Chapter 04

2050 Words
Sementara di lain tempat Carolina coba melawan akan tetapi kekuatannya kalah jauh dengan William. Hanya dengan satu tangan melempar tubuh ramping ke dalam mobil kemudian memakaikan self belt. Setelah itu membawa mobil dengan kecepatan tinggi menuju mansion nya. Sama sekali tak terusik dengan teriakan dan juga makian yang terus menerus memekak telinga. Sesampainya di mansion langsung menyeret paksa tubuh ramping yang terus saja berontak. Keributan yang terjadi di larut malam membuat para bodyguard dan maid menatap aneh ke arah tuan mereka karena biasanya setiap wanita yang di bawa pulang tak ada yang memberontak seperti Carolina. Membanting tubuh ramping ke ranjang king size miliknya lalu berjalan ke arah pintu, menguncinya kemudian berbalik menatap tajam manik biru yang juga menatapnya tak kalah tajam. “Sebenarnya apa maumu William?” Bentak Carolina. “Kau bertanya apa mau ku, hah?” “Yah katakan apa mau mu? Aku tak punya masalah denganmu tapi dengan seenaknya saja menyeretku ke tempat kotor ini.” “Kau!” Tangannya mengayun di udara, hampir saja membelai hangat pipi mulus Carolina.  “Dasar lelaki menyedihkan! Beraninya hanya dengan wanita. Kau ini sebenarnya laki-laki sejati apa banci, hah? Selalu saja cari masalah dengan wanita!” Tanpa dapat di tahan lagi tangannya mengepal hingga buku jarinya memutih, rahangnya mengeras, terdengar suara gemelatuk gigi namun hal tersebut sama sekali tak memancing rasa takut, justru semakin mendongakkan dagunya menantang. Rasa sabar yang semakin mengikis memancing amarah untuk segera menyumpal mulut Carolina saat itu juga. Mendominasi gadis tersebut bahwa William lah yang berkuasa dan mau tidak mau gadis itu harus tunduk tapi nyatanya … “Antarkan aku pulang atau kasus penculikan ini langsung mencuat ke media malam ini juga?” Mengacungkan ponselnya hendak menghubungi managernya namun dengan secepat kilat merebut ponsel dari tangan Carolina, melemparnya ke sembarang arah. “Jangan menguci kesabaranku Carolina!” Sambil membanting tubuh ramping ke ranjang, merasa di rendahkan segera melayangkan tatapan mematikan. “Ini namanya penculikan! Kau menculik seorang super model dan kalau publik sampai tahu maka, bukan hanya namamu yang akan tercoreng, tapi WD magazine juga akan ikut hancur bersama kehancuranmu lelaki b******k!” “Ternyata dalam keadaan mabuk kau masih bisa berfikir jernih Ms. Carolina.” “Aku tidak sedang mabuk!” Mendekatkan wajahnya hingga nyaris bersentuhan dengan wajah Carolina. “Kalau begitu apa kau sadar yang kau lakukan di lantai dansa? Kau menari dengan sangat seksi dan kau biarkan tangan pria sialan itu, leluasa menyentuh tubuhmu.” Sejenak Carolina coba mengingat-ingat dan yang di katakan William memang benar. Saat itu dalam pengaruh alkohol sehingga tak sepenuhnya menyadari dengan yang di lakukannya. Satu hal yang terpatri dalam otaknya, toh di mana salahnya? Single bebas melakukan apa saja yang di sukai kan? “Bukan urusanmu William! Memangnya kenapa kalau Jerk menyentuhku?” “Bukan hanya Jerk tapi tangan kotor lelaki lain, bodoh!” Bentak William. “Apa kau ini tidak punya rasa malu, hah? Kau biarkan tubuhmu yang seksi ini di sentuh banyak pria di tempat umum!” Suara bentakan William kali ini hampir memekak telinga membuat manik biru memejam dan segera beringsut menjauh. Menyadari ketakutan menyelimuti wajah cantik Carolina, segera menjauhkan tubuhnya kemudian mengusap kasar wajahnya. “Tidurlah!” Perintah William. Carolina beranjak berdiri. “Aku tidak sudi tidur di tempat asing. Antarkan aku pulang!” Tak juga bertindak, William hanya menatapnya nyalang. “Apa kau tuli Mr. William Darkness?” “Ini sudah larut malam jadi tidurlah dan jangan membuat keributan Carolina.” Carolina mendengus kesal. “Membuat keributan katamu? Antarkan aku pulang atau aku akan berteriak?” Kembali mengusap kasar wajahnya, William tampak frustasi menghadapi keangkuhan Carolina. “Untuk malam ini saja tidurlah di sini Carolina, aku akan tidur di kamar lain. Jika kau takut aku apa-apakan kau bisa kunci pintunya dari dalam.” Bibirnya langsung menyungging senyum sinis. “Kau pikir aku percaya dengan akal bulusmu lelaki buaya. Jangan kau samakan aku dengan para gadis murahan yang kau bawa ke kamarmu dengan suka rela. Jangankan tidur di ranjangmu, melihatnya saja aku jijik!” Sikap angkuh, sombong, keras kepala yang melekat dalam diri Carolina membuatnya semakin frustasi. Berkali-kali mengusap kasar wajahnya. “Ini adalah kamar pribadiku dan aku tak pernah membawa gadis manapun ke tempat tidurku ini kecuali ini untuk yang pertama kalinya!” William sendiri tak mengerti dengan jalan pikirannya, untuk pertama kalinya membawa seorang gadis ke dalam kamarnya, biasanya ia akan memakai kamar tamu. “Aku sama sekali tak peduli dan tak tertarik sedikitpun dengan penjelasanmu Mr. William Darkness, yang ku mau saat ini adalah kembali ke apartemenku, segera!” Langkah kaki mendekati pintu memutar handle pintu akan tetapi tak juga terbuka. Segera memutar tubuh, melayangkan tatapan muak. “s**t, buka pintunya William!” Manik biru yang biasa menyilau indah kini berkilat penuh amarah memuncak. Tersenyum licik. “Kalau aku tidak mau,” entah kenapa William jadi tertarik menggoda Carolina, gadis itu terlihat menggemaskan ketika sedang marah. Berjalan mendekat ke arah William. “Jadi kau tidak mau membuka pintunya? Baiklah kalau begitu rasakan ini!” Tanpa di duga sebelumnya langsung menendang kemaluan William menggunakan ujung lututnya. Serangan yang secara tiba-tiba membuat William mengaduh kesakitan. Carolina tampak tersenyum puas melihat wajah William mengernyit penuh siksaan. Akhirnya dengan terpaksa William menyuruh supir pribadinya mengantar Carolina pulang dan berpesan supaya mengantar Carolina sampai ke depan kamarnya, memastikan tidak ada lelaki lain yang menungguinya disana.  Sepanjang perjalanan berkali-kali supir pribadi William melirik Carolina melalui kaca mobil. Baru kali ini ada wanita yang berani menolak Tuan-ku. Setelah sampai di apartement, segera memeriksa ponselnya yang mati akibat di banting William dengan sangat keras. Menyalakannya kembali, seketika manik biru membeliak tak percaya mendpati ada 55 kali panggilan dari Siena dan juga Jerk. Tak ingin menghubungi kembali, langsung mematikan ponselnya, melemparnya ke sofa kemudian melenggang menuju kamar. Membaringkan tubuh rampingnya ke ranjang kesayangan, tak perlu menunggu lama manik biru sudah memejam sempurna mengarungi alam mimpi. Berbeda dengan William yang tak bisa memejamkan mata, bayang Carolina terus saja berputar dalam otaknya bagai kaset rusak. Beranjak dari ranjang menuju balkon, mendudukkan bokongnya di sofa kemudian menyandarkan kepalanya pada sandaran sofa berbantal kedua lengan, tatapan matanya nyalang menatap langit-langit. Dia sedang berfikir keras, menyusun berbagai rencana untuk bisa menjerat Carolina masuk ke dalam perangkapnya. Kau harus jadi milikku Carolina Keihl, harus! Batin William penuh tekat kuat. Belum sepenuhnya sinar pagi menampilkan senyumannya, ia sudah melenggang menuju kamar mandi. Meminta supir pribadinya segera menyiapkan mobil kesayangan bermerk Bugatti Veyron. Pagi sekali sebelum para karyawan datang William sudah berada di kantornya. Meninggalkan stick note di atas meja kerja sekretarisnya bahwa hari ini tidak ingin menerima tamu siapa pun termasuk Jasmine. “Apa yang terjadi denganmu?” Jansen bertanya ketika mendapati wajah murung William. “Tidak ada, aku hanya merasa sedikit bosan.” “Biasanya kalau sedang bosan kau selalu ke ruang para model.” Mengangkat sedikit sudut bibirnya. “Aku sedang tidak tertarik bermain ping pong.” Jansen langsung menjentikkan jarinya. “Fix, berarti sahabat ku ini sedang jatuh cinta. Siapa wanita tidak beruntung itu, huh?” Mencondongkan tubuhnya ke depan yang langsung di dorong oleh William. “Jauhkan tubuhmu bodoh! Jika orang lain melihat mereka akan berfikir kalau kita ini penyuka sesama jenis!” Mengucapkannya saja membuat bulu roma meremang begitupun dengan Jansen yang mendengarnya langsung bergidik ngeri. Segera beranjak berdiri dari sofa kemudian mendudukkan bokongnya di kursi kebesarannya. “Pergilah kemana gitu Will dan jangan di ruanganku. Lagi pula tak biasanya kau mendatangi ruangan ini.” “Aku kesini karena butuh obat pereda rasa nyeri, kelapaku pusing sekali.” Sambil memegangi kepalanya yang berdenyut hebat, wajahnya yang tampan terlihat pucat. Jansen tersenyum smirk. “Jadi kau datang ke ruangan ini kalau hanya sakit saja, dasar CEO merepotkan!” “Cepat berikan obatnya bodoh, kau ini dokter kan makanya untuk alasan itulah aku kemari. Apa gunanya aku membayarmu mahal-mahal kalau masih harus pergi ke rumah sakit. Buang-buang uang saja!” Omel William. Dia ini laki-laki tapi omelannya sudah seperti emak-emak. Dasar penerus generasi the power of emak-emak. “Dosisnya tinggi jadi minumlah saat kau sudah sampai di kamarmu karena beberapa menit setelah meminumnya kau akan merasakan kantuk luar bia-“ Belum juga menyelesaikan kalimatnya, William sudah lebih dulu merebut obat tersebut dari tangan Jansen. Sembari melempar tatapan mematikan langsung menyambar segelas air putih kemudian membaringkan tubuh kekarnya di sofa. Setelah beberapa menit ia pun sudah terlelap. Jansen hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya tak percaya sambil mengumpat kesal lalu melangkah keluar ruangan namun sebelum itu terlebih dulu mengunci pintu ruangannya agar tidak ada yang melihat perilaku labil sang CEO. Ketika sampai lobby langsung menghentikan langkah karena berpapasan dengan Jasmine. “Hai dr. Jansen,” sapa Jasmine. Tatapan nakal, gestur tubuh menggoda dan juga gerak lekuk bibir seksi memaksa kaum adam ingin segera membaringkan tubuhnya di atas ranjang, begitupun dengan Jansen namun buru-buru pikiran liar tersebut ia buang jauh-jauh dari otaknya sebelum hilang kendali dan menyeret Jasmine ke dalam mobil. “Oh ya William ada kan?” “Hari ini William tidak ke kantor,” bohong Jansen. Jasmine langsung mengerutkan keningnya. “Tapi tadi pagi saat ku hubungi, William bilang ada di kantor untuk itulah aku datang kemari.” “Kalau begitu kau cari saja sendiri, Nona.” Ucap Jansen ketus setelah itu segera melenggang keluar kantor membiarkan Jasmine yang menatapnya tak suka. “Dasar tak berguna! Awas saja kau, kalau aku sudah resmi jadi kekasih William maka orang pertama yang akan ku tendang dari kantor ini adalah kau, Jansen Mandez.”  Dari dulu Jansen tak pernah respect dengan para model yang selalu tunduk pada pesona William dan hanya super model Carolina lah yang mampu menarik perhatiannya karena gadis itu dengan tegas menolak. Pendiriannya teguh, sama sekali tak tertarik pada pesona William. Tak seperti Jasmine yang dengan suka rela menyerahkan tubuhnya untuk di nikmati sesaat. Jansen yang sedang berada di luar kantor melupakan keberadaan sang CEO yang sedang tertidur di ruangannya. Seketika langsung merogoh saku celananya lalu menghubungi William berulang kali akan tetapi sepertinya si empu masih tertidur pulas sehingga mengabaikan panggilan. Masak iya ia masih tertidur pulas? Harusnya kan si i***t itu sudah bangun, batin Jansen. Lain halnya dengan William, yang terjebak di dalam ruangan Jansen tak henti-hentinya mengumpat sumpah serapah. Ruangan yang tidak di lengkapi fasilitas telepon intern membuat William terperangkap di dalam sini dalam waktu lama. Sementara ponselnya juga tertinggal di dalam ruangannya, sehingga tidak ada jalan keluar lain selain menunggu kedatangan Jansen. Harusnya dari dulu kau pasang fasilitas telepon di ruangan ini dan tidak menuruti keinginan si bodoh Jansen, Dewa dalam hatinya memberontak. Banyak pekerjaan penting yang harus di selesaikan sementara ini malah terkurung di ruangan Jansen tanpa bisa melakukan apapun membuatnya sangat kesal. Awas saja kau Jansen! Tunggu hadiah dariku. Sampai menjelang malam hari pintu ruangan baru terbuka menampilkan sosok Jansen memasuki ruangan tanpa rasa bersalah sedikit pun. Langsung mendudukkan bokongnya di kursi kebesarannya, menyandarkan kepalanya pada sandaran, menatap langit-langit ruangan. Entah sudah berapa lama tenggelam dalam pikiran sendiri sehingga tidak menyadari sepasang manik dark brown menatapnya tajam. “Kerja bagus Jansen, mulai hari ini kau ku pecat!” Bentak William. Kalimat yang baru saja mengusik pendengaran langsung membuatnya terperenyak. Refleks beranjak berdiri kemudian menatap William yang sudah berdiri di hadapannya dengan penuh tanda tanya besar. “Apa yang kau lakukan diruanganku?” Mendapati yang di tanya hanya diam saja dengan melayangkan tatapan tajam, seketika pikirannya seperti di putar pada kejadian beberapa jam lalu. Oh My God bagaimana bisa aku melupakan si i***t ini di ruanganku? Jansen membatin sembari menyungging senyum sesal. “Sudah ingat semuanya Jansen?” Yang di tanya hanya menganggukkan kepala. “Ini hadiahmu! Rasakan!” Dasar pelupa tingkat akut. Tanpa di duga sebelumnya langsung melayangkan pukulan keras mengenai pelipis Jansen. Merasa tidak terima balas memukulnya dengan sangat keras. Tak terelakkan baku hantam pun terjadi. Ruangan yang di desain sangat maskulin itu pun langsung berantakan dalam hitungan detik.   --   “Siapa sih yang larut malam begini bertamu, dasar tidak tahu diri!” Ucap Carolina entah pada siapa sambil melangkahkan kaki menuju pintu. Sebelum membukanya mengintip terlebih dulu lewat interkam. “William? Untuk apa ia bertamu larut malam begini?” Desis Carolina. Tak berniat membukakan pintu, malah menelpon resepsionist untuk mengirimkan petugas keamanan supaya membawa pergi laki-laki yang saat ini berdiri di depan kamarnya. Selang beberapa menit William di usir secara paksa, karena mabuk ia malah membuat keributan. Carolina yang berada di dalam kamar berusaha tak menghiraukan keributan besar yang terjadi di luar. Tak ingin tidurnya terganggu, segera mematikan handphone lalu memasang alat peredam suara dan alhasil hal tersebut membuatnya bangun kesiangan padahal seharusnya saat ini sudah sampai di lokasi pemotretan. “Shitttt, aku kesiangan dan semua ini gara-gara kamu Will. Kau harus bertanggung jawab untuk semua ini!” Ucapnya entah pada siapa sambil dengan langkah terburu-buru meraih tas kesayangan dan juga kunci mobil. Melajukan mobil dengan kecepatan tinggi tak lagi memedulikan keselamatan diri sendiri. Namun di perempatan yang mengarah pada lokasi pemotretan jalanan sangat macet di karenakan ada kecelakaan beruntun. Shitt kalau begini caranya bagaimana aku bisa cepat sampai? Batin Carolina sembari melirik jam di pergelangan tangan. “Oh My God bagaimana ini? Aku sudah sangat terlambat.” Tak tahu harus berbuat apa untuk menerobos kemacetan karena nyatanya mobilnya sama sekali tak bisa jalan. Dalam keadaan terhimpit langsung menghubungi Siena namun hal pertama yang di terimanya justru omelan. Tak tahan dengan nyanyian cempreng Siena yang membuat telinga gatal langsung mematikan sambungan telepon lalu melempar ponselnya ke jok belakang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD