itu hanya akan menanyakan soal progres novel terakhir yang sedang dalam proses penyelesaian, siapa sangka jika wanita ini malah meminta Galuh untuk membuat cerita baru yang sama sekali tidak pernah terpikirkan olehnya? "Saya engak bisa, Mbak. Hasilnya juga enggak akan bagus kalau terlalu memaksakan," tolak Galuh sekali lagi. Mau bagaimana lagi di saat dirinya sendiri bahkan tidak yakin dapat menemukan ide. Galuh pantang membuat cerita yang asal jadi tanpa riset yang memadai, setidaknya Galuh bahkan harus memikirkan ide ceritanya dalam waktu paling sebentar dua minggu. "Tolong dong jangan bilang gitu, Luh. Saya janji deh bakal bilang ke Bos supaya kamu enggak usah dikasih tenggat waktu, asalkan kamu bersedia buat setuju sama permintaan Bos itu." Galuh tertawa garing, dia menggelengkan kepalanya sejenak sebelum kemudian memundurkan duduknya. "Enggak ngasih tenggat itu adalah hal yang mustahil, Mbak? Bukannya Bos juga minta saya buat nulis ini karena dia menginginkan sesuatu?" Lalu Galuh menatap Kalira bingung saat editornya itu terdiam, berulang kali melarikan matanya ke arah lain. Galuh jadi merasakan curiga yang sebelumnya tidak dia rasakan. "Ada apa nih? Apalagi yang belum Mbak kasih tahu ke saya?" tuntutnya. Galuh Amanda Bastari bukan hanya menjadi penulis kondang diusianya yang baru menginjak dua puluh tiga tahun, namun berkat kepekaannya terhadap lingkungan, dia juga sering kali dipercaya menjadi teman curhat yang kompeten oleh para sepupunya, bahkan oleh Mamanya juga. Maka hanya dengan melihat gelagat Kalira, dia paham betul jika ada sesuatu yang sulit untuk wanita itu beritahukan padanya. "Kamu tahu enggak kenapa Bos berani kasih harga yang lumayan kali ini?" tanya Kalira, meminta Galuh untuk menebak. Namun tenaga Galuh sudah terkuas sejak bertemu dengan Kalira, sehingga yang dia lakukan kemudian hanya menggeleng. "Anaknya bos besar salah satu penggemar novel kamu, usianya baru lima belas tahun dan dia nangis waktu denger kalau kamu akan cuti selama satu tahun ke depan dan enggak akan ada buku baru kamu lagi yang terbit. Makanya bos besar yang bucin banget sama keluarganya itu akhirnya meminta Kepala editor supaya bujuk kamu buat bikin satu lagi karya terakhir sebelum kamu benar-benar cuti." Sebuah fakta mencengangkang. Galuh bahkan sampai melongo mendengarnya. Dia bukannya sombong, namun memang benar jika banyak sekali orang yang terhanyut saat membaca novelnya, banyak dari mereka bahkan sudah menjadi fans tetap dengan mengikuti setiap postingan Galuh di stagram. Hanya saja dirinya yang rendah hati ini sama sekali tidak pernah berpikir jika salah satu dari penggemarnya adalah anak dari bos besar, yang merupakan CEO sekaligus pemilik dari perusahaan penerbitan tempat dirinya bernaung selama tiga tahun ini.  "Dengan kata lain, saya enggak bisa nolak?" tanyanya lesu. Kalira dengan senyum kikuknya, kemudian mengangguk. "Sebenarnya kamu bisa nolak, tapi setelah cuti selama satu tahun maka kamu harus siap cari penerbit lain yang bisa membayar karya kamu sebesar Gree Publisher." Sontak saja Galuh langsung menjatuhkan kepalanya di meja. Sayangnya dia gagal mengontrol kecepatan kepalanya mendarat hingga kemudian terantuk begitu keras hingga menimbulkan bunyi berdebum, membuat pengunjung lain terkejut dan langsung menoleh padanya. "Bisa miskin saya, Mbak setelah cuti," erangnya putus asa. * "Apa nih? Bukannya lo bilang cerita lo udah kelar?" Galuh tidak ambil pusing saat tiba-tiba saja tanpa sopan santun, sahabatnya masuk ke dalam ruang kerjanya. Ruang yang lebarnya tidak seberapa dan hanya terisi sofa berukuran sedang, meja komputer dan kursi putar yang nyaman itu sudah menjadi ruang kerjanya sejak novel pertamanya menjadi best seller. Biasanya Galuh akan menggunakan semacam tanda di depan pintu setiap kali dia sedang menulis, agar tidak ada yang mengganggunya. Namun karena terlalu stres, dia jadi lupa untuk memasang tanda itu. "Gal, soal rencana lo ke Bali--" Galuh sontak mengangkat tangannya, menatap Prasasti dengan mata sayu yang menyedihkan. "Tolong jangan hancurin perasaan gue dengan membahas itu, gue enggak jadi ke Bali," katanya lesu. Kontan saja ucapannya itu membuat gadis tomboi yang sering dipanggil Prasa itu berpindah cepat dari sofa hingga ke samping Galuh duduk, dia rela berdiri demi bisa berbicara lebih dekat dengan sahabatnya itu. "Kenapa? Lo bahkan udah mengerahkan jiwa raga lo buat liburan ini," tanyanya terkejut. Mendengus setelah mendengar kalimat Prasa yang hiperbola, Galuh dengan tidak berdaya membolak balikan kalender meja yang ada di meja kerjanya. Sebuah lingkaran sudah melingkari tanggal 26 yang seharusnya menjadi hari pertama liburannya, kini semuanya sirna sejak tadi siang dia akhirnya menyetujui permintaan dari Kalira. "Ada satu novel lagi yang harus gue buat, dan ini adalah permintaan dari seseorang yang penting banget demi kelangsungan hidup gue." Prasa berdecak, dengan semena-mena memutar kursi putar yang diduduki Galuh hingga kini mereka berhadapan. "Lo bukan tipe orang yang bakalan iya iya aja sama permintaan orang lain, kenapa kali ini lo nurut bahkan sampai batalin liburan lo?" Memasang wajah yang hampir menangis, Galuh menyentuh pundak Prasa hingga gadis itu terkejut. "Anaknya CEO adalah penggemar berat novel gue, dia nangis pas tahu gue mau hiatus buat satu tahun. Jadinya Pak CEO minya kepala Editor buat bujuk gue mau nulis satu cerita lagi sebelum kemudian benar-benar hiatus. Lo bisa bayangin kan kalau semisal gue nolak?" Prasa memundurkan tubuhnya, memasang senyum prihatin ke arah Galuh. "Lo bisa dipastikan jadi gelandangan, Gal," balasnya langsung. Galuh mendesah lesu. Dia menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi dengan nelangsa. Sejak pulang dari bertemu Kalira, dia sudah memikirkan ide cerita barunya. Namun hingga kini sore menjelang, dia masih belum yakin untuk menggunakan ide yang saat ini berputar di kepalanya. "Gue bahkan enggak tahu mau nulis cerita yang kayak gimana," lirih Galuh sambil menangkup wajahnya. Prasa yang sama sekali tidak memiliki bakat di bidang tulis menulis seperti halnya Galuh, hanya bisa mengusap pundak sahabatnya itu, berharap bisa sedikit saja membuat Galuh tenang. "Besok lo temenin gue ke puncak, yuk! Siapa tahu kalau otak gue seger, gue jadi bisa dapat ide cerita," pinta Galuh kemudian pada Prasa. Sayangnya, Prasa kemudian memasang wajah penuh rasa bersalah, kepala gadis berambut sangat pendek itu menggeleng. "Besok minggu, gue harus ikut nyokap gue ke panti asuhan seperti biasa." Lagi-lagi Galuh harus mendesah kecewa. Padahal hanya Prasa yang dia punya, namun gadis itu malah berhalangan hadir. Dia memang tahu jika Prasa dan keluarganya rutin mengunjungi panti asuhan untuk menyampaikan sumbangan yang dikumpulkan dari rekan arisan Mamanya. Bahkan setiap gajian, Galuh pun pasti menitipkan sedikit uang untuk ikut disumbangkan. Tapi sayang sekali kali ini hari itu datang di waktu yang tidak tepat, setidaknya untuk Galuh. ....atau tidak? Karena kemudian saat mata Galuh melebar, tangannya menarik lengan Prasa hingga gadis itu terkejut, dia berujar, "Gue ikut," katanya semangat. "Kemana?" "Ke panti asuhan." **

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
205.8K
bc

Siap, Mas Bos!

read
13.3K
bc

Tentang Cinta Kita

read
190.3K
bc

My Secret Little Wife

read
98.1K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.6K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.4K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook