PROLOG

1213 Words
“Apa, Ma? Asisten pribadi? Mama nggak salah nyuruh Juna pilih Dara? Apa Mama lupa dulu dia pernah bikin Juna sakit hati? Nggak lucu, Ma! Juna nggak pengen punya urusan lagi sama perempuan gampangan kayak dia. Juna bisa cari calon Istri sendiri, jadi Mama nggak perlu repot-repot nyuruh Juna balikan sama dia. Oke?” ujar Arjuna, begitu kesal ketika sang ibu kembali membahas Andara Sasmita di meja makan. Namun Ambarsari masih berusaha menjadi mak comblang yang baik, “Jangan kayak gitu dong, Mas. Dara itu sekarang udah nggak pacaran lagi sama anaknya Tante Tuti. Malah cowok itu udah nikah gara-gara hamilin cewek lain. Mama kan diundang juga tuh kemarin pas mereka menikah di Balai Sudirman. Masa lupa, Mas? Mama ‘kan perginya sama kamu,” dengan menceritakan tentang mantan kekasih Andara pada sang putra. Tak ayal Arjuna sangat terkejut dengan informasi yang ia dengar, “Serius, Ma? Yang kemarin kita pergi itu, acara resepsi kawinannya si Indra Bagaskoro?” karena memang saat itu, hanya sang ibu saja yang naik ke pelaminan untuk bersalaman dengan pengantin dan keluarganya. Walau demikian adanya, hal itu ternyata tak membuat Arjuna berubah pikiran, “Makanya pas Mama ajak kamu untuk pamitan sama mantennya itu jangan sok jaim dong, Mas. Akhirnya kamu ketinggalan berita kayak gini, kan? Jadi gimana? Besok kamu terima Dara jadi asisten pribadi kamu ya, Mas? Soalnya dia udah resign dari kantornya si Indra. Mama kasihan aja kalau dia malah harus ngurusin usaha Bapak sama Ibunya. Soalnya mereka bisnis kue dan katering. Nggak nyambung dong sama ijasahnya Dara. Iya kan, Mas?” kendati sang ibu terus berusaha di sana. Ia lantas menjelaskan peraturan yang biasa terjadi di perusahaan, “Itu nggak akan pernah terwujud, Ma. Maaf kalau keinginan Mama nggak bisa Juna penuhi nanti. Soalnya semua orang di kantor itu diterima jadi karyawan memalui tes dari bagian HRD. Jadi kalau emang Dara lolos tes, baru dia bisa kerja jadi asisten pribadi Juna,” hingga Ambarsari pun bungkam seribu bahasa. Sejujurnya ibu satu anak itu ingin berjuang untuk bisa mewujudkan keinginan mendiang sang suami, namun ia tak ingin berdebat panjang dengan sang putra. Alhasil ia kini berusaha mencegah Andara untuk tidak mengantarkan surat lamaran pekerjaan ke kantor yang sekarang dipimpin oleh putranya, “Halo, Jeng Mira? Dara belum pergi ke kantornya Juna, kan? Oh, iya. Bagus deh bagus. Soalnya kata Juna dia nggak bisa ban— Lho, Mas? Handphone Mama kok malah kamu ambil sih?” Klik “Ma..mama kenapa malah telepon Tante Mira sih? Juna ‘kan ngomong kayak begitu tadi buat rahasia kita berdua aja. Sama Mama malah mau dibocorin. Biarin aja Dara ngelamar kerja di kantor Juna, Ma. Emmm... Kalau emang dia pintar, ‘kan sudah pasti diterima. Emang Mama nggak senang kalau Dara mandiri dan berjuang demi kebaikan dia sendiri?” namun Arjuna segera mengambil ponsel milik sang ibu, mematikan sambungan telepon tersebut dan berusaha menetralkan jantungnya yang berdegup kencang. Akan tetapi Ambarsari merasa ada yang aneh dengan cara berbicara anaknya, “Biasa aja ngomongnya kali, Mas. Nggak usah pakai gugup gitu. Sejak kapan kamu belajar menipu Mama, hem? Kalau emang masih cinta, ya harus diperjuangkan dong. Kamu ‘kan laki-laki. Kapan Mama punya cucu kalau kayak begini terus? Capek deh. Sini balikin handphone Mama cepat,” hingga ia pun mencecar dengan bahasa tersebut. Warna merah yang tergambar di wajah akibat rasa malu, membuat Arjuna segera bangkit berdiri, “Juna udah telat, Ma. Pergi kerja dulu ya? Bye Mama yang bawelnya tingkat dewi. I love you. Cup.” “Eh malah pergi! Belum kamu balikin handphone Mama kali, Mas. Mama ada janji mau cobain resep barunya Jeng Mira nanti siang. Gimana kalau nanti mereka kirim chat di w******p-nya Mama, Mas?" “Nanti Juna suruh hubungi Mama ke telepon rumah aja, Ma. Amanlah itu. Bye, Mamaaa...” “Eh, nggak bisa gitu. Tunggu dulu, Mas. Astagaaa... Arjunaaa...!” lalu Ambarsari, pun berlari mengejar sang putra dari ruang makan sampai ke halaman rumah. Sayangnya Arjuna sudah lebih dulu masuk ke dalam mobil, “Jalan, Mang Abdi. Saya udah telat nih. Jangan pedulikan suara Mama.” “Baik, Pak,” dan menyuruh sang supir untuk segera melakukan tugasnya. Tik tok tik tok tik tok tik tok Sayangnya bayangan wajah terakhir Andara yang ia lihat sekitar setahun lalu, membuat Arjuna terus saja merutuk wanita itu dalam hatinya, “Andara Sasmita. Kenapa sih perempuan aneh itu harus datang lagi dalam hidup gue? Hahhh... Nyebelin banget! Pakai segala deketin Mama lagi dia. Awas aja kalo sampai dia berhasil diterima jadi karyawan di kantor! Gue bakal buat dia nggak betah kerja, terus resign juga kayak waktu dia kerja di tempat si Indra gila itu. Lihat aja nanti, heh!” bahkan sang CEO juga berniat untuk mengusik ketenangannya. Padahal Andara sama sekali tidak berminat untuk bekerja di kantor Arjuna, “Kamu yakin mau bikin kafe tenda itu? Tapi sama aja mangkalnya nanti di kawasan kantornya Nak Juna ‘kan, Dar. Kalau misalnya dia lembur sampai tengah malam, bukan nggak mungkin ‘kan kalau kalian bisa berpapasan?” “Nggak masalah, Ma. Ini juga salah satu cara biar Tante Ambar ilfil sama Dara. Dari dulu Mamanya Juna paling nggak suka makan makanan kaki lima ‘kan, Ma? Jadi Dara putuskan untuk berbisnis aja mulai sekarang, sekalian belajar biar besok-besok bisa meneruskan usahanya Mama dan Papa. Emang Mbak Ratih mau ngelanjutin bisnis Mama itu? Dikasih izin keluar rumah sama Mas Ridwan ke sini bawa Fanny aja udah syukur alhamdulillah. Jadi nggak mungkin ‘kan Mama suruh Mbak yang ambil alih?” bahkan Dara berniat untuk berjualan makanan dengan konsep kafe tenda. Dari hati yang paling dalam, sebenarnya ia sangat ingin menyewa salah satu ruko di sepanjang perkantoran milik Arjuna, namun ia tak ingin meminjam modal dari kedua orang tuanya. Suka tidak suka Andara pun harus merangkak dari bawah, terlebih saat ini ia sedang berusaha belajar untuk memahami bagaimana cara berbisnis secara langsung. Miranda hanya bisa memberi dukungan pada putri bungsunya, “Terserah kamu aja deh. Mama sih cuma bisa kasih dukungan, sambil sidak jualanmu sesekali.” “Sidak? Udah kayak Pegawai Negeri Sipil aja main sidak-sidak segala. Emang apaan yang mau Mama sidak?” dengan banyolan khas yang sejak dulu selalu berhasil membuat seisi rumah memilihnya sebagai teman curhat terfavorit. Keduanya lantas tertawa riuh, “Sidak rasanya dong, Dar. Sekaligus sidak yang lain-lainnya juga. Kali aja pas Mama ke sana, si Juna juga ada. Jadi judulnya sidak asmara deh. Bener nggak tuh?” “Ye, Mama. Move on dong. Masa balikan lagi sama mantan? Nggak banget deh ah. Cari brondong aja ya?” lalu meneruskan adonan kue yang sedang mereka kerjakan dengan terus bercanda. Kendati demikian, Andara selalu saja mengamini perkataan sang ibu yang terus menghubung dirinya dengan Arjuna, sebab ia mulai menyebut dirinya terkena karma atas kesalahan terdahulu. Ia ingin meminta maaf sekali lagi pada sang CEO, karena selama satu tahun ke belakang, dirinya tak pernah lagi berjumpa dengan Arjuna dan tahu jika pria itu sedang menghindarinya. “Semoga aja lu nggak marah lagi sama gue, Jun. Gue beneran pengen berbaikan dan temenan sama elu. Bukan musuhan kayak gini terus. Tapi kapan bisa ketemu sama lu lagi? Apa sebaiknya gue lamar kerja di tempat lu aja kali ya?” namun rasa bimbang sering menghampirinya. “Ya ampun, Daraaa... Itu kenapa adonannya kamu mixer sampai mengembang kayak gini? Aduhhh...” bahkan acap kali membuat pekerjaannya selalu berantakan. “Astaga! Maaf, Ma. Maaf,” akibat lamunan yang ia bangun, sejak seminggu belakangan ini. Andara pun berlari menuju ke tempat sampah yang berada di dapur kotor, sembari segera mengganti adonan kue tadi. Akan tetapi ia tak tahu sampai kapan lamunan itu akan berada dalam isi kepala wanita berlesung pipi itu? Entahlah?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD