Sean Caldwell

1132 Words
“Rebecca Tasanee,” Ia berbalik, bertepatan dengan kehadiran Calvin—sahabat sekaligus orang kepercayaannya. “Kau masih belum berhenti mencari tahu tentangnya, Sean?” Kali ini Calvin tahu, meski Sean punya orang-orang khusus untuk melakukan tugasnya. Sean melirik dengan malas, kemudian memilih berjalan ke meja, menyandarkan bokongnya di sana sambil bersedekap. “Aku mengenalmu dengan baik, apa rencanamu padanya?” tanya Calvin lagi. Mengejar Sean sampai mendapatkan jawabannya. “Dia tidak ada hubungannya dengan Austin—“ “Ada!” Jawabnya dingin. “Ayolah Sean, seluruh gadis di penjuru New York, Amerika ini. Bahkan model hingga artis tercantik sekali pun mudah kau dapatkan! Mengapa kau harus merepotkan diri dengan satu gadis ini?!” Calvin berusaha mencegah apa pun yang ada dalam rencana Sean. “Kau bekerja untukku bukan untuk mengaturku!” Semua orang yang mengenal Sean Caldwell tahu jika ia bersikap bossy. Tidak suka diperintah, lebih suka memerintah dan semua harus sesuai kemauannya. “Kau tahu aku hanya coba mengingatkan dirimu,” Sean tetap berwajah dingin, datar dan ia membenarkan posisi berdirinya. Dia berjalan ke meja, mengambil salah satu foto dari tumpukan foto lainnya yang ia dapatkan. Sean memandang potret wanita yang tengah duduk, dengan pakaian sederhananya. “Pria itu masih bisa tersenyum, alasannya karena putrinya!” “Dia sudah mendapatkan hukumannya,” “Itu tidak cukup! Aku tidak merasa puas!” Kata Sean, “aku ingin melihatnya sangat menderita, bahkan sampai memiliki pikiran untuk mengakhiri hidupnya sendiri!” Calvin menghela napas dalam-dalam, “kau tidak akan mendapatkan apa pun dengan melibatkan gadis polos itu,” Kedua mata Calvin membulat saat Sean meremas foto gadis itu, sambil memberikan senyum penuh makna buruknya. Tatapan keduanya beradu, “kau memintaku menggantikanmu dalam meeting pagi ini, kau pergi mengintainya sendiri?” “Ya, dia kembali datang menemui pria sialan itu!” Rahang Sean tampak mengetat begitu menyebut dan ingat Austin. “Pagi ini dia menemui ayahnya lagi dan menuju sebuah perusahaan untuk wawancara. Dia hanya akan sia-sia melakukannya,” Calvin cukup mengerti arti ‘sia-sia’ yang Sean maksud. “Sean, pikirkan ulang. Jangan sampai kau terjebak dengan rencanamu sendiri.” Senyum Sean menghilang, ia menatap Calvin dengan satu alis yang menaik satu, “aku tidak pernah salah dalam menentukan rencana, Cal.” “Se—“ Tangan Sean terangkat satu, menandakan ia tidak mau mendengar apa pun yang ingin Calvin lanjutkan, “dibanding mengurusi hidupku, bahas pekerjaanmu, jangan sampai ada kesalahan seperti sebelumnya.” Calvin mengangguk, dengan cepat pembahasan mereka beralih. Tetapi, tatapan Sean tetap jatuh pada potret gadis bernama Rebecca Tasanee tersebut. ** “Becca!” panggil Chris menemukan kakaknya muncul dengan wajah lesu. “Kau di tolak?” Becca mengangguk, semangat yang terbangun sejak dapat panggilan wawancara di sebuah perusahaan cukup besar, harus pupus setelah ia dapat hasinya. Chris dan Becca sering berdebat jika mengenai Austin. Tetapi, Chris menjadi satu-satunya tempat bersandar Becca saat terlihat lemah. Chris memeluk sang kakak, menenangkannya, “jangan mengelap ingusmu ke bajuku!” Chris mengingatkan sebelum Becca melakukannya. Becca menangis sebentar, kemudian menjauh sambil menarik napas dalam-dalam. Ia tidak bisa berlarut-larut menangisi nasib buruknya lagi. “Aku sudah terlalu berharap bisa diterima, pemasukan kita akan stabil dan bisa mulai membayar sangkutan kita.” Dalam bayangan seorang Becca, jika ia diterima maka, Becca tidak perlu bekerja di beberapa tempat seperti yang ia lakukan selama ini untuk mendapat pemasukannya. “Jangan patah semangat, Bec!” Chris mengusap bahu Becca, “kau pasti akan dapat pekerjaan yang lebih baik dari ini,” “Aku tidak yakin,” Ujar Becca. Chris menatap kakaknya, “alasan mereka menolakmu karena apa?” Becca langsung merapatkan bibirnya, satu alasan yang sebaiknya tidak Chris tahu atau akan semakin membenci ayahnya. Namun, terlalu sulit untuk menyembunyikan faktanya. “Tidak perlu menjawab, apalagi berusaha merahasiakan dariku. Aku tahu jawabannya.” “Bukan karena dad seorang tahanan!” Becca langsung menyangkal. Chris menatap curiga, “ini alasanku tak bisa menemuinya, ia bukan hanya menghancurkan dirinya sendiri, tapi masa depan kita berdua!” Becca menatap mata Chris tampak tak bisa menutupi kebenciannya terhadap Austin. Becca tidak ingin mendebat, selain karena gagal dapat pekerjaan, ada sesuatu yang tengah menganjal pikirannya. Mengenai permintaan ayahnya untuk ia pergi bersama Chris dari New York. “Chris, Dad meminta sesuatu padaku.” “Apa? Dia bilang tak mau menyusahkan kau terus menerus, tapi dia selalu meminta ini—“ “Dengarkan aku dulu!” Becca sebal jika Chris sudah lebih dulu menyimpulkannya. “Dad memintaku membawamu pergi dari New York secepatnya!” Chris seketika terdiam dapat informasi dari Becca. Beberapa detik ia coba mencerna, namun dasarnya Chris membenci ayahnya, ia berakhir terkekeh. “Itu konyol, Becca! Mengapa dia meminta kita melakukannya?!” Becca mengedikan bahu, bingung sebab ia pun tidak tahu, sang ayah lebih dulu dibawa pergi sebelum mengatakannya. “Waktu kunjunganku sudah habis, Dad tidak sempat mengatakan alasannya.” “Sudah jelas, jika yang Dad minta itu konyol! Jangan dengarkan. Memangnya apa yang akan terjadi pada kita jika tetap di New York—“ Suara bel ditekan, membuat Chris menghentikan kalimatnya. Keduanya berpandangan. “Kau menunggu seseorang?” tanya Becca. Chris menggeleng, “tidak ada, aku memang janji bertemu Daren tetapi di tempat kerjaku, bukan datang ke rumah.” “Lalu siapa?” Chris mengedikan bahu, “biar kulihat,” Becca mengangguk, meski begitu perasaannya mendadak jadi tak nyaman. Entah apa, tetapi rasanya seperti saat ia akan ditinggalkan ibunya maupun mendapat kabar buruk dari Austin dua tahun lalu, membuat kehidupannya benar-benar berubah total. Beca menunggu dengan cemas, tetapi, Chris tidak muncul juga menimbulkan penasarannya. Becca berdiri, hendak mengambil langkah ketika Chris muncul. “Chris, siapa—“ Kalimat Becca menggantung, begitu menemukan Chris muncul tidak sendiri. Melainkan dengan beberapa pria, ada sekitar tiga orang. Namun, antara semua tamu tak diundang tersebut, tatapan Becca jatuh pada pria dengan kemeja hitam, celana bahan abu-abu. Pria itu memiliki netra cokelat. “Kalian siapa?” tanya Becca, tidak kunjung dapat jawaban, Becca melirik adiknya yang juga terlihat bingung. Becca memicing curiga, kemudian kilas ingatannya membuatnya tertarik pada satu kejadian hari ini yang refleks membuat Becca menunjuk wajah pria itu, “Kau?!” Chris menatap sang kakak, “jadi, kau mengenalnya?” Becca mengangguk, tetapi kemudian menggeleng. Membuat Chris berdecak gemas pada kakaknya. “Ck, jadi kau mengenal salah satu atau semuanya, tidak?” “Tidak, tapi kalau aku tidak salah... pagi ini bertemu dengannya!” Becca masih menunjuk wajah pria paling dominan di sana. Baik dari wajah, penampilan maupun menguarkan sesuatu yang tampak berbeda. Tatapan keduanya beradu dalam, Chris segera mendekati kakaknya. “Maaf, kami—“ “Nona Rebecca Tasanee, aku ada kepentingan denganmu. Hanya denganmu.” Kalimat pria itu dengan suara baritonnya yang buat bulu tengkuk seorang Becca meremang sekaligus berdebar. “Ya, itu aku. Apa yang kau inginkan dariku?” tanyanya dengan suara beraninya, tetapi tak mampu mengusik ekspresi pria tersebut yang tatap dingin.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD