"Tante enggak nyangka kalau kamu mau ikut, biasanya kan kamu sibuk terus bikin novel."
Galuh hanya bisa menyengir kikuk saat mendengar ucapan dari Mamanya Prasasti. Dia merasa malu, karena selama ini setiap kali Prasa mengajaknya di akan dengan senang hati menolak dengan alasan bahwa dia sibuk menyelesaikan novelnya. Maka seperti ini lah cara ibunda sahabatnya itu menyindir nya saat dia tiba-tiba berinisiatif untuk ikut.
"Dia ikut juga karena mau cari inspirasi buat novel barunya, Ma," celetuk Prasa.
Meringis, Galuh dengan salah tingkah membetulkan letak duduknya saat kemudian mendengar Mamanya Prasa bertanya, "Oh ya?" padanya.
"Galuh enggak bisa nemuin jalan ceritanya harus gimana, Tan. Soalnya kan niatnya Galuh mau ngambil cuti selama setahun, tapi karena suatu hal akhirnya Galuh diminta buat nulis satu cerita lagi sebelum benar-benar cuti. Makanya tadinya Galuh mau ngajakin Prasa ke puncak, tapi sayang banget Prasa enggak bisa karena harus nemenin Tante. Daripada Galuh pusing sendirian di rumah, mending ikut Tante sama Prasa kan? Siapa tahu Galuh dapat ide cerita." dia cekikikan saat kemudian Mamanya Prasa mendengus usai mendengar penjelasannya.
Karena dirinya adalah anak piatu yang ditinggal mati oleh ibunya sejak dia masih sekolah dasar, Galuh sudah lupa rasanya memiliki seorang Ibu. Itu lah kenapa sejak mengenal Prasa dan keluarganya, Galuh jadi dekat dengan Mama dari sahabatnya ini karena Ayu, Mamanya Prasa adalah pribadi yang terbuka dan juga baik hati.
"Hati-hati loh, Gal. Jangan kebanyakan ngejar uang, nanti kamu lupa buat nyari jodoh."
Sontak Prasa dan Galuh saling pandang sebelum kemudian sama-sama meringis.
"Jangan ngomongin masalah itu di umur kami yang masih muda belia begini dong, Ma. Serem amat," sahut Prasa ngeri.
Ucapannya itu mengundang delikan tajam dari mamanya yang sedang menyetir. Wanita yang merupakan pemilik sebuah WO terkenal dan juga toko kue yang belakangan viral di media sosial karena didatangi atris bolywood itu, menatap garang pada putri bungsunya.
"Kamu juga ya, Prasa. Kamu itu cewek, dari dulu Mama enggak pernah rewel mau gimana pun kamu berpenampilan. Tapi kamu harus sadari dengan sepenuh hati kalau kamu perempuan, sudah saatnya kamu memikirkan tentang masa depan, pendamping hidup kamu."
Galuh reflek langsung menutup mulut untuk menahan tawa saat melihat wajah nelangsa sahabatnya yang menerima wejangan sepanjang jaman yang selalu dilakukan oleh seorang ibu pada anaknya. Dia yang hanya punya sosok ayah dan satu kakak lelaki mana tahu rasanya diomeli soal jodoh oleh seorang Ibu.
"Aku masih dua puluh tiga tahun, Ma. Masih mau belajar banyak jadi pebisnis handal seperti Mama dan Papa baru mikirin soal pasangan hidup," kilah Prasa. Biasanya Mamanya yang sangat senang dipuji itu akan langsung luluh saat dia mengeluarkan jurusan pujian semacam itu.
Tapi kemudian Prasa terkejut saat Mamanya malah berdecak sambil menatap dirinya dari kaca spion.
"Uang enggak akan susah dicari kalau kita mau usaha, beda halnya sama jodoh. Butuh banyak waktu buat saling mengenal seseorang yang menurut kita cocok, karena Mama pribadi bukan tipe yang percaya sama yang namanya jatuh cinta pada pandangan pertama, jadi seharusnya dari sekarang kamu sudah mulai serius membuka diri, mencari seseorang yang sesuai dengan apa yang kamu idamkan supaya engga terlalu banyak membuang waktu. Ingat ya, perempuan ada masa expired nya."
Galuh ikut merasa diingatkan saat kemudian Ayu juga menoleh padanya. Dia tersenyum, mengangguk pelan sebelum kemudian sibuk memandangi jalan di samping mobil mereka melaju. Kawasan panti asuhan ini ada di pinggir kota sehingga terhindar dari polusi yang bercampur debu kendaraan dan semacamnya. Sesaat Galuh bahkan lupa jika saat ini mereka masih ada di Jakarta, bukan di Bogor karena terpana melihat suasana yang sejuk dan adem.
"Kita udah sampai," beritahu Ayu.
Galuh melepaskan seat belt yang dia kenakan, dia menyandang tas slempang yang dia bawa. Berjalan memutar hingga sampai di bagasi mobil yang sudah terbuka, membantu Prasa untuk menurunkan barang-barang santunan yang mereka bawa.
"Adem banget," komentar Galuh lirih.
Dia langsung menatap ke arah Prasa saat ternyata gadis itu mendengar apa yang dia katakan.
"Emang iya, makanya kalau udah disini gue betah. Sayang aja disini agak susah sinyal."
Mendengar apa yang dikatakan oleh Prasa, Galuh lantas mengambil ponsel dari dalam tasnya dan kemudian mendapatkan bukti jika apa yang yang dikatakan oleh Prasa adalah benar, sinyal di bar ponselnya hanya satu batang saja. Dia meringis, lupa mengabari kakaknya kalau dia sedang ada di tempat yang agak jauh dari rumah. Mungkin saat sinyalnya kembali stabil nanti, akan ada banyak pesan dan panggilan tak terjawab yang masuk ke ponselnya.
"Lo bawain yang itu ya," pinta Prasa.
Galuh mengangguk, dia langsung mengangkat kardus yang tersisa di dalam bagasi. Sesaat dia pikir kardus itu akan terasa begitu berat, tapi ternyata tidak.
Setidaknya tidak sebelum akhirnya dia ditabrak oleh seseorang hingga kardus yang dia pegangi dengan susah payah, jatuh ke tanah.
"Oh, God!" serunya tertahan.
Dia sudah siap untuk mengomeli siapapun yang sudah membuat dirinya mengalami kesulitan, namun kemudian mulutnya terkatup rapat saat mendapati dua anak lelaki dan perempuan yang berdiri di depannya dengan wajah ketakutan.
"Maafkan kami, Kak. Kami enggak sengaja," ujar si anak lelaki.
Galuh memiringkan kepalanya, memperhatikan sejenak dan mendapati jika kedua anak itu memiliki garis wajah yang sama.
"Kenapa kalian lari-lari?" tanya Galuh sambil membungkukan sedikit tubuhnya, berusaha sejajar dengan kedua anak kecil di depannya.
Kedua anak itu saling pandang, sebelum kemudian menggeleng bersamaan, menolak untuk menjawab pertanyaannya.
Galuh mengangkat bahunya, sudah akan kembali memungut kardus yang tadi dia bawa saat kemudian sesosok lain berlari, terengah menghampiri tempatnya.
"Ale, Alea, kenapa kalian harus kabur lagi sih?"
Sejenak Galuh terpana. Sejatinya dia sama sekali tidak tertarik dengan pria berwajah tampan dengan kulit putih, alis tebal, bibir tipis kemerahan, dan juga tubuh tinggi menjulang seperti para artis Korea. Namun pria di depannya adalah pengecualian. Pria yang baru saja berlari entah darimana dan membuat wajahnya berkeringat itu, tampak bersinar di mata Galuh. Ini bukan kalimat hiperbola, tapi Galuh benar-benar merasa silau melihat pria ini.
"Maaf, Kak Geo. Kami enggak mau dibawa pergi."
Galuh sadar bahwa sudah bukan saatnya dirinya masih berada disini, namun entah kenapa kakinya malah enggan bergerak sama sekali dari tempat ini.
Pria itu menunduk, sama dengan yang dilakukan oleh Galuh sesaat lalu ketika berbicara dengan kedua anak itu.
"Mereka datang bukan buat bawa Ale dan Alea, mereka cuma mau kasih bantuan aja. Ale sama Alea enggak mau baju sama buku baru?"
Galuh tersenyum, melihat dari interaksi semua orang di depannya, sepertinya pria itu adalah salah satu pengurus panti. Ketika kemudian dia melihat tubuh Prasa yang melambai padanya dari kejauhan, Galuh langsung menunduk dan mengangkat lagi kardus yang tadi terjatuh.
Saat itu lah pria yang tadi sempat dipanggil Geo oleh anak-anak itu menyadari keberadaannya.
"Mbak salah satu donatur?" tanyanya agak terkejut.
Galuh sempat melirik kedua anak yang langsung bersembunyi di belakang pria itu saat menyadari masih ada dirinya disini, lalu dia membalas tatapan pria yang ada di depannya, membagi senyum sopan.
"Bukan, saya cuma mau bantu aja," jawabnya sambil mengedikan kardus yang ada di tangannya.
Pria itu mengangguk paham, kemudian kembali menunduk ke arah dua anak itu.
"Kalian masuk dulu ya? Kakak akan menyusul," pintanya.
Meski kedua anak itu tampak enggan, namun pada akhirnya mereka mau menurut. Berlari masuk lagi ke dalam halaman panti.
Galuh juga melakukan hal yang sama, dia sudah siap untuk berjalan masuk saat kemudian kardus yang sedetik lalu ada di tangannya, kini sudah berpindah ke tangan pria yang berjalan sejajar dengannya.
"Eh?"
Dia menatap penuh tanya ke arah pria itu. Tapi pria itu malah sibuk sendiri menyentuh telinganya, seperti sedang merapikan rambut hitam gondrongnya yang sedikit menutupi telinga.
"Saya bisa bawa sendiri kardusnya," kata Galuh dengan suara pelan.
Tapi pria itu tidak menoleh kepadanya, malah terus berjalan masuk ke dalam panti. Sempat pria itu menoleh dan tersenyum, namun tidak lagi memberikan balik kardus yang sudah berpindah ke tangannya.
Galuh memilih tidak terlalu memikirkan, toh pada akhirnya kardus itu memang akan diserahkan untuk anak-anak panti.
Begitu mereka sampai di dalam, keadaan di dalam sudah ramai sekali. Agak berisik karena beberapa anak-anak tampak antuasias menerima pembagian buku dan baju baru yang dibawa oleh Ayu dan Prasa.
Ini adalah pertama kalinya Galuh menyaksikan hal semacam ini. Dia tersenyum, merasa beruntung karena walaupun tidak memiliki Ibu, namun dia memiliki Ayah dan kakak yang sangat menyayangi dan menjaganya.
Lantas atensinya teralih saat kemudian pria yang tadi berjalan bersamanya, tampak mengobrol berama dengan Mamanya Prasa. Wanita paruh baya itu bahkan tersenyum begitu lebar, menepuk pundak pria itu dengan akrab.
Galuh penasaran. Penasaran apakah pria itu adalah bagian dari panti ini seperti apa yang dia pikirkan? Mungkinkah pria itu juga salah satu dari anak yatim piatu yang ada disini? Namun kemudian Galuh tidak mempercayai kesimpulannya sendiri saat melihat bahwa pakaian yang dikenakan pria itu tampak mencolok jika menjadi seorang anak yatim piatu. Gaya berpakaiannya sangat rapi, dan sama sekali tidak terlihat seperti orang yang kesusahan.
Apa mungkin karena dia sudah dewasa dan sudah bekerja sehingga memiliki penghasilan sendiri untuk membeli barang-barang keperluannya tanpa menerima santunan dari donatur? Itu mungkin saja.
Baru beberapa saat saja bertemu dengan pria itu, Galuh sudah memikirkan tentangnya dari berbagai sisi.
Sampai kemudian kembali terjadi keributan saat satu anak lelaki yang dia tahu bernama Ale, berebut baju baru dengan salah seorang anak lelaki lainnya. Saat itu lah Galuh menemukan sesuatu yang membuatnya terkejut.
Saat pria yang dia ingat dipanggil dengan nama Geo, berjalan menengahi kedua anak lelaki yang hampir bertengkar itu. Namun entah karena tidak siap atau bagaimana, Geo kehilangan keseimbangan hingga kemudian menabrak salah satu meja yanga ada di pinggir ruangan, yang membuat suasana menjadi semakin riuh.
Namun bukan itu yang membuat Galuh terkejut, yang membuatnya terdiam seketika adalah saat sesuatu jatuh dari tubuh Geo ketika pria itu terjatuh. Galuh mengenali betul alat itu karena dia pernah menjadikannya bagian dari riset novelnya.
Itu adalah alat bantu dengar, yang sering kali digunakan oleh para tuna rungu.
**