Hate You 6

2975 Words
Ramdan menyelidiki si Arif-Arif yang Datuk-nya sodorkan pada Nia, yang diterima terlalu baik oleh sepupunya ini. Enak saja cowok manja itu mendapatkan adik seorang Ramdan Afkari Jebat dengan mudahnya tanpa berusaha. Dan saat mengetahui siapa pria songong itu, Ramdan mendengus keras. Membuat para orang tua dan juga saudaranya melirik padanya. Ah ya, mereka saat ini sedang duduk santai setelah makan malam. Dan fakta yang ditemukan Ramdan adalah bahwa Arifqy Keano Hadrian adalah salah satu anggota boyband norak yang anggotanya Shakka Orlando Padmaja, Galih Mahya Respati, Evan Janu Agnibrata, dan Ilham Bentrand. Kenapa Ramdan menyebut mereka boyband? Karena kelimanya selalu bersama padahal bukan keluarga sama sekali. Lain hal dengan dirinya, Nia dan Azka, mereka sering terlihat bersama karena mereka bersaudara. Tujuan mereka berkumpul sama sekali bukan untuk unjuk gigi seperti yang dilakukan oleh Arif dan teman-temannya. Kemudian satu hal yang membedakan mereka adalah bahwa Ramdan dan para saudaranya ini lebih tinggi derajatnya. Meski kesal karena dirinya jadi terdengar seperti pada Datuk, Ramdan tidak bisa mengelak bahwa yang satu ini memang tidak ada yang bisa membantah. “Masuk ke kamar kau, Nia!” perintah Ramdan yang masih memperhatikan layar ponselnya. Kalau di pikir-pikir lagi, ada yang aneh pada Arif mengingat semua teman-temannya sudah pada menikah. Ada apa nih? Orang sudah menikah kenapa dia belum? “Iya,” ucap Nia sembari mengendikkan bahu. Padahal ia sedang diajak bicara oleh Arif, tapi ia tetap harus mendengarkan saudaranya diatas apapun. Nia memang tidak bisa berkutik kalau Ramdan memerintahnya di depan banyak orang. Bantahannya akan membuat mereka bertanya-tanya ada apa dengan Puti yang terkenal penurut. “Kenapa aku merasa kau bertindak seolah-olah kau ini aku ya, Ramdan?” sindir sang Datuk kesal. Padahal calon cucu menantunya sedang melakukan penjajakan pada Aini. “Karena aku yang tau apa yang terbaik untuk Aini.” Perhatikan bahwa yang sedang Ramdan bahas saat ini adalah Aini dan bukan Nia. Ramdan bertaruh untuk semua kekuasaannya saat ini bahwa Aini tidak akan menyukai pria seperti Arif. “Dasar sombong!” dengus Pak Tua itu sambil menatap memicing pada sang cucu. Tidak di ragukan lagi kalau Ramdan memanglah akan bersikap seperti ini mengingat dia memang seseorang yang dilahirkan untuk memimpin. Dan boleh saja ia tidak serta merta menyukai calon sang adik. Tapi mau sampai kapan Ainii dibiarkan seorang diri? Aini sudah lebih dari cukup untuk membina rumah tangga. Dan mengingat Aini tidak terlalu luas pergaulannya, apakah salah kalau Dia mengenalkan cucunya itu pada seseorang yang baik dan mapan? Selesai menunjukkan kekesalannya pada Ramdan, kini Datuk Medan beralih pada Afif, si calon cucu menantunya. Dia menatap Arif dengan tatapan 'tolong maklumi cucuku,' kemudian ia juga memasuki kamarnya. Terus di sini hanya akan membuatnya terus mengkritik pemimpin semua orang yang ia besarkan dengan tangannya sendiri. Datuk Medan juga berharap dengan meninggalkan Arif  dan Ramdan, keduanya bisa bicara satu sama lain. Tidak perlu khawatir karena ia tidak meninggalkkan Arif begitu saja. Ada dayang yang sudah ditugaskan untuk melayani kebutuhan pria itu sebagai tamu kehormatannya. Tapi Datuk salah. Ramdan juga mengangkat pantatnya dari sofa karena mendapatkan telfon dari orang-orangnya di pemerintahan. Sekarang tinggallah Azka dan calon abang iparnya atau dia sebut Sultan Arif saja? Karena siapa pun yang menikah dengan Kakaknya otomatis akan di panggil dengan gelar yang setara. Azka melirik pada calon Sultan itu, pria yang sibuk dengan ponselnya dan kemudin menelfon seseorang yang ia panggil “Key” dengan pandangan menilai. Lihat? Tidak hanya Ramdan, Azka pun tidak bisa menahan dirinya. “Benar aku di Medan, lalu apa, Key?” “.....” “Tentu aku sangat tergiur dengan tawaran kamu, tapi tidak. Sudah cukup rasanya aku dan Shakka baku hantam, Ilham juga sudah bosan memperingatkan kami.” Sementara Evan dadn Galih sudah tidak mau tau lagi. Arif pribadi pun rasanya sudah lelah berjuang. “....” “Hm... Tidur nyenyak, Princess.” Azka terus mencuri dengar obrolan Arif dengan seseorang yang ia sebut Princess. Memangnya ada perempuan lain di Indonesia ini yang bisa di panggil dengan sebutan yang satu itu selain Kakaknya seorang? Tampaknya ia harus mengadukan pada Ramdan bahwa ada yang tidak beres dengan calon ipar satu ini. Sementara Ramdan masih sibuk mengurusi pekerjaan saat berada di kediaman sang Kakek, Azka sibuk menngamati semua gerak-gerik Arif, di dalam kamar sana Nia tampak seperti orang bodoh. Ia melamun. Dan dalam lamunannya ia kembali bernego dengan seseorang yang mungkin semua orang sudah kenal. Bernego dengan dia yang asli, dan tidak seperti dirinya yang hanya barang tiruan. >>>  “Mana anak itu?” tanya Bayu pada istrinya. Sangat aneh makan dengan orang asing di rumahnya apalagi Bayu tidak ingin mencontohkan hal yang tidak benar pada ponakannya. Bayu tidak mau Fateh dan Viona berpikir bahwa dirinya mengizinkan begitu saja pacar putranya bergabung bersama mereka. “Anak Ayah sudah pergi ke luar, dinner katanya,” ucap Ratu kesal, sedangkan calon menantunya hanya diam sambil mengunyah makanan. Sudah diancam tapi dia tetap saja pergi, mana tidak pamit. Ratu benar-benar takicuah di nan tarang*, dia dan Adin sibuk memasak di dapur dan Gilang kabur dengan mudahnya. Pulang nanti Gilang benar-benar tidak akan selamat. Berani-beraninya dia bertingkah di depan para saudaranya. Apa dia tidak berpikir untuk berbaikan lagi dengan Adin? ‘Diputuskan baru tau rasa, kamu, Lang!’ *Takicuah di nan tarang = ditipu dengan mudahnya. “Dinner apaan? Mereka lagi tidur,” ucap Fateh yang kontan saja membuat Om Bayu, kemudian Ibu dan Dinda melebarkan bukaan kelopak mata. Fateh mendecih dalam hati menyadari apa yang dipikirkan tiga orang itu. ”Mereka tidur. Iya. Di kamar masing-masing. Ah, dah lah, aku tidur saja. Dari dulu keluarga ini emang ga asik,” ucap Fateh meninggalkan meja makan. “Di rumahku sendiri aku masih saja tidak ditakuti oleh ponakanku itu,” gerutu Bayu yang sama sekali tidak peduli dengan orang asing di meja makannya.  Selesai makan,  si pak tua pensiunan tentara kembali pada berita politik yang akhir-akhir ini di senanginya. “Bu, aku pulang ya? Sudah malam juga,” ucap Dinda setelah membantu Ibu membersikan sisa makan malam. “Tunggu, ibu panggilkan Gilang.” “Gausahbu!!” ucap Dinda begitu cepat. Menyadari Ibu kaget mendengar teriakannya yang cukup melengking baruan, Dinda kembali bicara dengan cara normal. “Tadi ‘kan katanya Gilang tidur.” “Kalo gitu Ibu minta Ayah saja yang antar kamu, ya, Din?” “Waduh, ga usah, Bu,”  jawab Dinda cemas, bisa kencing berdiri dia berdekatan dengan ayah Gilang. Duduk satu meja makan saja ia merasa begitu diperhatikan sehingga makannya tidak begitu nikmat. Bagaimana jadinya kalau ayah Gilang betulan mengantarnya pulang? Sempat hal itu kejadian, Dinda akan minta di deportasi saja pada Sultan Ramdan. Ratu tetap tidak mau melepas Dinda pulang sendiri dan dengan segala kuasa yang dia miliki, Ratu mampu membuat Gilang menstarter motornya dan mengantar Dinda dengan selamat sampai rumah. Yang membuat Ratu gondok sampai saat ini adalah ketika Dinda sudah duduk di boncengan motornya Gilang, kemudian suaminya muncul dengan kain sarung dan kaca mata bacanya. Bayu menunjukkan wajah terganggunya melihat putra satu-satunya kembali mengantarkan Dinda atas permintaan sang istri. Dengan sebelah tangan di belakang punggung, menghardik mereka semua untuk mendapatkan perhatian. “WOI!!” Gilang, Ratu dan Dinda serentak menoleh ke arah pintu rumah di mana sang kepala keluarga muncul dan terus mendekat sampai akhirnya berdiri bersisian dengan sang istri. “Maju ka mungko*!” suruh Bayu pada putranya lengkap dengan gerakan tangan kemana ia ingin putranya bergeser. *Maju ke depan. Sesuai perintah sang Ayah, Gilang beringsut ke depan. “Maju!!” Lagi, Gilang beringsut ke depan sampai separuh pantatnya saja yang berada di atas jok motor. Setelah Gilang, kini Bayu menunjuk anak gadis orang yang begitu disayangi oleh istrinya. “Mundur!” ucap Bayu. Tidak seperti pada Gilang, ia tidak perlu bicara sampai dua kali karena sekarang Dinda atau yang akrab disapa Adin itu sudah duduk di atas besi paling belakang motor Gilang. “Limo minik lai, ang harus tibo di siko*!” *Kamu harus sampai di rumah lagi dalam waktu lima menit. “Ibuuuu, baa lo Ayah ko koa. Limo minik pulang-baliak ma takaja nyo? Indak ka manga-manga gai urang di jalan do*.” *Ayah kenapa, sih, Bu? Ga cukup waktu lima menit buat ngantar Dinda dan langsung pulang, Bu. Aku ga bakal macam-macam juga di jalan. “Indak mau tau den! Samakin ang marengek samakin abih wakatu limo minik ang*!” *Pokoknya Ayah ga mau tau! Silahkan mengadu pada Ibumu dan waktu lima menit akan habis. Mendengar itu Gilang langsung menarik gas motornya dan meninggalan rumah tanpa pamit dulu pada Ayah dan Ibu. Meninggalkan sepasang orang tuanya itu dengan asap kendaraannya yang entah kapan terakhir diganti oli-nya. “Anak gadih zaman kini indak tantu di hari sanjo. Lah jaleh sanjo, nyo masih malala jo di rumah awak. Beko tajadi nan indak-indak anak awak yang disalahkan urang banyak*.” *Anak gadis zaman sekarang keluyuran ga tau waktu. Jelas-jelas sudah sore dia masih saa betah dirumahku. Sempat terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, anakku yang akan jadi sasaran masyarakat. “Ayah! Ibu yang minta Dinda di sini.” “Ibu yang minta Dinda disini,” cibir Bayu pada istrinya. “Kalau Ibu segitu sukanya sama anak itu kenapa ga ibu aja yang main di rumahnya sampai sore? Sampai lusa pun Ayah izinkan.” “AYAH!!!” teriak Ratu kesal. “APA?” “Udah dibilangin ratusan kali kalau keluar rumah itu pakai sendal! Capek Ibu ngepel sama nyapu!” >>>>  Pagi ini saat Arif ingin berjalan-jalan di sekitar, ia terpaku melihat wajah Puti Aini yang begitu berbeda dengan yang ia lihat kemaren. Wanita itu berayun di buaian kayu samping rumah dalam senyap ditemani embun. Melihat sorot perempuan ini, Arif merasa sang Putri sedang sangat merindu. Tidak pernah seumur hidupnya Arif melihat rindu yang begitu kuat. Bahkan wajah rindu Keysha untuknya karena ditinggal berbulan-bulan tidak separah ini. “Nia?” sapa Arif setelah ia berada di dekat Puti Aini, ia ingin memanggil wanita anggun nan jelita ini sebagaimana para saudaranya memanggilnya. Mungkin Nia adalah nama kecil Putri yang satu ini. Memang tidak menyambung,  tapi Nia pun tidak buruk. Puti Aini terkesiap dan langsung menunjukkan gelagat tidak nyaman. Gerakan bolak-balik ayunan yang ia naiki berhenti seketika. “Aku pasti boleh duduk bukan?” kekeh Arif dan dengan percaya diri ia mendudukkan diri di samping Nia. Hanya saja begitu ia mendudukkan diri, Arif merasa Nia menarik diri sampai sang Putri sudah berada di bagian paling ujung ayunan kayu ini. “Ada apa, Nia?” tanya Arif setelah Nia masih saja diam. “Maaf tapi aku Aini. Jangan panggil aku dengan nama itu.” Arif bisa merasakan kalau Nia kesal. Mendengus pelan, Arif menyadari bahwa Nia tidak suka dipanggil dengan nama kecilnya. Atau memang dia hanya ceria di depan Datuk-nya saja? Pemikiran barusan membuatnya ingin segera beranjak. “Duduk saja, aku tidak keberatan,” ucap Ni pelan, hal itu membuat Arif urung pergi. Kembali duduk, kali ini Arif mengayun ayunan tua itu untuk mereka berdua. Keduanya diam,  menunggu embun menemui ajalnya hanya untuk terlahir kembali esok hari.  Tidak ada suara apapun selain gerakan pelan kaki Arif yang membuat ayunan tua itu berderik.  Kemudian... “Ai? Aini???  S-sejak kapan kamu-” Ramdan panik sampai tidak menyadari ada orang lain bersama mereka. Sadar dengan kernyitan di dahi Arif, Ramdan memutuskan untuk tidak melanjutkan pertanyaannya lagi. Sedang Aini, ia paham apa yang Abangnya ingin tanyakan. Sejak kapan Aini kembali? Kenapa Aini kembali? Mungin itu yang akan Bang Ramdan tanyakan. “Apa aku sudah tidak punya hak untuk tubuhku lagi, Bang?” tanyanya lirih.  Mendengar suara itu, keraguan Ramdan pun sirna. Hanya Aini yang memanggilnya Abang. Nia juga tidak akan berkata begitu lirih dan lembut padanya. Ramdan kemudian menarik Aini menjauh. Arif hanya orang luar dan tidak perlu tau keadaan sepupunya. Sayangnya apa yang Ramdan lakukan dilihat dengan jelas oleh sang Datuk. Ramdan mengabaikan teriakan Datuk yang melarangnya menjauhkan Aini dari Arif. Kenapa tidak biarkan saja mereka berkenalan lebih jauh untuk melihat seberapa cocok keduanya bersama? Lagian kalau Aini tidak mau ia juga tidak akan memaksakan. Datuk akan mencarikan calon lain untuk Aini kalau begitu kejadiannya. Tapi Datuk diabaikan begitu saja. Pria itu tau bahwa lama-lama cucu tengiknya itu di rumah ini maka jantungnya akan semakin terancam. Ramdan mengunci kamar lalu berbalik pada wajah Puti Aini. Dia menangis. Sudah berapa tahun Ramdan tidak melihat air mata pada wajah ini? Dia benar-benar lupa karena keberadaan Nia, maaf bicara, sungguh menyenangkan. Bukan berarti Nia tidak pernah sedih dan kesal. Nia yang sedih dan kesal tidak akan pernah menangis. Dia pasti akan berteriak dan mengamuk. “Dia bohong!” ucap Aini marah. “Tentang apa?” tanya Ramdan lembut, Aini harus dihadapi dengan lembut. Ia lebih tau hal ini dibanding siapa pun. “Dia berjanji tidak akan membuatku menikah dengan siapa-siapa, tapi dia suka dengan orang tadi,” ucap Aini mencoba meninggikan suaranya, namun tetap tidak bisa menyamai hardikan Nia saat kesal. Ramdan mendekati Aini dan memeluknya, mengusap kepala adiknya itu pelan. “Ai, Nia ataupun kamu satu. Kalau Nia suka sama dia artinya kamu juga,” ucap Ramdan masih dengan nada lembut. Dia tidak pernah bicara selembut ini pada siapa pun bahkan pada kepribadian Aini yang lain yaitu, Nia. “Engga bang, satu hati tidak akan pernah cukup untuk dua orang,” ucap Aini mendorong pelan abangnya lalu berbalik dan berniat mengemas barangnya. Ia ingin pulang. “Ai, jangan bodoh, semua orang di luar bisa curiga, tetaplah tenang. Abang juga tidak suka kalau pria di luar itu menikahi kamu. Karena dia terlalu suka dengan perhatian orang ramai dan itu tidak baik untuk kamu dan Nia.” Yang Ramdan maksud adalah, Aini yang tiba-tiba ingin pulang tentu akan membuat semua orang keheranan. Kemaren Aini begitu senang berada di sini dan menyambut terlalu baik kehadiran Arif. Lalu apa yang terjadi dalam waktu satu malam? Apa yang terjadi sampai Aini berubah pikiran? “Benar?” tanya Aini mendongak dengan wajahnya yang basah. Ramdan menyeka air mata sepupu yang sama-sama yatim piatu dengannya. Mereka bertiga yatim piatu dan Aini yang paling sering menangis sejak dulu, mungkin karena dia perempuan sehingga perasaannya lebih halus dari Ramdan dan Azka. “Benar, jadi mari bersikap normal sampai-” “Sampai Nia mengambil alih tubuhku lagi?” “Bukan begitu maksud-” “Sudahlah, bang, Nia memang akan segera kembali untuk membantuku. Aku akan di sini sampai kita kembali ke rumah,” ucap Aini yang sama sekali tidak tau bahwa mereka sudah tidak tinggal serumah sejak empat tahun lalu. Ramdan menangkup wajah Aini kemudian mengangguk dan seketika itu pula pintu dibuka dari luar oleh Datuk yang di belakangnya ada Arif dan Azka. “Musang babulu Ayam, musuah dalam salimuik!! Arif, bawa calon istrimu ke luar dan Azka ambilkan cambuk di lemari tengah!” Ramdan mendengus mendengar teriakan Datuk-nya barusan. Memang beberapa orang dari keluarga besar mereka sempat mengkhawatirkan kalau Ramdan dan sepupu perempuannya ini malah saling mencintai. Itu pula yang menjadi alasan kenapa sejak empat tahun yang lalu mereka sudah tidak tinggal serumah lagi. Seumur hidup bersama dan mereka baru khawatir sekarang karena katanya baik Ramdan ataupun Aini masih saja belum menikah. “Bang, apa maksudnya?” tanya Aini menatap sang Abang bingung. Ia sungguh tidak mengira kenapa Datuk sampai bicara seperti itu? “Ga apa-apa, tenang aja.” “Azka Lazuardi!” ucap Datuk karena si bungsu masih diam di tempatnya. “Tapi, Tuk.” “Atau kau ingin bergabung bersama dia?” Azka menghela napas dan meminta maaf terlebih dahulu pada abangnya sebelum menunaikan perintah Kakeknya. Aini berontak saat Arif membawanya jauh dari Abangnya. Cewek yang biasanya terlihat tegas itu menangis sejadi-jadinya saat mendengar suara yang muncul saat cambuk beradu dengan kulit sang Abang sepupu. “Biarkan aku bicara pada Datuk-ku” teriak Aini. “Kamu hanya akan membuat hukuman Sultan Ramdan semakin parah. Maaf karena aku akan tetap membuatmu menangis di sini dari pada bergabung dengan mereka dan mendapat hukuman.” Aini menulikan telinga dan menggedor-gedor pintu padahal ia tau bahwa kunci ruangan tempat mereka berada ada di tangan Arif. Ia meneriaki Azka agar segera mengeluarkannya dari sana. >>>q Arif memperhatikan wanita itu dengan lekat, sekarang dia sudah diam meski masih tersedu dan tidak menggedor lagi. Arif tau tangan Aini pasti terasa sakit mengingat betapa merahnya tangan itu sekarang. Ingin Arif mengobati tapi ia merasa seseorang yang jauh di sana akan sangat kecewa padanya jika mengetahui ia memegang tangan selain tangan wanita itu. “Siapa nama kamu?” “Aarifqy Keano Ha-” “Arifqy, bisakah kamu bukakan pintunya sekarang? Aku ingin melihat keadaan Abangku,” pinta Aini sopan sebagaimana kepribadiannya. “Baiklah.. Tapi aku akan mengatakan apa yang kulihat.” Arif mendekat pada sang Putri sambil meraih kunci yang ada padanya. “Sepertinya kakek tidak suka dengan hubunganmu dan Sultan Ramdan. Kalian mungkin harus membuat beliau mengerti.” “pelan-pelan,” sambungnya. “Aku dan Bang Ramdan tidak begitu!” ucap Aini kesal. Apa Arifqy pikir ia dan Sultan pulau ini menjalin semacam hubungan terlarang? Dan Arif masih bisa melihat, bagaimanapun Aini mencoba untuk bicara kasar, ia hanya bisa sampai pada level ketus. Aini meninggalkan Arif dan segera mencari abang Ramdannya. Azka berdiri di luar kamar Ramdan, tidak berani masuk karena ia punya andil kenapa sang Abang sampai terluka seperti itu. Dirinya lah yang mengambilkan cambuk untuk Kakek dan itu sama saja dengan dirinya yang mencambuk Abangnya sendiri. Namun saat melihat kehadiran Kakaknya, Azka memutuskan untuk mengekori sang Kakak. “Bang,” ucap Azka dan Aini bersamaan. Ramdan yang sudah membuka pakaian atasnya menoleh pada kedua adiknya kemudian berdeham sejenak. “Masuk saja,” begitu katanya. “Ini gara-gara Ai, ya? Ai kembali aja kali, ya, Bang?” ucapnya dengan mata berkaca-kaca. “Jangan!” ucap Ramdan spontan. “Di sini saja, memangnya kamu tidak rindu dengan kami?” Aini terdiam. sedang Azka yang sebenarnya tidak mengerti dengan apa yang dikatakan Abangnya ikutan diam karena di dera rasa bersalah. Kalau dia jadi sang Abang, Azka yakin tidak akan bisa setenang itu dengan luka-luka di punggungnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD