02

2552 Words
Happy Reading and Enjoy~ "Anda sudah sadar putri?"  Elina membuka kedua matanya perlahan, cahaya matahari yang mengintip dari sela-sela jendela membuatnya silau. Ia kembali menutup matanya, mengerang pelan saat merasakan tubuhnya letih.  "Saya akan membawakan air hangat." Suara asing itu, buru-buru Elina membuka kedua matanya. Pandangannya mengarah pada wanita tua yang tersenyum lembut padanya. Siapa? Elina mencoba duduk, tapi tubuhnya seakan mati rasa.  "Anda baru saja sembuh selama koma hampir dua bulan, Putri. Sebaiknya jangan bergerak terlebih dahulu. Saya akan menyampaikan kabar siumannya Anda ke Yang Mulia. Putri? Yang Mulia? Bukankah ia sudah mati? Apa dirinya dihidupkan kembali oleh Raja kej***am itu.  "Tunggu, bolehkah aku bertanya siapa Yang-" Kalimatnya terhenti, Elina tidak bisa melanjutkan ucapannya. Lidahnya kelu dan kaku. Wanita tua itu masih menunggunya bicara.  "Tidak apa-apa, kau bibi boleh pergi." Ia sama sekali tidak bisa menayakan hal lain. Denyutan mematikan serta kilasan-kilasan memori seseorang berseliweran di dalam kepalanya.  "Jadila orang suci, Raja Aslan menginginkan darahmu. Kau harus mengorbankan dirimu sendiri, untuk kebaikanmu, Davina, aku akan mengurungmu di ruangan bawah tanah ini." Elina menjambak rambutnya, ingatan siapa ini yang melintas di kepalanya.  "Dua bulan lagi pernikahanmu dengan Raja Aslan, kau tidak bisa keluar. Pelayan itu akan memberimu makan seperti biasa."  Sepertinya ini ... ingatan seseorang.  "Aku akan bunuh diri." Elina berdiri, dengan tertatih ia berjalan ke arah cermin yang berada di ruangan itu. Seorang wanita cantik berdiri di sana, memakai gaun putih yang tampak lusuh. Wanita ini lebih cantik dari wajahnya yang dulu, juga lebih pendek dan kecil. Tubuhnya nampak lemah, Elina menyentuh pipinya dan wanita yang berada di pantulan cermin juga melakukan hal yang sama.  Dengan susah payah ia menelan ludahnya. Apa dirinya hidup lagi di tubuh seorang putri? Ia bergetar ketika memikirkannya.  Apa tadi yang berada di dalam ingatannya? Ia akan menikah dengan Raja Aslan! Elina menjambak rambutnya, denyutan mematikan kembali hadir di dalam kepalanya. Ia bunuh diri agar tidak menjadi hamba lelaki itu, mengapa kini dirinya kembali dihidupkan untuk menjadi permaisuri yang akan mengorbankan nyawanya!  Apa takdir menginginkan ia mati dalam dua waktu! Tubuh putri ini terlalu lemah, dan pandangannya juga memburam. Elina mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan. Putri ini pasti juga mengalami hal yang sulit. Seketika hatinya berubah sendu, ternyata bukan hanya dirinya yang mengalami masa sulit.  Putri seorang rajapun diperlakukan seperti ini. Tinggal di dalam ruangan terpencil dan gelap, hanya bisa melihat aktifitas di balik jendela. Dulu meskipun ia berada di desa yang sewaktu-waktu bisa dijajah, ia lumayan sering bermain dan berlari bebas.  Tubuhnya aktif dan terasa ringan, tidak seperti tubuh putri ini, lemah. Elina menyentuh cermin di hadapannya, wajar jika sang putri bunuh diri. Wanita malang itu pasti merasa putus asa kenapa ia pada akhirnya hidup untuk menjadi hamba sahaya seseorang.  Jika seperti itu, Elina tidak akan menyiakannya. Meskipun ia sendiri juga tidak mau berurusan lagi dengan Aslan, tetapi demi putri malang yang telah menyerahkan dirinya ini ia akan berusaha.  Aslan-lelaki itu pasti mati di tangannya. Untuk saat ini sepertinya Elina akan bersikap layaknya putri malang ini, ia akan menurut dan tidak memberontak sampai hari pernikahan mereka. Sebelum pelayan tua itu datang sebaiknya ia kembali berbaring. Cukup untuk dirinya mengenali keadaan.  Wajah putri ini amat cantik, dengan rambut gelombang sepinggang yang bewarna emas. Matanya juga bewarna emas, Elina tidak tahu apakah mata putri ini juga bewarna emas atau tidak. Hidungnya mancung dengan bibir bewarna peach yang tipis. Tidak heran gadis ini pilihan Aslan, lelaki itu pasti mencari pendamping yang tidak bisa apa-apa agar dirinya bisa menguasai semuanya.  Elina mengepalkan tangannya, ia hanya ingin mengetahui apakah kekuatannya ikut serta dengannya atau tidak. Jika memang dirinya keturunan dewi, tentunya orangtua yang berada di desa bersamanya bukan orangtua kandungnya.  Siapa orangtuanya yang sebenarnya? Dan mengapa ia berakhir di desa itu? Pertanyaan itu masih menjadi misteri. Lagipula ia belum mengetahui dari dewi mana ia berasal, dan apa kekuatan utamanya.  Elina harus banyak berlatih agar bisa mengimbangi Aslan. Pertama ia harus mencari tahu terlebih dahulu apa penyakit Aslan, mengapa pria itu perlu obat dengan menggunakan matanya.  Setelah mengetahui penyakit Aslan ia dengan mudah bisa mencari kekurangan yang lain agar bisa menyerang dengan tepat. Elina tersenyum sinis, jika ia berhasil mengalahkan Aslan, maka kerajaan Alasjar akan tunduk di bawah tangannya.  Tapi itu tidak mau berpikir sejauh itu, Alasjar kerajaan terbesar dan menguasai hampir seluruh benua yang ada di bumi. Akan sulit menemukan siapa orang yang paling pantas mengelolanya tanpa berbuat sesuka hati seperti Aslan.  Ia akan menghilangkan sistem p********n, ia juga akan memberikan tempat yang layak bagi negara yang dijajah. Elina akan mengubah sejarah. Tidak akan ada k*******n yang menyakiti, ia akan membuat semuanya terasa indah dan damai.  Pintu terbuka, menampilkan pelayan tua yang membawa nampan beserta beberapa hidangan lezat. Di belakangnya beberapa pelayan juga masuk membawakan pakaian bersih dan satu gaun yang tampak indah.  "Raja Aslan ingin berkunjung ke sini, Putri. Raja menyuruh Anda berdandan secantik mungkin, tapi maafkan saya karena telah menyampaikan berita yang tidak enak ini. Anda tetap tidak boleh keluar, putri. Karena Raja mengusulkan untuk membuat pertemuan di dalam istana."  Pelayan tua itu menunduk dengan wajah sedih, seolah turut merasakan apa yang dialami tuannya. Hati Elina sendiri berdenyut dengan denyutan yang menyedihkan, ia tidak tahu kehidupan putri ini, tapi tubuhnya seakan memberi petunjuk. Pada akhirnya ia tertunduk dengan wajah murung, putri ini yang berbicara tentang kesedihannya. Dan Elina turut merasakan.  "Bibi, bolehkah aku tahu siapa diriku dan namaku?" Elina mendongak, menatap dengan sendu. Suara putri ini amat merdu, sungguh nyaman di dengar. Setiap nada yang keluar mengalun dengan lemah.  Seperti yang sudah diduga, ekspresi pelayan tua di hadapannya tampak terkejut. "A-anda lupa siapa diri Anda, Putri?" Elina mengangguk dengan wajah polos, senyumnya mengembang tipis. Apakah ia sudah berhasil menyamar menjadi putri ini? Sedikit terbata, pelayan itu menjelaskan. "Na-nama Anda Putri Daviana, anak dari Raja Agung yang memerintahkan Damansus. Anda akan menikah dengan Raja Aslan, tetapi Anda menolaknya dan memilih mengakhiri hidup Anda. Para Dewa tahu jika kami membutuhkan Anda, selama hampir 2 bulan tertidur, akhirnya Anda sadar hari ini. Sungguh keajaiban." Elina tertawa miris, nyatanya pelayan tua di hadapannya ini juga tidak sayang pada dirinya. Pelayan ini mau melayaninya karena perintah Raja, jika tidak pasti sudah berbuat sesuka hati padanya.  Kasihan sekali putri Daviana, besar dan tinggal di kerajaan yang tidak memihak padanya. Pelayan tua ini pasti mata-mata yang dikirim Raja Damansus untuk memantau kegiatannya.  "Bibi, apakah bisa aku tidak bertemu dengan Raja Alasjar? Bibi tahu sendiri aku baru pulih, aku juga kehilangan ingatanku. Bukankah hal ini bisa berakibat buruk dengan pandangan Raja Alasjar kepadaku?" Elina tersenyum sinis, ia pernah dengar jika Raja Damansus menjunjung tinggi harga dirinya. Lelaki itu pasti tidak mau mempermalukan diri sendiri dengan meminta anaknya yang hilang ingatan bertemu dengan calon suaminya. Apalagi calon suami Putri Daviana raja terkuat.  "Apakah putri bisa bersikap seolah-olah baik-baik saja?" Ia mendongak, menatap pelayan di hadapannya dengan sendu. "Aku ingin berpura-pura, tapi aku tidak bisa."  Seolah tahu bahwa putri Daviana memang tidak bisa diandalkan, wanita tua itu terdiam. Berpikir bagaimana cara menyampaikan pendapatnya dengan raja tanpa membuat raja itu marah. "Saya akan memberi pengertian untuk Anda kepada Raja, putri. Anda tenang saja, sebaiknya Anda beristirahat dan memulihkan diri terlebih dahulu." "Terima kasih bibi, kau baik sekali." Senyumnya seketika lenyap ketika pelayan tua dan beberapa pelayan yang lain meninggalkannya sendiri, ia harus mencari cara untuk menghindari pertemuannya dengan Aslan. Pasalnya mata putri Daviana juga bewarna emas, sama seperti dirinya.  Lelaki k**i itu pasti melakukan hal yang sama terhadap putri Daviana, Aslan pasti akan mengambil mata putri untuk memeriksanya apakah itu termasuk mata dewi atau tidak. Sama seperti yang dilakukan pria itu padanya.  Elina berdiri untuk memeriksa barang-barang milik putri Daviana, gadis itu pasti meninggalkan petunjuk atau menulisnya dalam diary, 'kan? Ia juga harus mencari tahu apakah bola mata putri Daviana sebelumnya bewarna emas atau tidak.  Dapat! Buku ini tampak masih baru, belum berdebu. Elina membuka lembar pertama, berisi coretan-coretan sang putri yang merasa bosan dan ingin melihat dunia luar. Lembar kedua juga masih sama, begitu dengan lembar ketiga.  Memasuki lembar keempat sang putri mulai bercerita tentang pertunangannya dengan Aslan. Dia menceritakan bahwa Aslan sudah berubah menjadi sosok yang mengerikan, bukan lagi teman main yang asyik sewaktu mereka kecil dulu.  Putri juga menulis bahwa Aslan memuji rambutnya yang bewarna yang indah, sosok dengan matanya. Putri juga mengatakan ia tidak senang dengan pujian lelaki itu, aura Aslan sangat menakutkan.  Tidak salah lagi, Aslan memang berniat menjadikan putri Daviana yang malang ini sebagai tumbal. Ketika mendengar langkah kaki yang mendekat, buru-buru ia membereskan buku-bukunya dan berpura-pura tidur.  Pintu diketuk sekali, tanpa menunggu persetujuan darinya, pelayan itu masuk.  "Maaf mengganggu tidur Anda, putri. Saya harus menyampaikan kabar buruk ini, Raja tidak ingin mendengar penjelasan apapun. Anda harus berpura-pura mengingat kembali ingatan Anda dan juga ... Anda diminta datang ke ruangannya, putri." Elina duduk dengan melemaskan tubuhnya, lagipula tubuh putri Daviana memang tampak lemah. "Tapi aku tidak enak badan, apakah ayah tetap memaksaku?" "Maafkan hamba." Pelayan tua itu membungkuk. "Hamba sudah mencoba untuk menghentikan Raja, tetapi saran hamba diabaikan begitu saja." Pembohong. Tentu saja pelayan licik ini berpura-pura. "Tidak apa-apa, aku akan mengganti pakaianku terlebih dahulu. Sudah lama aku tidak bertemu ayah, aku sangat merindukannya." Elina yang mengatakannya, tapi mengapa tubuhnya bergetar. Ini reaksi dari tubuh putri Daviana. Seberapa kejamkah ayahnya memperlakukannya? Mengapa putri tampak sangat ketakutan padahal belum bertemu dengan ayahnya. "Ini pertama kalinya saya melihat Anda senang bertemu dengan Raja, putri. Selama ini Anda selalu menghindari Raja hingga membuat Raja sedih."  Bohong, pelayan ini terlalu banyak berbohong.  "Aku pikir nyawaku tidak dapat diselamatkan, tetapi dewa mengirimku kembali. Mungkin karena hal itu aku merasa bersyukur dan ingin meminta maaf pada ayah karena belum bisa menjadi anaknya yang berbakti." Ia berdiri dan berucap dengan nada riang. "Bantu aku memakai pakaianku, bibi." Tidak perlu diperintah dua kali pelayan tua ini maju dan langsung membantunya. Ia harus mencari alasan kenapa Raja bisa membenci putri Daviana, juga ia harus mencari alasan apakah pelayan ini suruhan langsung dari Raja atau malah dari selir-selir yang tidak menyukai kehadirannya.  Sepengatahuannya, Ratu Damansus sudah meninggal delapan tahun yang lalu. Dan Raja tidak menikah dengan ratu lain, hanya memiliki banyak selir di sisinya. Elina juga tidak tahu ada berapa banyak selir yang yang merencanakan kematiannya.  Karena terlalu polos dan berhati murni, putri Daviana selalu masuk dalam jebakan orang yang haus akan jabatan. Sungguh putri yang malang. Beristirahatlah dengan tenang, ia akan menggantikan dan membalas dendam semua perbuatan jahat yang mereka lakukan.  Setelah berpakaian, Elina mengikuti langkah pelayan yang menjadi penunjuk jalan baginya. Sesungguhnya kedua kakinya sendiri melemah, keadaan putri memang sangat lemah. Tapi karena ia punya sedikit kekuatan dewi murni yang belum diasah, Elina bisa bertahan dan melangkah dengan percaya diri.  Setelah sampai di ruangan Raja Damansus juga tidak ada yang memperkenalkannya ketika ia memasuki ruangan ayahnya itu. Penjaga dan prajurit di sini seolah tidak tahu bahwa ia anak Raja.  Elina menarik napas dalam-dalam, lalu mengelus pergelangan tangannya untuk menenangkan tubuh Putri Daviana yang begetar hebat.  "Tenanglah, kita akan baik-baik saja," bisiknya pelan. "Yang Mulia agung Raja Ahrem Kerajaan Damansus, putri Anda sudah berada di sini." Pelayan yang ikut bersamanya memperkenalkan diri. Elina menelan ludahnya dengan susah payah ketika lelaki itu berbalik.  Sengatan sakit dan rasa rindu yang menyesakkan langsung menghantam dadanya bertubi-tubi, lagi-lagi reaksi dari tubuh putri Daviana.  Elina menunduk, air matanya langsung mengalir. Ia bisa merasakan bahwa putri Daviana begitu merindukan sosok ayahnya, juga takut mengatakan rasa rindu itu.  Ia menunduk untuk memberi salam. "Kesejahteraan hanya untuk ayahanda." Secara tiba-tiba Raja Ahrem menghampirinya dan langsung menamparnya. Elina terjatuh, pandangannya berkunang beserta telinganya yang berdengung. Sudut bibirnya berdarah. "Aku menyesal telah melahirkanmu! Apa kau pikir sikapmu itu pantas, hah? Kau mencoba bunuh diri untuk menghindari perjodohan. Sikapmu sungguh memalukan." Wajar putri Daviana ketakutan bertemu ayahnya, bahkan jika seorang anak salah, apakah orangtua tidak bisa memberi barang lima menit atau bahkan tiga menit waktu untuk anak menjelaskan? Raja Ahram langsung menghakiminya.  Bahkan langsung memukulnya tanpa mau repot-repot menanyakan kabarnya terlebih dahulu. Elina mendongak dengan air mata yang mengalir.  "Maafkan aku, walaupun aku tahu ayah akan memukulku, aku tetap menguatkan tekad untuk datang menemui ayah. Walaupun aku tahu pada akhirnya ayah tidak bertanya tentang keadaanku, tapi aku masih keras kepala ingin bertemu ayah sebelum aku menjadi milik oranglain. Aku ... menguatkan tekad untuk datang ke sini karena ingin mengatakan bahwa aku merindukan ayah." Ia tersenyum sendu, air matanya kian deras mengalir. Kesedihan putri Daviana dan kesedihannya menjadi satu. Elina tidak tahu ia punya nyali sekuat ini, tapi tampaknya inilah yang putri Daviana ingin katakan kepada ayahnya.  "Aku telah membuat kesalahan, tapi ayah langsung menghukumnya. Sekarang, bolehkah aku memeluk ayah? Aku rindu sekali. Aku kehilangan ingatanku, dan bisakah di ingatanku yang sekarang kau hadir sebagai ayah yang baik?" Elina tahu dia sudah lancang, tapi melihat Raja Ahram yang diam saja dengan tubuh menegang, ia kembali melanjutkan. "Kalau ayah tida mengizinkan diriku yang kotor ini memeluk tubuhmu yang bagaikan dewa, tidak apa. Aku bisa mengerti. Meskipun ayahku raja, bukan berarti aku juga seagung dia, 'kan? Baiklah, kalau begitu ..." Elina berdiri dengan susah payah, melayangkan senyuman sendu ke Raja Ahram. "Hukum lagi aku jika ayah merasa kurang. Aku siap menerimanya kok, aku sudah terbiasa. Jika ayah mengizinkan aku pergi, aku juga akan pergi ke ruanganku yang berada di bawah tanah. Tempat yang bahkan para pelayan lebih tinggi darinya. Apakah ayah tahu? Jika ayah memberiku tempat tinggal di tempat pelayan itu sudah membuatku senang." Mungkin sebelum mati, putri Daviana belum pernah menyampaikan kesedihan hatinya. Ia berjalan dengan anggun ke Raja Ahram. "Pukul aku lagi, ayahanda." Dengan senyuman pahit ia mampu mengucapkannya.  "Aku baru sadar dari koma, badanku melemah, dan pandanganku buram. Ayah bisa memukulku lebih kuat lagi sehingga mungkin aku bisa tuli." Ia tertawa getir. "Telingaku bahkan berdengung, aku tidak bisa mendengar suara di sekitar dengan jelas. Tidak apa jika ayah ingin aku mati dengan cacat permanen." "Daviana ..." Suara Raja Ahram bergetar. Elina memberanikan diri memegang tangan Raja Ahram lalu mengarahkannya ke pipinya. "Aku bahkan tidak terlalu ingat kapan tangan ini mengelus pipiku dengan sayang. Ayah, tidak apa-apa jika ingin memukulku lagi. Aku sudah terbiasa, tidak perlu sungkan." "Davi ..." Raja Ahram menepis tangannya. Lelak itu berbalik dengan punggung bergetar "Pergi sebelum aku kembali memukulmu," katanya dengan nada menahan tangis.  Sebagai Raja di tuntut menjadi tegar, tapi ayah tetaplah ayah. Tidak apa, semoga dengan ini Putri Daviana bisa melihat bahwa ayahnya menyayanginya. Meskipun lelaki itu tidak menunjukkannya secara langsung.  "Terima kasih atas kemurahan hati Anda, Yang Mulia. Untuk pertemuan dengan Raja Alasjar, hamba akan menuruti permintaan Yang Mulia. Hamba akan berpura-pura mengingat apapun meskipun hamba hilangan ingatan." Elina sengaja berbicara dengan nada formal agar lebih menyakiti hati raja. Ia berbalik lalu melangkah pergi, sebelum mencapai ambang pintu ia kembali berbalik.  "Selamat tinggal, Yang Mulia. Kuharap suatu saat nanti kita bisa duduk berdua dan berbincang sembari minum teh, meskipun dalam mimpi sekalipun aku tidak berani memikirkannya." Tersenyum manis, ia kini benar-benar meninggalkan ruangan itu. Percuma jika ia keluar dari istana ibarat neraka ini jika pada akhirnya kembali ke istana yang bahkan lebih parah dari neraka juga. Elina bisa memahami derita yang dirasakan Putri Daviana.  Tapi mengapa diantara banyaknya manusia berdarah dewi dia yang terpilih untuk hidup kembali dan menetap di tubuh Putri Daviana? Mengapa tida orang lain saja, padahal ia tidak ingin bertemu dengan Aslan.  Takdir memilihnya untuk kembali terlibat meskipun dalam wujud yang berbeda. Ayah ibunya pasti paham dan menyuruhnya untuk membalas dendam. Baiklah, balas dendam dengan status b***k tida akan bisa, jadi mari balas dendam dengan status seorang putri yang merangkup menjadi permaisurinya.  Bersambung...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD