Rebecca Tasanee

1310 Words
“Kau pasti habis menemui pria itu?!” Rebecca yang lebih sering dipanggil Becca, tengah melepas sepatu lusuhnya, mendongak. Menemukan adik laki-lakinya sudah menyerangnya dengan kalimat yang selalu sama, juga nada tidak senangnya. “Chris, pria itu yang kau maksud adalah Daddy! Sebut dengan hormat!” Entah sudah berapa kali Becca mengulang kalimat yang sama. Mengingatkan Chris. Mata biru Chris yang serupa dengan Becca menatap malas, usia mereka terpaut tiga tahun. “Aku malas menyebutnya begitu!” katanya sambil bersedekap, “dibanding dia harus mendekam dipenjara seumur hidupnya, mengapa tidak mati saja—“ “Chris! Demi Tuhan, jaga bicaramu! Atau—“ “Atau apa, Becca?!” Chris ikut berdiri. “Untuk makan dan biaya hidup kita berdua saja, kau harus bekerja hampir dua puluh empat jam, mengapa kau masih peduli pada pria breengsek itu?! Biarkan dia mati membusuk di penjara?!” “Aku masih meyakini jika Daddy tidak bersalah.” “Ck!” Chris berdecak, “bukan kau yang menentukan Dad bersalah atau tidak, melainkan pengadilan sudah memutuskannya begitu.” Chris mengambil sebuah rokok dari kantungnya, Becca memerhatikan adik laki-lakinya. Selain sang Ayah, ia hanya tinggal memiliki Chris Howard dalam hidupnya. “Berbanding dengan kebencianmu, Daddy masih peduli dan selalu berharap kau datang menjengguknya.” “Aku tidak ingin melihat wajahnya lagi,” Chris memilih bangun. Mata Becca menatap adiknya, “besok aku kembali ke sana, jika kau berubah pikiran. Ikutlah denganku, bangun lebih pagi. Jam sembilan jadwalnya.” Chris tidak menjawab selain mengacungkan ibu jari kebalikannya, tanda ia tidak akan datang, kecuali keajaiban yang mampu meluluhkan hatinya. Setelah ayahnya dipenjara, Becca harus bertanggung jawab tidak hanya untuk dirinya sendiri, melainkan juga adiknya, Chris. Ia menyelesaikan kuliahnya yang sepenuhnya karena beasiswa, juga sambil bekerja untuk memenuhi semuanya. Besok selain berencana menemui ayahnya, untuk mengantarkan sesuatu yang ayahnya butuhkan, Becca juga ada panggilan wawancara. Dia menoleh, menatap sebuah potret lama, warnanya bahkan sudah memudar. Foto orang tuanya, juga Becca dan Chris saat masih anak-anak. Becca berusia sepuluh tahun, dan Chris tujuh tahun. Segalanya berubah karena ibunya pergi, alasan lain yang buat Bella menyayangi dan masih percaya pada sang Ayah karena setelah itu, Ayah benar-benar berjuang sendiri untuk mengurusnya dan Chris. Becca menghela napas dalam, hidup di kota besar seperti New York, tidak selalu terlihat menyenangkan dan semudah dalam isi pikiran orang-orang di luar sana. Becca tidak bisa duduk berlama-lama, pekerjaan rumah menunggunya. “Chris, paling tidak bantu aku mengurus rumah! Dasar pemalas!” Teriak Becca geram, menemukan rumah berantakan. Chris muncul, “tinggalkan saja, aku akan bantu sebisaku bila kuingin!” “Shittt! Dasar adik tidak berguna!” umpat Becca. Chris menyengir, lalu bersiul dan meninggalkannya. Becca melepas hoodie yang dipakainya, menyisakan T-shirt kebesaran berwarna putih, ia mengikat rambut panjangnya asal-asalan dan mulai membersihkan rumah. Mengeluh dan berdiam diri saja tidak akan membuat pekerjaan di sana cepat selesai, tidak ada waktu bersantai untuk Becca. Ia mengumpulkan sampah, setelah memisahkannya. Lalu membawa kantung sampah itu keluar, mata Becca menatap sebuah mobil sport biru metalik yang asing. Berhenti. Tidak jauh dari depan rumahnya. Kacanya yang gelap, tidak bisa membuat Becca cukup tahu jika ia tengah diawasi secara langsung oleh orang yang ada dibalik kemudi. Becca meletakan kantung sampah di tempat biasa, kemudian berbalik. Rasa penasaran membuatnya mengintip dari jendela, mobil itu masih berada di sana. “Aku seperti melihat mobil tersebut, tapi di mana?” gumamnya, mengedikan bahu dan pilih untuk masuk ke kamar, ia ada waktu dua jam untuk tidur, sebelum jam tujuh untuk berangkat ke tempat kerjanya. *** Becca mematikan jam weker tua yang setia membantu Becca dari keterlambatan dalam rutinitas sehari-harinya. Becca segera mencuci muka dan gosok gigi, tanpa mandi. Ia mengikat satu rambutnya, lalu mengganti T-shirt. Mengecek ponsel dan kartu yang biasa ia gunakan untuk naik Bus. Becca turun menemukan Chris sudah kembali. “Kau akan masuk? Kupikir kau libur.” “Jeff berhalangan hadir, aku menggantikannya. Uangnya lumayan untuk tambahan pemasukan kita.” Chris sebenarnya tidak pengangguran. Ia bekerja di sebuah tempat tatto dan pangkas rambut. Tapi, Becca menolak uang Chris. Ia ingin uang itu untuk Chris pakai membeli kemauannya, kebutuhan yang belum bisa Becca penuhi. Setelah ayahnya terjerat tragedi hingga kasus berat sekitar dua tahun lalu, Becca dan Chris harus mencari berbagai cara agar tetap bisa hidup. “Becca,” panggil Chris. Membuat Becca menoleh. “Sesekali kau gunakan uangmu untuk membeli pakaian, hoddie kuningmu itu sudah tidak layak pakai, bagaimana ada pria yang akan tertarik padamu?!” guraunya. Becca menatap datar, “meski aku berpenampilan menarik sekali pun, pria tetap akan kabur begitu tahu keadaan dan hutang kita.” Chris tergelak kecil, Becca bicara apa adanya. Kemudian ia pergi meninggalkan rumah untuk ke tempat kerjanya, begitu di luar, mata Becca langsung tertuju pada tempat mobil menarik perhatiannya siang tadi. Ternyata sudah tidak ada. Becca berjalan, menuju halte bus terdekat. Ia menyumpal telinganya dengan earphone. Menyetel musik favoritnya. Matanya fokus pada jalan menuju tujuannya. Tanpa menyadari sebuah mobil SUV Hitam, mengikutinya. Becca menangguk-angguk asyik seiring lagu hanya ia seorang yang dengar. Bus tujuannya muncul, Becca naik. Mobil itu masih terus mengikutinya, bahkan hingga Becca masuk ke sebuah club malam. Ia bekerja di sana. Mengganti bajunya, dengan seragam pelayan di sana. Becca akan pulang jam tiga pagi. Becca sudah bersahabat dengan situasi dunia malam di sana, ia bisa menjaga dirinya dengan baik. Hari ini ia bisa pulang lebih cepat, jam tiga pagi. Jika tidak dijemput Chris biasanya ia akan ikut dengan Jeff, teman dekatnya. Becca pulang jam satu dini hari, menunggu bus di sana sambil memakan roti dingin pemberian temannya. Becca memeluk dirinya sendiri, menunggu bus malam lebih lama sebab yang beroperasi sudah sedikit. Becca baru akan melangkah ketika matanya kembali menemukan sebuah mobil yang sama, seperti yang ia lihat berada depan rumahnya. Tiba-tiba ia merasa diawasi, namun kemudian Becca meyakini diri. Orang kaya mana yang ingin menculik wanita miskin, dan tidak menarik sepertinya? Lagi pula, ia tidak mengenal orang kaya mana pun. Becca membuang jauh rasa takutnya dan lega ketika bus yang ia tunggu masih ada, ia bisa pulang dengan rasa aman. *** “Jam besuknya sudah habis,” ujar penjaga saat Becca masih bicara dengan ayahnya. “Dad aku harus pergi,” pamitnya. Becca sudah hendak berdiri, tetapi Austin menghentikan putrinya. Ia menatap putrinya, “Becca, apa kau mau turuti keinginan Ayah?” Sejak bertemu hari ini, Becca merasa ada yang aneh dengan ayahnya. Terlihat ada yang membuat ia tersita pikirannya. Namun, tampak sulit untuk menyampaikan pada Becca. “Keinginan apa? Hari ini aku membawakanmu sayap ayam panggang, juga selimut baru, dad.” “Bukan mengenai makanan,” tidak ada waktu, Austin harus segera menyampaikannya walau tahu, ia tengah di awasi dan nyawanya terancam. Becca mengernyitkan kening, Austin mendekat, meraih tangan putrinya. Di lengannya terdapat gelang perak sederhana. Gelang yang selalu Becca gunakan, milik ibunya. “Becca, tinggalkan kota New York bersama Chris. Malam ini juga.” Becca terdiam atas permintaan ayahnya. “Meninggalkan kota? Kenapa—“ “Waktunya sudah habis!” Dua orang penjaga berbadan kekar mendekat. Memegangi tangan Austin. Perlakuan mereka pun membuat Becca merasa begitu janggal. “Dad!!” Panggilnya, “kumohon beri waktu satu menit saja, masih ada yang mau Dad sampaikan padaku!” Becca yakin Austin punya alasan. Austin menatap Becca, “aku tidak bisa mengatakan alasannya, tolong dengarkan aku tanpa pedulikan penasaranmu akan alasannya. Pergi malam ini juga, Becca. Dengarkan aku!” Becca mematung, tidak bisa mencegahnya terutama karena Austin sudah diseret meninggalkan ruang khusus menjenguk tahanan di sana. Becca terdiam, ia memikirkan kata-kata Austin. Sampai melamun, dan tidak memerhatikan jalannya. Dughh! Dia menabrak seseorang sampai Becca terjungkal, bokongnya mendarat di lantai, ia mengusap keningnya, mendongak dan mematung seperti tersihir oleh sosok pria jantan juga rupawan yang berdiri di depannya dalam balutan pakaian mahalnya. “Maaf—“ Kalimatnya menggantung, karena pria itu begitu saja melewatinya bahkan hampir menginjak tangan Becca. “Huft, wajah boleh tampan, tapi sikapnya sangat buruk!” dia berdiri, cepat-cepat keluar dari sana.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD