SATU

1278 Words
Arjuna memasuki kantor miliknya dengan langkah cepat, tanpa memedulikan ucapan selamat pagi dari beberapa karyawan wanita. Hal tersebut tentu saja karena sang CEO kerap merasa risih, namun kali ini bukan itu alasan utamanya. "Kok lantai empat, Pak? Bukannya kantor Bapak ada di lantai dua belas? Lagi pula Bapak harusnya naik lift yang di sebelah ta-" "Jangan banyak tanya! Memangnya kantor ini punyamu? Kepo aja urusan orang! Sana geseran dikit, malas banget saya deketan sama orang kepo kayak kamu!" melainkan karena ia sedang ingin menuju ke kantor HRD, yang berada di lantai empat. Akan tetapi seorang karyawan yang diketahui bekerja di bagian kreatif, membuat mood sang CEO terjun bebas. "Ye, si Bapak CEO tampan sinis aja. Saya 'kan cuma nanya, Pak. Kalau nggak suka ya jangan dijawab." "Ck! Bisa diam nggak sih, Cok? Saya mutasi ke bagian produksi yang khusus di luar ruangan baru tahu kamu!" "Aduh ampunnn... Iya deh saya diam sekarang. Peace ya, Pak. Peace," hingga ia sempat mengancam dan sukses membuat karyawan pria itu berhenti bicara. Sayangnya hal yang sama terjadi sekali lagi di sana, "Lho, Pak? Kok naik lift yang ini? Rusak ya lift khususnya, Pak? Emmm... Boleh nggak selfie sama Bapak sekali aja?" karena seorang karyawati yang masuk dalam jajaran pengagum berat Arjuna Adiwiguna, kembali mengganggu ketika lift pintu lift terbuka di lantai dua. Alhasil mantan tunangan Andara itu segera melangkah keluar dari lift karyawan yang berhenti lagi di lantai tiga, lalu secepat kilat ia masuk ke dalam lift khusus miliknya, "Sialan tuh orang-orang! Awas aja tuh orang berdua. Gue bakalan kasih pelajaran kalau nanti ketemu lagi," sembari terus mengumpat. Tit Saat tiba di lantai empat Arjuna segera mencari ruangan kepala HRD, "Pak Bambang belum datang, Pak. Mungkin sebentar lagi. Maklum ini hari senin, Pak. Jadi Jakarta pasti macet banget." "Apa kamu bilang? Macet? Rumah saya malah lebih jauh dari kantor, tapi saya tetap bisa on time. Niat kerja nggak? Kalau nggak niat ya begini ini!" namun salah satu karyawan di sana memberi informasi yang lagi-lagi membuatnya kesal. Brakkk... Sampai-sampai pintu masuk ke ruangan kepala HRD yang bernama Bambang Budiman, pun menjadi sasaran kekesalan Arjuna. "Makanya kalau punya mulut itu dijaga, Yo. Lo pikir Pak Arjuna itu orangnya enak di ajak ngebanyol? Dia itu monster menakutkan yang lebih jahat dari pada si Doctor Octopus di film Spiderman kali. Bisa-bisa ntar sore pas lo mau balik ke rumah, lo sekalian bawa surat pemberhentian kerja lagi dari dia," kekeh Leonard, membuat Aryo Salim bersiap untuk membalas ocehan rekan kerjanya. Sayangnya Arjuna ternyata masih berada di balik pintu utama ruangan HRD dan mendengar semua obrolan kedua karyawan tersebut, "Apa yang kalian bicarakan, hah? Nggak tahu apa saya masih ada di depan pintu? Cepat kerja sana! Masih mau terima gaji bulanan dari kantor ini nggak?!" sehingga darahnya pun mendidih seketika. Niat hati untuk menitipkan pesan agar kepala HRD segera menemuinya jika sudah datang, tak jadi ia katakan. Berganti dengan langkah lebarnya menuju ke dalam lift. Sementara di tempat lain, Andara merasa benar-benar tidak enak hati, "Aduh, Tan. Dara beneran bingung deh harus kayak gimana. Soalnya Dara capek aja kerja kantoran terus dari lima tahun lalu. Nggak apa-apa 'kan, Tante?" sebab saat ini Ambarsari sedang menelepon perempuan itu, untuk memastikan apakah ia akan pergi mengantarkan surat lamaran pekerjaan ke kantor anaknya atau tidak. "Aduh, Sayang. Tante cuma mau tanya apa kamu sudah masukin lamaran ke kantornya Juna atau belum aja kok. Emmm... Soalnya pas tadi Tante minta tolong terima kamu jadi asisten pribadi, eh dia malah suruh kamu ikut tes sama kayak pelamar lainnya. Tapi kamu ternyata malah mau bikin kafe tenda. Hahhh... Leganyaaa... Jadi Tante nggak bakal buat kamu malu di depan Juna ya, kan?" sahut Ambarsari, membuat Andara sedikit tercengang. "Oh, gitu. Nggak apa-apa kok, Tan. Lagian Bos yang baik itu memang harus kayak begitu 'kan? Kalau nggak berkompeten, ngapain juga diterima kerja. Dara juga kalau jadi Bos, bakalan ambil keputusan yang sama tuh kayak Juna," namun wanita dua puluh delapan tahun itu mampu menutupi kekecewaannya. "Syukurlah kalau kamu nggak marah. Tante jadi lega dengarnya. By the way, kamu mau buka kafe tenda di mana nanti? Butuh investor nggak tuh? Kalau butuh, Tante mau juga tuh ikutan tanam modal buat bisnismu," hingga akhirnya pembicaraan lain, pun menjadi topik selanjutnya di sambungan telepon tersebut. "Nggak usah, Tante. Ini mah cuma sekedar jualan ayam bakar, ikan bakar, ayam goreng lalapan, ayam geprek sama ikan bumbu asam manis aja kok. Tabungan Dara masih cukup kok buat modal kafe tenda itu, Tan. Lain kali aja join kalau Dara bikin toko kue atau toko aksesoris ya, Tante?" sahut Andara Sasmita terkekeh. "Toko aksesoris? Wah, kamu ini ternyata memang berbakat jadi bussiness woman ya ternyata? Benar-benar keturunannya Tuan dan Nyonya Aji Saka Sasmita," lalu sukses membuat Ambarsari melontarkan sebaris banyolan lucunya. Obrolan mengenai surat lamaran pekerjaan, kini menjadi serentetan pembicaraan ngalor ngidul di antara keduanya. Sampai-sampai waktu enam puluh lima menit, bahkan tak cukup untuk sang ibu satu anak, jika sudah berbincang dengan keluarga Sasmita. "Mama nih sebenarnya lagi ngobrol sama siapa sih di telepon rumah? Dari tadi kok nggak selesai-selesai? Tante Tyas 'kan mau jemput Mama jam sepuluh nanti. Gimana dong kalau sampai jam segitu, Mama belum kelar teleponan juga? Handphone Mama 'kan aku yang bawa. Hufttt... Dasar tukang gosip si Mama ini. Kapan sadarnya?" sampai-sampai Arjuna acap kali menggerutu, karena nada sibuk terus terdengar di telinganya. Ia pun menyimpan kembali ponsel di meja kerja dan mengambil gagang telepon paralel yang berada di hadapannya, "Halo, Pak Bambang? Ini Arjuna Adiwiguna. Bapak sudah masuk kantor belum?" "Oh, iya Pak Arjuna? Saya sudah di kantor, Pak. Maaf saya sedikit terlambat tadi pagi, karena harus mengantar anak sekolah dulu. Emmm... Jadi hal apa yang bisa saya sampaikan ke Bapak?" lalu berniat untuk menuntaskan rasa penasaran dalam hati, dengan menelepon kepala HRD di kantornya. "Apa ada surat lamaran dari wanita berusia dua puluh delapan tahun yang namanya Andara Sasmita, Pak?" tanya Arjuna. "Andara Sasmita? Kayaknya nggak ada deh, Pak. Para pelamar yang akan saya interview besok, semuanya laki-laki. Nggak ada yang perempuan, Pak," sahut Bambang Budiman. "Masa sih, Pak? Coba Bapak periksa baik-baik deh. Habis itu kabari saya secepatnya kalau ada ya, Pak? Jangan lupa telepon saya, kalau Bapak udah mau interview mereka. Soalnya orang itu harus saya langsung yang interview, Pak. Bisa, kan?" "Siap, Pak. Saya coba cek sekali lagi dari bagian resepsionis di bawah deh. Mungkin mereka lupa bawa naik surat lamaran orang yang Bapak maksud itu." "Oke, Pak Bambang. Terima kasih sebelumnya. Klik," lalu sambungan telepon pun berakhir. Akan tetapi wajah muram dengan kerutan di kening datar Arjuna Adiwiguna terlihat jelas di sana, bahkan ia sampai harus bergumam sendiri, "Kata Mama Dara bakalan ngelamar kerja di sini? Kok Pak Bambang bilang yang masukin CV laki-laki semua? Mama ini gimana sih? Udah kelar ngegosip belum ya? Telepon lagi deh," akibat dari rasa penasaran dalam hati, yang belum mendapatkan jawabannya. Ponsel pintar miliknya kembali berada dalam genggaman tangan dan pengeras suara pun di aktifkan. Tut tut tut tut tut tut. Sayangnya sang ibu ternyata masih belum selesai berbicara, "Arghhh... Mama apa-apaan sih? Sampai jam berapa ngegosipnya nih kira-kira? Ini 'kan udah mau sembilan puluhan menit. Emang Mama lagi ngobrol sama siapa? Kesel deh ahhh...!" hingga Arjuna pun meradang dan menggerutu. Dalam hati, sang CEO berniat untuk makan siang di rumah saja. Tok tok tok "Permisi, Pak. Bapak sudah di tunggu sama para perwakilan dari PT. Samudra Biru di ruangan rapat." "Baiklah. Saya segera ke sana. Siapkan notulennya, Cin," karena ia yakin ibunya baru akan selesai berbicara satu jam lagi. Akan tetapi Arjuna harus segera pergi ke ruangan rapat, sehingga keinginan itu tak bisa segera direalisasikan. Meski begitu, ia sangat berharap yang ibunya bicarakan di meja makan tadi pagi, benar-benar menjadi kenyataan. Sebab ia sangat berminat untuk membuat sang mantan tunangan menjadi tidak nyaman, apabila perempuan itu bekerja di kantor miliknya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD