Bab 3

1132 Words
Pagi ini, Ira harus ke kantor sendirian, karna Dhav masuk kuliah. “Bang, berhenti depan PT. Makmur Jaya ya,” ucap Ira pada sopir angkot yang dia tumpangi. “Oke Neng,” jawab sopir angkot. Berangkat sendiri tanpa Dhav serasa menyuramkan harinya Ira, dia seperti di tinggal oleh sahabatnya. “Nggak semangat kali hari ini, tidak ada Dhav yang bisa diajak bercanda,” gumam Ira yang berjalan dengan lesu setelah turun dari angkot. “Itu siapa sih yang halangi jalan di depan?” tanya Seorang perempuan cantik yang duduk di sebelah Alan dalam mobil-Debi. “Sepertinya pegawai baru, baru bekerja beberapa bulan, tapi sudah sering bikin ulah,” jawab Alan. “Kenapa tidak kamu pecat saja Sayang?” tanya Debi. “Karna kantor butuh orang cekatan seperti dia.” “Tapi kan banyak diluar sana orang yang butuh pekerjaan, jadi kamu tidak perlu kesal-kesal sama perempuan itu.” Alan tak menjawab lagi, dia fokus menyetir mobil dan “Tit! Tit!” Alan mengklakson mobilnya saat Ira masih melamun di jalan yang dia tapaki. “Astagfirullah!” ucap Ira dengan cepat dan menggeser langkahnya ke pinggiran jalan untuk memberi ruang kepada mobil Alan yang melintas di sampingnya. Ira hanya melihat sekilas ke arah bosnya yang turun dari mobil dengan seorang gadis cantik, lalu Ira melanjutkan perjalanannya untuk segera masuk ke dalam kantor. “Hei, kamu!” panggil seseorang dari belakang Ira, Ira menoleh ke arah suara, ternyata perempuan yang datang bersama Alan memanggil dia. “Iya, Bu, ada apa?” tanya Ira dengan sopan. “Buatkan kopi s**u, dan antar ke ruangan Bos kamu!” “Baik Bu.” “Secepatnya.” “Siap, Bu.” Ira berjalan dengan cepat untuk melaksanakan tugas dari perempuan yang tak dia tahu pun siapa perempuan itu, tapi karena datang bersama Bosnya, kemungkinan itu orang terdekat Bosnya, atau bisa saja itu kekasih Bosnya, pikir Ira. “Bikin kopi s**u pagi-pagi, untuk siapa?” tanya teman kerjanya Ira. “Untuk perempuan yang datang sama Pak Alan.” “Oh, itu Bu Debi, pacarnya Pak Alan, kamu juga harus hati-hati sama perempuan itu, dia sanggup mempengaruhi Pak Alan untuk memecat karyawan yang tidak sopan sama dia.” “Kamu serius?” tanya Ira yang kaget, dan mempertimbang-timbangkan sikapnya tadi, terlihat tidak sopan atau tidak. “Sudah, pergi cepat antarkan pesanan dia, jangan sampai dia marah.” “Oke, terima kasih banyak ya infonya.” “Iya sama-sama.” Ira sudah menyeduhkan kopi s**u seperti yang diminta oleh Debi pacarnya Alan, Alan sendiri sedang sibuk menyelesaikan tugas proyek yang sedang ditangani di dalam ruang kerjanya yang ditemani oleh Debi. Ira dengan hati-hati membawakan kopi tersebut menuju ruang kerjanya Alan. “Permisi, Bu ini kopinya saya taruh di mana?” tanya Ira pada Debi yang sedang asyik memainkan ponselnya di sofa depan meja kerja Alan. “Taruh saja di meja Bos kamu!” jawab Debi tanpa melirik sedikitpun ke arah Ira. “Iya Bu.” Ira menurut seperti perintah, dan ketika gelas itu sudah mendarat di meja, “Tring!!! ...” suara gelas yang bersentuhan keras dengan meja kaca Alan. Semua kertas kerja Alan basah dengan kopi karna tak sengaja tangannya menyentuh gelas kopi yang masih panas. Muka Alan mendadak memerah, dengan rahang mengeras melihat kenyataan di depannya. “Apa yang kau lakukan?!” teriak Debi dengan marah karena melihat pacarnya terganggu. “Benar-benar perempuan sialan!” umpat Alan yang membuat tubuh Ira bergetar. “Pecat saja dia dari sini, dia benar-benar tidak ada gunanya!” sambung Debi lagi. “Sebelum kamu keluar dari kantor ini, cepat bereskan semua yang sudah basah! Kamu print ulang semuanya tanpa mau tahu aku!” Alan ikut berkata dengan kasar pada Ira, karena sedang pusing dengan tugas proyeknya. “Baik Pak, jangan pecat saya Pak, saya akan mengerjakan dengan secepatnya,” jawab Ira merasa sangat bersalah. Tanpa menunggu lama, Ira dengan sigap menyelesaikan pekerjaan hukumannya. Sudah setengah jam lebih Ira berkutat dengan file yang ada di laptop Alan. “Pak, saya sudah membereskan kekacauan yang saya buat, tapi saya mohon, jangan pecat saya,” ucap Ira dengan penuh permohonan. Alan kembali ke mejanya untuk mengecek hasil kerja Ira, yang membuat Alan melongo melihat hasil yang begitu rapi dan cepat selesai. “Bagaimana Sayang? Apa dia benar-benar pantas dipecat?” tanya Debi yang mendekati Alan. “Saya mohon Pak, Bu, jangan pecat saya, saya benar-benar butuh pekerjaan ini.” “Keluar cepat dari sini!” bentak Alan yang tanpa memberi keputusan. Ira dengan berat melangkahkan kakinya menuju pintu untuk keluar, rasanya dia pingin nangis dan teriak dengan kesialannya hari ini, kalau ada Dhav, mungkin pundaknya Dhav sudah jadi tempat pelampiasan amarah sambil menyesali kecerobohannya hari ini. “Bagaimana Sayang? Kamu belum mengambil keputusan untuk perempuan tadi,” ucap Debi yang masih mempertanyakan hal yang sama. “Aku akan memberinya kesempatan satu kali lagi,” jawab Alan yang kembali fokus pada kerjaannya, membuat Debi gerah mendengar jawaban Alan. Ira pergi ke dapur tempat teman-temannya berkumpul. “Lu kenapa?” tanya salah satu dari mereka yang melihat Ira dengan wajah ditekuk yang hampir menangis. “Aku terancam dipecat! Hiks hiks ...,” pertahanan Ira untuk tidak menangis ternyata tak bisa dibendung juga. Dia menangis sejadi-jadinya di depan teman-temannya membuat temannya tak berani bertanya dulu, dan membiarkan Ira menangis dengan puas. “Kenapa? Memangnya kamu melakukan kesalahan?” tanya mereka lagi. Ira hanya mengangguk. “Aku menumpahkan kopi ke atas berkas-berkas kerja Pak Alan, dan Pak Alan marah besar, dia menyuruhku untuk membereskan semuanya, aku sudah mengerjakannya, sekarang aku tinggal menerima keputusan dari Pak Alan, hiks!” ucap Ira sambil sesenggukan di hadapan teman-temannya. “Jangan berpikiran aneh-aneh dulu, mungkin saja Pak Alan masih memberikan kesempatan sekali lagi sama kamu.” “Dia sudah memberikan satu kesempatan sama aku, dan ini kesempatan terakhir,” sahut Ira dengan wajah lesu yang masih basah dengan air mata. “Aku pulang dulu ya, kalau Dhav datang ke sini, bilang saja sama dia kalau aku sudah dipecat karena kebodohanku,” lanjut Ira lagi sambil meraih tasnya. “Ira, aku benar-benar tidak menyangka kamu tidak akan kembali lagi ke kantor ini, aku berterima kasih banyak, karena kamu selalu membantu aku,” ucap teman perempuannya Ira yang mendekati Ira sambil memeluk Ira untuk terakhir kalinya. “Sama-sama, aku juga berterima kasih karena kalian sudah bisa menerima aku bersama kalian,” jawab Ira. Semua teman-temannya Ira memeluk Ira dengan perasaan sedih, tiba-tiba pintu dapur terbuka. “Ada apa ini?” tanya Dhav yang tiba-tiba datang ke kantor. “Loh Dhav, kamu tidak kuliah?” tanya salah satu dari mereka. Mendengar nama Dhav disebut, Ira langsung menoleh ke arah sumber suara. “Loh, Ira, kamu kenapa?” tanya Dhav sambil menghapus air mata di pipi Ira. "Aku … aku dipecat, Dhav," ucap Ira sambil menangis sesenggukan di d**a Dhav, Dhav mengelus pundak Ira dengan penuh tanda tanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD