Three

1321 Words
Entah berapa lama Galuh terperangah dengan apa yang dia lihat. Pria itu langsung menunduk, mengambil kembali alat bantu dengar miliknya yang terjatuh. Tidak bermaksud tidak sopan atau bertingkah berlebihan hanya karena bertemu dengan seorang tuna rungu, namun Galuh sama sekali tidak menyangka jika Geo yang terlihat sempurna dari luar justru memiliki kekurangan yang sama sekali tidak Galuh duga. "Ale, kenapa harus berebut? Vian juga. Kalian kan bisa ambil yang lain, yang belum diambil sama orang lain." Suara tenang Geo kembali terdengar. Sama seperti sebelumnya, pria itu menunduk untuk menyejajarkan tinggi badannya dengan kedua anak lelaki yang ada di depannya. Bukan hanya Galuh, namun semua orang yang ada di sana tampak memperhatikan dengan seksama bagaimana Geo menangani kedua anak itu. "Ale suka yang ini, Kak. Ale enggak mau yang lain," kata Ale. Tangannya masih berusaha menarik baju yang dia pegangi bersama dengan anak bernama Vian. "Vian juga suka ini! Warna baju ini mirip sama Alea, jadi Vian mau pakai." "Harusnya aku yang pakai! Aku kan kakaknya Alea. Pokoknya aku enggak akan suka kalau Alea dekat-dekat sama kamu. Aku enggak setuju kalau Alea pacaran sama kamu!" "Pffttt!" Galuh tidak bisa menahan tawa saat mendengar kalimat polos dari kedua anak lelaki yang sedang dia tonton. Namun dia baru menyadari bahwa hanya dia yang tertawa dan itu membuat semua orang menoleh padanya, begitu juga dengan Prasa yang meringis sambil menggelengkan kepalanya. Memperbaiki sikapnya yang dirasa tidak sopan, Galuh berdeham lalu bergumam maaf pada semua orang. Dia sempat melihat bagaimana Geo tersenyum tipis sebelum kemudian pria itu kembali berhadapan dengan Ale dan Vian. "Memangnya kenapa kalau bajunya tidak sama dengan Alea? Toh Alea tetap menjadi teman kalian, tetap menjadi adiknya Ale." Lalu Geo menoleh pada anak gadis yang sejak tadi terdiam. "Kak Geo benar kan, Alea?" Baru lah gadis itu mengangguk. Ajaibnya, hal itu membuat kedua anak lelaki tadi sama-sama menyerah. Mereka kehilangan minat pada baju yang sejak tadi mereka perebutkan. "Kalau begitu, bajunya boleh buat Vian," kata Ale pertama kali. Lalu Vian ikut menggeleng, mengangsurkan baju itu pada Ale. "Buat Ale saja. Ale kan saudara kembarnya Alea, jadi harus pakai baju yang sama." Bagi Galuh, ini adalah pemandangan yang manis dan juga menakjubkan. Dia tahu bahwa tidak mudah menghadapi anak-anak sehingga melihat Geo yang dengan santai dan cakap dapat menenangkan dua bocah itu, kelas membuat Galuh merasa kagum padanya. "Mau keluar enggak? Gue mau minum." Menoleh, Galuh mengangguki ajakan Prasa. Mereka berdua keluar, memisahkan diri dari semua orang yang masih sibuk membagikan hadiah untuk anak-anak. "Keren ya?" Galuh mengerutkan kening setelah mendengar pertanyaan dari Prasa. "Apanya yang keren?" tanyanya tidak mengerti. Prasa tersenyum, kepalanya menoleh ke belakang dimana tempat berkumpul nya semua orang tadi. "Cowok tadi. Mas Geo." Galuh mengikuti arah pandang Prasa, kini dia mendapati Geo yang sedang mengajak bicara anak-anak yang lain bersama dengan para donatur dan pengurus panti. "Dia pengurus panti juga ya?" tanya Galuh penasaran. Dibandingkan seorang anak yatim piatu, Galuh lebih cocok sebagai pengurus panti jika dilihat dari bagaimana luwesnya dia berhadapan dengan anak-anak. dan lagi, anak-anak juga tampak sangat menurut padanya. Itu kesimpulan yang paling masuk akal bagi Galuh, namun kemudian dia mengernyit heran saat Prasa menggeleng. "Dia itu donatur juga, sama kayak Mama. Cuma dia memang lebih sering ada disini makanya jadi akrab sama anak-anak," jawab Prasa. Fakta yang membuat Galuh semakin takjub saja. Dia agak tidak percaya bahwa masih ada orang seperti itu di dunia ini, orang yang terlihat sangat tulus berbuat baik pada orang lain. Padahal di zaman sekarang dimana media sosial menjadi wadah paling penting bagi semua orang, kebaikan jenis apapun akan dipublikasikan demi menuai pujian dari banyak orang. Tapi Galuh menebak jika Geo tidak akan seperti itu. "Oh iya, tadi gue lihat dia pakai alat bantu dengar. Dia..." Prasa mengangguk. "Gue juga baru tahu bulan lalu pas Mama bilang. Dia memang tuna rungu, makanya kalau orang-orang mau ngakak dia ngobrol seenggaknya harus nepuk dia atau berhadapan langsung. Karena walaupun pakai alat bantu dengar, kadang kala dia kesulitan menangkap dengan baik. Itu yang gue tahu dari Mama." Galuh menatap jauh. Kini di dalam ruangan sana semua anak-anak digiring keluar. Semua makanan menang ditata di luar panti, di halaman yang cukup luas dan sejuk. Tempat dimana Galuh dan Prasa berada sekarang. Maka tidak heran saat semua orang yang tadinya di dalam, mulai berbondong-bondong keluar. Galuh menyingkir sejenak, dia tidak berniat untuk menjadi bagian dari orang-orang yang membagikan makanan untuk anak-anak. Bukan dia malas, tapi dia butuh berkeliling untuk mencari inspirasi sesuai dengan tujuannya sebelum dia dan Prasa juga Mamanya pulang. __ "Iya, Mas. Nanti sore juga pulang kok. Aku baru tahu kalau disini susah sinyal setelah sampai disini, makanya tadi aku langsung kirim pesan ke Mas Galih tapi enggak terkirim." Galuh berjalan ke sebuah danau yang ada di dekat panti. Niatnya adalah mencari inspirasi, tapi dia malah menerima panggilan dari kakaknya yang khawatir bukan main karena tidak menerima kabar darinya lebih dari dua jam. "Enggak usah, Mas. Aku kan pulang bareng Prasa sama Mama nya. Lagian Mas kan sibuk, aku baik-baik aja kok." Dia menghela napas saat mendengar bahwa kakaknya hendak menjemputnya pulang. Padahal Galuh sendiri tahu bahwa kakaknya sibuk dengan pekerjaan nya, tapi masih saja Galih menawarkan untuk menjemput Galuh. "Iya, Mas tenang saja. Galuh akan langsung pulang ke rumah. Ya sudah ya, Galuh tutup dulu." Setelah meyakinkan bahwa dirinya akan baik-baik saja, Galuh akhirnya bisa menutup panggilan yang tersambung dengan kakaknya. Galuh memasukan kembali ponsel ke dalam tasnya, matanya langsung menatap hamparan danau yang bersih di depannya. Mungkin jika malam hari, tempat ini akan sedikit menyeramkan. Namun saat ini, Galuh harus mengakui bahwa tempat ini akan mudah membuat orang terlena. Dia bahkan terpikir sebuah adegan perpisahan yang dramatis. Dimana tokoh utama perempuan dan lelaki saling berbicara, mengucapkan kata perpisahan di danau ini karena sangat tokoh utama wanita akan pergi melanjutkan pendidikan keluar negeri. Galuh juga terpikir, mungkin bagus jika dia menjadikan seorang pria yatim piatu yang tinggal di panti asuhan sebagai tokoh utama prianya. Tentu saja konflik utama adalah restu dari keluarga tokoh utama wanita. Walaupun cerita ini klasik dan sudah banyak ditemui, namun jika pandai dalam mengemas ceritanya, Galuh yakin ceritanya kali ini juga akan berhasil laris di pasaran. "Saya pikir Mbak kemana, ternyata disini." Galuh terkejut, dia bersikap waspada saat sebuah suara terdengar dari belakang tubuhnya. Ketika dia berbalik, dia lebih terkejut lagi menemukan Geo yang tengah tersenyum tipis padanya. "Ada apa ya, Mas?" tanya Galuh heran. Gadis itu tidak menyangka jika Geo akan mengikutinya hingga kesini. "Oh, enggak ada apa-apa. Tapi semua orang sedang makan dan Tante Ayu tadi mencari Mbak. Tadinya teman Mbak yang akan mencari Mbak, tapi karena saya sekalian mengambil barang kiriman dari donatur, makanya saya menawarkan diri buat mencari Mbak," jawab Geo. Galuh masih merasa terpesona dengan suara Geo yang lembut dan terkesan manis. Dari sekian banyak orang yang dia temui, dia benar-benar menyukai visual Geo secara keseluruhan. "Begitu ya? Kalau begitu saya akan kembali ke sana. Makasih dan maaf sudah merepotkan Mas," kata Galuh tidak enak hati. Geo menggeleng. "Kita bisa bareng jalan kesana." Karena dirasa tidak ada masalah jika mereka jalan berdua, maka Galuh mengangguk tanpa keberatan. Mereka berdua berjalan bersisian dengan Geo yang mengangkat sebuah kardus besar. Sekilas Galuh merasa bahwa kardus itu berat, tapi Geo tidak terlihat keberatan sama sekali. "Mau saya bantu bawa?" tawar Galuh. Rasanya tidak menyenangkan jika hanya dia sendiri yang berjalan dengan santai dan tanpa beban. Geo menoleh, mengulas senyum. "Enggak usah, Mbak. Ini enggak berat sama sekali," tutur pria itu. Mendengar penolakan dari Geo, Galuh mengangguk. Melanjutkan langkah hingga sampai kembali ke panti dengan Geo yang membawa kardus itu sendirian. Sampai di pagar besi yang sudah terlihat cukup tua, Galuh bisa melihat senyuman mengenalkan yang diperlihatkan oleh Prasa. Dia yakin bahwa sahabatnya itu tengah mengarang cerita romansa antara dirinya dan Geo yang kembali bersama-sama. Biarkan saja. Galuh membebaskan Prasa mengukir cerita sesuka hatinya. Malah bagus jika kemudian cerita yang dirangkai Prasa itu menjadi kenyataannya. Sepertinya Galuh tidak keberatan jika dipasangkan dengan Geo dalam sebuah cerita bergenre romantis. __
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD