Bab 1

1132 Words
“Huff! Lelah sekali,” Ira pulang sambil melemparkan map kuning dengan sembarang di atas meja luar depan teras. Wanita yang memakai rok lebar dan kaos lengan panjang itu duduk sambil melepaskan sepatunya. “Kamu sudah pulang Nak,” tanya Mamanya Ira-Siti, pada anak gadis satu-satunya, dia keluar dari dalam rumah dan memilih duduk di kursi sebelah Ira. “Sudah Ma, Mama sudah makan?” “Sudah, kamu pergi makan dulu, kamu pasti sangat lelah mencari pekerjaan ya.” “Tidak kok Ma, kalau begitu Ira makan dulu, Mama mau masuk?” “Tidak, Mama lagi kepingin menikmati udara luar.” “Ya sudah, Ira ke dalam dulu, kalau Mama butuh apa-apa, panggil saja Ira.” “Iya Nak.” Ira masuk ke rumah dan langsung menuju meja makan kecilnya, semenjak Mamanya sakit-sakitan, rumah ini memang sangat sepi dari biasanya, dulu rumah ini dipenuhi dengan riuhnya suara anak-anak, karena Mamanya Ira bekerja sebagai pengasuh anak dari beberapa orang pasangan. Sekarang hanya tinggal mainan mereka yang sudah terbungkus rapi di pojok samping lemari. Ira mengambil beberapa sendok makanan dan menaruh dalam piringnya, nasi beserta lauk sederhana yang sudah dimasak tadi pagi, sengaja dia masak pagi-pagi, karena dia tau kalau dia akan pulang terlambat pulang untuk masak siang, dan dia tidak akan membiarkan Mamanya untuk masak sendiri di dapur. Setelah menghabiskan makanan, Ira beranjak ke kamar untuk membersihkan diri, dan kembali ke kamar merebahkan tubuhnya yang kelelahan. Drtt ... drtt ... Ponselnya Ira bergetar dan dia menggeserkan tombol jawab untuk menjawab panggilan teleponnya. “Halo selamat siang dengan Zaida Viranza,” ucap seorang lelaki di balik layar telepon. “Iya, dengan saya sendiri.” “Ini kami dari Perusahaan PT. Makmur Jaya, kami ingin menginformasikan, mulai besok Anda sudah bisa bekerja di kantor kami.” “Hah?! Saya diterima Pak?!” “Iya, Mbak diterima kerja di kantor kami.” “Alhamdulillah, terima kasih banyak Pak,” ucap Ira dengan penuh rasa bahagia. “Sama-sama, besok usahakan datang lebih awal untuk mengambil seragam Mbak ya.” “Iya Pak.” Ira memutuskan teleponnya dan berlari keluar untuk menemui Mamanya. “Mama! Ira diterima kerja!!!” teriak Ira dengan perasaan yang sangat bahagia. “Alhamdulillah, kerja bagian apa Nak?” tanya Siti. Tiba-tiba wajah Ira mendadak jadi biasa saja. “Tidak mewah sih Ma, Ira cuma dapat kerja jadi OB, tapi gajinya lebih gede daripada bekerja di rumah makan Mpok Sukiyem,” jawab Ira dengan perasaan bahagia. “Alhamdulillah, bersyukur apa yang kita dapat Nak, dari pada kamu bekerja di rumah makan yang dulu, Mama tidak sanggup melihat kamu di tuduh jadi pelakor.” “Iya Ma, Ira bisa memetik hikmah di balik ujian yang didatangkan untuk Ira, ternyata Allah sudah menyiapkan pekerjaan lain di luar sana untuk Ira.” “Iya Nak.” Keesokan harinya, Ira sudah bersiap-siap dari subuh untuk berangkat kerja. “Sudah mau berangkat Nak?” tanya Siti pada Ira. “Iya Ma, sekalian Ira mau buat kejutan untuk Dhav, kalau bantuan dia membawa hasil yang baik untuk Ira.” “Iya Nak, Dhav memang lelaki yang baik.” “Ira pamit dulu Ma ya.” “Iya Sayang, hati-hati di jalan.” tit tit! Klakson motor terdengar dari luar rumah sebelum Ira beranjak keluar. “Siapa di luar?” tanya Siti. “Tidak tahu Ma, Ira lihat dulu ke depan.” “Ya sudah, yuk kita ke depan,” jawab Siti yang ikut dari belakang Ira. “Loh Dhav, kamu ngapain ke sini?” tanya Ira dengan wajah berbinar. “Aku mau jemput kamu, kamu sudah diterima kerja kan?” jawab Dhav dengan senyum di wajahnya. “Loh, dari mana kamu tahu?” tanya Ira penasaran. “Itu mah soal gampang, yang penting kamu benar kan sudah diterima kerja?” “Iya benar, ini aku baru saja mau samperi kamu, mau bilang terima kasih.” “Sudah, tidak masalah, yuk kita berangkat.” “Terima kasih banyak Nak Dhav ya atas bantuannya,” ucap Siti dengan tulus. “Sama-sama Bu, kalau begitu kami pamit dulu Bu ya,” jawab Dhav. “Iya Ma, Ira pergi dulu ya, Mama jangan capek-capek, kerjaan rumah biar Ira saja yang kerjakan nanti kalau Ira sudah pulang.” “Iya Nak, kalian hati-hati di jalan.” Dhav melajukan motornya dengan Ira membelah keramaian pagi hari di jalan Ibu kota. Sesampainya di kantor, mereka berdua menuju ruangan kepala OB. “Permisi Pak,” ucap Dhav mengawali pembicaraan dengan lelaki paruh baya tersebut. “Silakan masuk,” jawabnya. Dhav menganggukkan kepala pada Ira dan membawa Ira masuk ke dalam. “Ini yang kemarin diterima kerja ya?” tanya atasan mereka. “Iya Pak, namanya Viranza,” jawab Dhav yang membuat Ira mencubit lengan Dhav, karna menggantikan nama panggilannya, Dhav hanya bergidik dengan isyarat jangan ribut. “Oh, ini seragam untuk kamu, sudah saya siapkan.” “Terima kasih banyak Pak,” ucap Ira dengan penuh sopan santun. “Sama-sama, selamat bekerja ya, semoga kamu betah bekerja di sini.” “Amin Pak, insyaallah saya pasti betah di kelilingi sama orang-orang baik seperti Bapak.” “Ahaha ... bisa saja kamu memuji,” jawab lelaki itu yang terlihat bahagia berbicara bersama Ira. “Kami pamit keluar dulu Pak,” ucap Dhav. “Iya, Silakan.” Mereka berjalan keluar dari ruangan atasan mereka, Ira masih memeluk seragamnya di d**a. “Eh, kenapa sih kamu ganti-ganti nama panggilan aku?” todong Ira dengan cepat pada Dhav begitu mereka sudah di luar ruangan atasan mereka. “Haha ... aku cuma ingin kamu dikenal dengan nama Viranza di sini.” “Iya, tapi kenapa?” “Karena aku ... aku ingin menghilangkan julukan yang melekat pada kamu selama ini.” “Julukan apa?” “Ira si gadis cupu.” “Hallah, cuma itu, gak usah ganti nama kalau cuma itu, aku tidak jadikan itu beban yang serius, yang penting aku nyaman menjadi diriku sendiri,” jawab Ira berjalan dengan gaya santai. “Tapi aku suka panggilan Viranza,” sergah Dhav. “Tidak, aku tidak suka, aku lebih suka nama pemberian Mamaku!” “Oh, alasannya karena Mama, oke kalau begitu, pulang dari sini aku akan meminta izin sama Mama kamu untuk memanggil kamu Viranza saja.” “Aku yakin Mama pasti tidak mau.” “Kenapa?” “Karna belibet lidah Mama saat ucapinnya, haha.” Dhav yang mendengar jawaban Ira juga ikut tertawa bersama, terlihat mereka berdua sangat akrab dan sangat ceria, membuat tawa Dhav langsung berhenti begitu melihat Alan-Ceo perusahaan tempat mereka bekerja. Tapi tidak dengan Ira, dia masih tertawa bahkan saat Dhav mencubit lengannya agar segera diam, tapi malah terlihat lucu di mata Ira, yang membuat Ira makin tertawa. Alan memandang sinis ke arah Ira karena melihat Ira seperti gadis yang tidak punya sopan santun, sedangkan Dhav sudah bergetar ditempat-Nya berdiri, karena melihat Alan berjalan ke arah mereka.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD