Bab 2

1100 Words
“Di sini bukan tempat untuk membuat komedi!” tegur Alan pada Ira dan lanjut pergi tanpa menghiraukan Ira yang terkejut dengan ucapannya Alan. “Memangnya dia siapa sih?” tanya Ira pada Dhav. “Dia ... Ceo di perusahaan ini,” jawab Dhav yang merasa tidak enak pada Ira, karena baru hari pertama kerja dia sudah mendapatkan teguran dari Bos mereka. “Jadi itu Ceonya, apa dia kurang bahagia ya? Melihat orang tertawa saja dia kepanasan.” “Bukan, di sini ada peraturan untuk tidak membuat keributan di sekitar kantor.” “Memangnya suara tertawa aku tadi terlalu kencang ya?” “Lumayan, ya sudah cepat ganti pakaianmu, dan kita langsung ke belakang, sebentar lagi sudah masuk jam kantor.” “Oke.” Ira masuk ke dalam toilet dan menggantikan pakaiannya dengan seragam OB, setelah selesai dia keluar kembali untuk menemui Dhav. “Bagaimana, sudah pas kan?” tanya Ira pada Dhav sambil membolak-balikkan badannya di hadapan Dhav, membuat Dhav menelan saliva dengan kecantikan Ira, walaupun hanya memakai pakaian OB. “Sudah, sudah sangat cantik malahan,” jawab Dhav. “Apa kamu bilang?” “Tidak ada apa-apa, aku hanya bilang baju itu sangat pas untuk kamu,” jawab Dhav yang masih malu untuk menyatakan perasaan yang sebenarnya pada Ira. “Oke, yuk kita kerja sekarang,” ajak Ira. “Yuk.” Ira mulai menyesuaikan diri dengan tempat kerja barunya, tak susah baginya untuk mendapatkan teman baru, pakaian seragam mereka membuat mereka tak ada perbedaan satu sama lain dengan sesama OB. Sudah beberapa hari kerja, Ira bekerja dengan baik, tak ada masalah yang rumit dengan pekerjaannya. Pagi hari, Ira menuju dapur untuk membuatkan kopi pesanan karyawan lain. “Ira, tolong kamu bawakan kopi ini ke meja Pak Alan ya, aku sepertinya sedang berhajat buang air kecil,” ucap kawan Ira yang berlari cepat ke arah toilet dan meninggalkan cangkir kopi s**u di hadapannya Ira. Ira membawa kopi s**u tersebut ke ruangan Pak Alan. “Permisi,” ucap Ira berdiri tepat di depan pintu. “Iya.” “Maaf, saya ingin mengantar kopi,” ucap Ira yang masih berdiri di pintu ruangan Alan. “Letakkan di sana!” jawab Alan yang menunjukkan tempat untuk meletakkan cangkir kopinya ke meja dekat sofa dengan ujung matanya. Ira membawa masuk kopinya Alan, dan tak mempermasalahkan cara Alan memperlakukannya, menurutnya sudah jadi hal biasa seorang Bos bersikap semena-mena pada bawahannya, yang penting gajinya Ira lancar, dia santai saja. “Kamu bersihkan toilet sebentar,” suara Alan kembali terdengar saat Ira hendak membalikkan badannya untuk keluar. “Baik Pak.” Ira segera mengambil perkakas untuk membersihkan toilet di ruangan Pak Alan. “Wah, gagang sikatnya patah lagi,” gumam Ira begitu melihat gagang di hadapannya sudah terbagi dua, “Sepertinya aku harus mengambil sikat yang baru di gudang,” lanjutnya lagi berbicara sendiri. Ira segera beranjak menuju gudang, sedangkan Alan yang mendadak kepingin pipis terpaksa harus masuk duluan ke dalam toilet untuk menuntaskan hajatnya sebelum Ira balik. Ira sudah mendapatkan barang yang dia inginkan, begitu masuk ke dalam ruangan Alan, dia tidak melihat Alan ada di meja kerjanya, dengan santai Ira menuju toilet. Pintu toilet di buka bersamaan dengan dorongan Ira dari luar. “Aaa!” teriak Ira yang kaget melihat Alan muncul dari dalam, begitu juga dengan Alan yang kaget melihat Ira di hadapannya. “Tuk! Tuk! Blak! Blak!” Ira memukul Alan dengan gagang sikat karna refleks. “Stop! Stop! Stop! Kamu gila ya! Saya ini bos kamu! Kamu mau saya pecat?” teriak Alan dengan kesal. “Pak Alan, maaf, maaf Pak, saya tidak sengaja, saya pikir tadi bukan Bapak,” ucap Ira dengan penuh penyesalan. “Perempuan kurang ajar! Kalau bukan karena kamu orang baru, sudah saya lempar keluar kamu dari kantor ini!” “Jangan Pak, saya benar-benar minta maaf, saya tidak sengaja, saya biasa melindungi diri saya sendiri, jadi refleks, jangan pecat saya Pak, saya mohon, saya sangat butuh pekerjaan ini,” ucap Ira dengan memohon. “Cepat selesaikan pekerjaan kamu, dan segera keluar dari ruangan saya!” “Baik Pak.” Ira dengan cepat menyelesaikan pekerjaannya, setelah selesai cepat-cepat keluar dari ruangan Alan agar dia tak lagi bermasalah dengan Alan. “Kamu habis dari mana, aku cari kamu ke mana-mana tidak ada,” tanya Dhav begitu melihat Ira datang menghampiri di tempat duduk. “Aku ... aku tadi hampir dipecat, tahu gak sih kamu?!” jawab Ira dengan gugup. “Loh, kok bisa?” “Aku tidak sengaja pukul pak Alan dengan gagang sikat toilet!” “Apa?! Jangan macam-macam kamu, tapi kamu tidak sampai di pecatkan?” “Tidak, aku cepat-cepat minta maaf dan aku bilang tidak sengaja, karna memang aku benar-benar tidak sengaja.” “Wah, nekat banget kamu.” “Tidak sengaja eh!” ucap Ira dengan kesal. “Kan aku sudah bilang aku tidak sengaja, habisnya dia muncul tiba-tiba, buat aku jantungan, bukan niat mau gebukin dia!” “Lain kali harus hati-hati pokoknya.” “Iya, lo tenang saja, gua akan hati-hati kok!” “Jangan sampai kamu dipecat pokoknya, aku sudah berusaha biar kita satu tempat kerja.” “Memangnya kenapa harus satu tempat kerja sama aku?” tanya Ira sambil mengerutkan keningnya. “Biar kamu ada yang lindungin,” jawab Dhav singkat, tapi dengan perasaan yang penuh dag dig dug. “Cie kakak aku baik banget, terima kasih ya karena sudah ada di samping aku selama ini,” ucap Ira sambil mencubit kedua pipi Dhav dengan gemes. “Iya, sama-sama, aku ikhlas bantuin kamu, jadi kamu harus gunakan kesempatan ini dengan sebaik mungkin," sahut Dhav sambil memegang ke dua tangan Ira, dan menepuk-nepuknya sebagai tanda pemberian semangat untuk perempuan di depannya yang menurutnya sangat cantik. “Siap Kakak Sayang," sahut Ira sambil megacungi jempol ke arah Dhav, membuat Dhav tersenyum. ‘Kenapa harus pakai kakak, kenapa tidak pakai Sayang saja?’ batin Dhav yang berharap di panggil Sayang oleh Ira, tapi Ira malah menganggapnya sebagai Kakak, Dhav tak ingin menyerah begitu saja, dia masih punya banyak cara untuk merebut hati perempuan di sampingnya saat ini. “Kamu mau makan apa? Biar aku beliin di kantin," tanya Dhav yang begitu perhatian sama Ira. “Tidak usah, lagian sebentar lagi kan sudah istirahat, kita makan sama-sama saja di kantin, aku pergi ke belakang dulu ya, sepertinya aku berhajat ke toilet,” pamit Ira sambil beranjak pergi dari samping Dhav. Dhav hanya bisa memandang punggung Ira dari belakang yang pergi dengan langkah cepat, sepertinya perempuan itu benar-benar berhajat ke toilet, tak ada raut wajah atau tingkah yang terlihat ingin menghindar dari Dhav, Dhav merasa Ira benar-benar tak menyadari apa arti dari bentuk perhatiannya selama ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD