Diego pun berjalan meninggalkan ruangan Easton dan kembali ke ruang kerjanya.
Easton tersenyum dan menggelengkan kepalanya. Pertemanannya dengan Diego masih sama sejak 20 tahun yang lalu. Kebetulan mereka berdua adalah seorang anak yatim piatu yang dibesarkan di sebuah panti asuhan yang sama. Selama 20 tahun pula, Easton selalu bersama dengan Diego.
Sedangkan Easton memiliki sifat yang tidak mudah bergaul, dingin dan gemar menyendiri. Itulah yang menyebabkan dirinya mendapat julukan Southern Cold Rain. Easton tidak pernah menjalin hubungan dengan siapapun. Sedangkan Diego? Tak perlu ditanya. Ia adalah seorang ekstrovert handal dengan segudang wanita di belakangnya. Jangan tertipu dengan kacamata kotak yang memberikan kesan lugu pada wajahnya, karena Diego sebenarnya lebih buas dari seorang Easton.
Setelah perginya Diego dari ruangan Easton, pria itu pun kembali melanjutkan tugasnya untuk memeriksa dokumen mahasiswa yang akan magang selama 2 minggu di perusahaanya. Ia harus memeriksa ulang semua data mahasiswa lengkap dengan latar belakang dan minatnya guna mencocokan posisi magang para mahasiswa dengan posisi yang dibutuhkan di perusahaan. Ia terus menggeser beberapa data, video dan bahkan rekaman suara hasil wawancara yang dilakukan oleh para mahasiswa itu. Easton terus menggeser slide dokumen itu satu persatu tanpa melewatkan setiap file tambahan yang ada.
Tiba-tiba saja jari Easton pun terhenti saat ia mendengar suara seorang gadis yang terdengar sangat lembut dalam wawancaranya. Pantulan gadis dengan rambut panjangnya tergambar jelas di mata cokelat Easton ketika ia fokus memperhatikan gadis di layar. Tidak puas dengan ukuran monitor yang kecil, Easton menggeser keluar rekaman video milik gadis itu, hingga videonya berubah menjadi video 3D di hadapan Easton.
“Halo, selamat pagi, perkenalkan saya Sylvia Veronica Dawson. Saya seorang mahasiswi jurusan mechanical engineering semester akhir. Saya sangat menyukai dengan teknologi, terlebih dengan hal-hal yang berbau transportasi dan gadget yang dapat membantu peradaban manusia untuk lebih baik lagi. Saya merupakan seorang pekerja keras yang…..”
Waktu di sekitar Easton seakan terhenti. Matanya tidak lepas dari pandangan wajah gadis itu. Suaranya bahkan terdengar sangat menenangkan dan menjadi candu bagi Easton. Di akhir video, gadis itu tampak tersenyum, dan tanpa sadar, Easton turut tersenyum mengikuti gestur wajah gadis di hadapannya. Sesaat kemudian kesadaran Easton kembali, ia kembali menggeser video 3D dari hadapannya ke dalam monitor layar sentuh dalam genggamannya. Ia pun menggeser jarinya ke atas dan melihat data diri gadis yang baru saja menghentikan waktunya.
“Sylvia,” gumam Easton.
Easton kembali menggerakan jarinya dan membaca setiap detail informasi milik gadis itu untuk waktu yang cukup lama hingga ia tidak menyadari bahwa sudah ada orang lain yang masuk ke dalam ruangannya saat ini.
“Easton?” panggil seorang wanita yang kini berdiri di sebrang sofa tempat Easton duduk.
Easton tampak terkejut saat seseorang memanggil namanya dan segera menutup layar monitor nya lalu mengalihkan pandangannya ke arah wanita itu.
“Ya?” jawab Easton sedikit terbata-bata karena jantungnya masih berdebar sangat cepat akibat dipanggil secara tiba-tiba.
“Kau baik-baik saja?” tanya wanita itu.
“Ah iya, aku baik-baik saja. Ada apa?”
“Maaf membuatmu terkejut, tadi aku sudah mengetuk pintu berulang kali namun tidak mendengar jawaban, jadi aku langsung masuk saja. Aku hanya ingin mengkonfirmasi bahwa jumlah posisi yang bisa diisi oleh para mahasiswa magang adalah 90 orang. Mungkin dari 100, kau harus melakukan seleksi agar hanya 90 yang diterima. Apa sudah kau seleksi semua?” tanya wanita itu memastikan diri.
“Sekitar 5 menit lagi aku akan selesai membacanya. Kau bisa kembali ke ruanganmu. Nanti akan kukirimkan lewat email,” jawab Easton tanpa melihat lawan bicaranya.
Wanita dengan rok selutut yang masih berdiri di hadapan Easton masih memperhatikan pria di hadapannya dan memperhatikan pria itu dari atas hingga ke bawah.
“Kenapa, Mika? Apa ada yang salah denganku?” tanya Easton sembari melihat wajah Mika.
“Tidak. Hanya saja, kau aneh.”
Mika tertawa kecil menjawab pertanyaan Easton. Ia pun segera meninggalkan ruangan Easton dan menuruti perintah teman sekaligus atasannya.
Easton terduduk di sofa nya dan menatap layar monitornya. Ia menghela nafas dan memegang keningnya yang sama sekali tidak terasa pening.
“Apa itu tadi?” tanya Easton pada dirinya sendiri.
Ia masih merasa aneh pada dirinya. Tidak biasanya ia kehilangan konsentrasi apalagi hanya disebabkan oleh gadget seukuran tangan dengan video yang muncul di hadapannya.
Easton mengabaikan tingkah anehnya dan kembali membaca dokumen chip itu. Ia menyeleksi 10 orang yang sekiranya tidak cocok untuk magang di perusahaannya. Tepat 5 menit setelah Easton mulai membaca kembali, ia langsung menyelesaikan nama-nama mahasiswa yang berhasil magang di tempatnya dan segera ia kirim data itu kepada Mika yang menjabat sebagai manager di Flat Company.
* * * * * * * * * *
Hari pun berganti dan sekarang adalah waktunya bagi Easton untuk memberikan sambutan hangatnya kepada para mahasiswa yang akan magang di Flat Company. Aula sudah penuh diisi oleh mahasiswa yang sudah siap mengisi setiap kursi yang telah disediakan. Easton beserta Diego melangkahkan kakinya memasuki Aula. Semua mata tertuju kepada seorang CEO muda beserta teman sekaligus rekan kerjanya.
Tubuh tinggi tegap dengan lekukan otot bisep yang terlihat dengan jelas bahkan dari luar jas nya, rambut hitam yang disisir rapi, alis tebal, rahang tegas dengan hidung mancung. Siapapun yang melihat dan menggambarkan rupa Easton, mungkin akan langsung melayangkan kata tampan dan menyetujui jika Easton adalah seorang pria keturunan surga Selain tubuh dan wajah yang tampak sempurna, Easton pun memiliki IQ 200 yang pastinya jauh di atas rata-rata manusia normal, dan jangan lupakan bahwa Flat Company adalah perusahaan miliknya dan menjadi perusahaan teknologi terbesar di sektor Selatan. Jangan bertanya berapa jumlah kekayaan Easton, yang jelas dia bisa membeli sebuah pesawat beserta pula seperti membeli sebuah permen di swalayan.
Tak hanya Easton yang menjadi pusat perhatian, temannya pun – Diego, turut menjadi pusat perhatian banyak mahasiswi yang hadir di aula. Kulit putih pucat dengan wajah tampan lugunya berhasil menyihir para wanita yang hadir disana. Easton dan Diego pun duduk bersebelahan, menatap para mahasiswa yang hening seketika melihat betapa lugasnya wajah seorang Easton.
“Hey,” bisik seorang wanita dari arah belakang.
Gadis yang duduk di depan wanita itu pun terpaksa menolehkan pandangannya ke belakang dan menatapnya sembari menaikkan sebelah alisnya.
“Apa kau tahu siapa dua orang pria yang tampak sangat memukau di depan sana?” tanya wanita itu.
Gadis yang duduk di depannya pun tampak menggelengkan kepala.
“Mereka adalah Easton dan Diego. Mereka dikenal sebagai anak kembar ciptaan iblis karena ketampanannya yang tidak masuk akal. Apa kau tidak lihat bagaimana suasana menjadi hening ketika mereka masuk? Lihatlah auranya, sangat menyeramkan dan kuat.”
Gadis itu membalikkan badannya melihat ke arah dua pria yang dimaksud oleh wanita di belakangnya. Ia memperhatikan dua pria itu dari atas sampai bawah, namun sama sekali tak menemukan hal yang spesial. “Biasa saja,” gumamnya.
“Hah?” sahut seorang wanita dari sebelahnya.
“Ah tidak. Aku tadi hanya bergumam.,” jelas wanita itu.
“Hei, Sylvie. Aku tahu kamu sangat gugup, tapi setidaknya sembunyikan rasa gugupmu itu dan nikmati ketampanan dua orang CEO tampan dari Flat Company yang sudah terkenal di seluruh sektor.”
“Berhenti memanggilku Sylvie, Layla. Namaku Sylvia, bukan Sylvie,” jawab Sylvia sembari menyipitkan kedua matanya ke arah wanita yang duduk di sebelahnya itu.
“Ya aku tahu. Tapi, anggap saja itu panggilan saying dariku, oke?”