P. S. I Hate You 14

1954 Words
Viona tidak mau melepaskan tangan Ibu Ratu barang sebentar saja. Hari ini ia benar-benar berkenalan dengan Padang. Untuk pertama kalinya Vio merasakan bumi bergoyang dan hal itu membuatnya ingin segera pergi dari sini. Berpikir semua orang akan panik dan ketakutan dengan gempa bumi tapi tidak ada seorang pun yang berteriak seperti dirinya magrib ini. Saking hebohnya, Om Bayu bahkan mengatakan bahwa pekikan Vio lebih kencang dari suara azan di mesjid. Untuk komentar beliau itu Vio dibuat mendengus keras. Om Bayu jelas benar-benar tidak memikirkan mental Vio yang terguncang karena beliau tetap mengenakan sarungnya kemudian pergi ke mesjid. Ibu Ratu pun sama saja, shalatnya lama banget. Mana sebelum shalat beliau sempat-sempatkan untuk mengunci teralis dan juga pintu. Beruntung tidak ada gempa susulan, kalau sempat ada.. Viona hanya tinggal nama. Pukul setengah sepuluh akhirnya Vio kembali bertemu dengan dua saudaranya yang seharian benar-benar bersikap abai. Seolah mereka tidak pernah memiliki sepupu bernama Viona yang walaupun jerawatan tapi tetap membuat para pria terjerat. “Abang, Abang tadi ada di mana pas gempa?” tanya Vio pada Gilang dan Fateh yang kondisinya terlihat sama seperti dirinya. Mereka berdua pasti masih memikirkan kemungkinan gempa susulan yang berpotensi tsunami. Gilang dan Fateh menghempaskan tubuhnya ke sofa di depan TV. Gilang yang paling dekat dengan remote TV langsung menyambar benda itu dan mengganti ke program yang ia sukai. “Emang tadi gempa?” tanya Gilang tidak peduli. Fateh mengendikkan bahu, pertanda ia pun tidak menyadari bencana alam yang satu itu. Lantaran bencana yang ia terima jauh lebih dahsyat. Mengingat kembali ucapannya dengan Puti Aini, Fateh mendegus sambil memejamkan mata. “Kamu tau berapa umur Arif tadi? Tiga puluh tujuh atau mungkin tiga puluh delapan sekarang. Dan bukan ga mungkin dia sudah empat puluh.” Ucap Fateh pada Aini setelah lelah menerima penolakan pembangunan mall. Mengerti bahwa Aini tidak akan berubah pikiran hari ini, Fateh akan mencoba mendatanginya lagi besok. Mana tau besok Fateh mendapatkan persetujuan Aini juga hati Puti itu. “Makanya aku panggil Abang, ‘kan?” Tuh! Itu tuh jawaban dari yang mulia Putri Sumatera. Sejak awal Fateh sama sekali tidak bermaksud untuk mengoreksi kata sapaan yang Puti Aini gunakan. Yang Fateh ingin sorot adalah bagaimana jauhnya perbedaan umur mereka. Ngapain nikah sama Om-Om begitu? Shakka saja sudah menikah, itu si Arif ga laku aja makanya masih melajang sampai sekarang. Lagian seingat Fateh, akhlaknya si Arifqy Keano Hadrian, ga mulia-mulia amat. Apa sih yang pernah dia lakukan di masa lalu yang membuatnya mendapatkan gadis yang Fateh inginkan sebagai calon istri? “Dia jauh lebih tua dari Sultan Ramdan, loh.. kamu yakin mau sama dia?” Iya, sebut saja Fateh nekat karena memang begitu adanya. Kalau mengikuti hatinya, Fateh punya banyak kata-kata yang perlu diucapkan pada wanita ini yang mau saja dengan Arif. Ibarat KTP, masa berlaku si Arif itu sudah lewat. Kalau kendaraan, pajaknya sudah mati. Berkeliaran dengan kendaraan mati pajak konsekuensinya adalah kena tilang, sidang, bayar denda dan berurusan sama polisi. Ngapain sih Puti Aini mau sama Arif saat ada motor dengan mesin bagus yang sura-suratnya masih lengkap seperti Fateh? Aini menatap lama pada pria yang bertanya seolah dia begitu peduli padanya. Kenapa Fateh yang sudah mempunyai istri dan dua anak mau repot-repot mempertanyakan kesediaan Aini untuk menikah dengan Bang Arif? Kalau misalkan di jawab tidak kemudian dilajutkan dengan pengakuan bahwa Aini maunya dengan Fatih Ardan Mubarack, apakah pria itu punya solusi untuknya? “Maaf sebelumnya tapi aku ga bisa bahas urusan yang terlalu pribadi. Apalagi ini bukan tentang diriku sepenuhnya tapi juga Bang Arif.” “Abang!” panggil Viona pada Bang Fateh yang kelihatan sekali bohongnya. Masa iya Bang Fateh tidak merasakan gempa tadi? Wajahnya saja sudah menunjukkan semacam trauma yang susah diobati. Fateh melirik pada Viona, satu-satunya adik sepupu berjenis kelamin perempuan yang tampaknya tidak bisa dan tidak mau memberikannya waktu sekedar untuk merenungi nasib. Nasib dimana sekalinya menyukai perempuan eh dia sudah siap untuk menikah dengan seekor motor butut. Fateh menyerngit menyadari keanehan pada kalimatnya dalam hati barusan. Motor kok seekor sih, Teh.. sebuah dong. Ketahuan Faya nanti kita disekolahkan lagi, loh, ucapnya pada dirinya sendiri. “Kita pulang, ya Bang.. aku ga mau mati konyol di sini,” ucap Vio setelah mendapatkan perhatian sang Abang. “Lo bisa pelet ga?” tanya Fateh serius. Ucapannya barusan membuat semua orang di ruangan itu menatapnya aneh. “Ga bisa, ‘kan?” cibir Fateh setelahnya, memberikan sang sepupu tatapan meremehkan. “Kecuali lo bisa bikin Radinka Aini Jebat suka sama gue, baru gue pulang.” “Ih Abang jangan segitunya dong, naksir sih boleh aja tapi ga gini juga. Cewek banyak, Bang. Yang cantik, kaya, baik dan banyak lebihnya dari Radinka Aini Jahat ini.” “Gue ga nyari yang lebih dari dia. Dia aja cukup. Pas.” Setelah mengucapkan kata ‘terserah’ Vio kemudian berjalan menghentak-hentakkan kaki menuju kamarnya. Berniat untuk mengadu pada Om Raffa, bahwa ia tidak tahan lagi berada di tempat dimana setiap saat nyawamu bisa saja melayang. “Bergetar rumah ini gara-gara telapak kakinya dan dia ngaku takut sama gempa?” ejek Fateh melihat pada Vio yang sudah berjalan menjauh. Saat mengalihkan pandangannya kembali, Fateh mendapati Om Bayu yang kelewat anteng. “Om ga ada yang pengen ditanya ke aku??” begitu tanya nya pada sepupu Ayahnya itu. “Ga.” “Kenapa?” “Kenapa jawaban yang sejelas itu masih harus dijelaskan?” tanya Bayu bingung. Apa lagi memangnya yang harus ia tanyakan saat obrolan Fateh dan Vio barusan menunjukkan dengan begitu jelas bahwa Fateh tidak akan berhasil menjalankan rencana bodohnya? Seharusnya pada Om sendiri Fateh tidak perlu berbohong. Bayu mulai mengerti kemana arah semua ini. Fateh hanya tidak ingin menikah dan tidak punya rencana untuk menikah. Makanya ia memilih target yang mustahil sekali untuk ia dapatkan. Kenapa tidak berterus terang saja sih? Selain Fay, tidak akan ada yang menentang hal itu. Bayu tidak dan ia yakin Raffa juga tidak akan mempermasalahkan hal itu. Kecewa dengan Om yang tidak antusias Fateh kemudian pamit. Ingin mandi dan langsung tidur. Berencana untuk tidur awal agar saat bangun nanti pikiran dan tubuhnya lebih fresh sehingga memudahkan dirinya sendiri untuk membuat rencana merebut hati Puti Aini. Melihat sang Abang beranjak, Gilang juga mengangkat bokongnya dari sofa. Tidak hanya Bang Fateh saja yang gagal hari ini. Gilang pun mengalami hal yang sama. “Lang?” tanya Ratu pada putra semata wayangnya. Gilang sudah berbalik. Belum sempat bertanya apa yang Ibuknya inginkan tapi beliau lebih cepat dari yang Gilang duga. Kalau soal Dinda mah Ibu memang selalu bersemangat. “Gimana? Kapan Adin main ke rumah kita lagi?” begitu tanya nya pada Gilang. Gilang melirik sebentar pada Ayah. Ternyata beliau ikut menguping tetapi langsung memalingkan kepalanya begitu ketahuan oleh Gilang. Berdeham pelan seolah ia tidak peduli pada apapun yang telah terjadi. Putranya balikan kah, putranya ditolak kah, apapun itu. Gilang menggaruk kepalanya yang jadi begitu gatal. Apalagi mengingat Dinda berpura-pura tidak mengerti dengan apa yang ia katakan seharian ini. Sial, kenapa kemaren harus jadi giliran Gilang sih yang memutuskan hubungan mereka berdua? Dinda ‘kan jadi jual mahal. Tapi kalau dipikir-pikir Dinda benar-benar keterlaluan kali ini. Seumur-umur, pas giliran dia yang ingin putus dan dia pula yang ingin balikan, Gilang tidak pernah menyulitkannya dengan bersikap ogah-ogahan. Buat yang pada ga ngerti, jadi gini gais.. Gilang dan Dinda itu punya semacam tradisi dimana siapa yang minta putus, dia pula yang minta balikan.   “Ditanya Ibu tuh dijawab, Gilang Ivander Aldari!” “Gilang nikahin dia aja kali ya, Bu, kalau dia ga mau balikan?” tanya Gilang. Tidak sadar kalau ia curhat pada Ibu tepat di Ayah. “Boleh, Yah?” tanya Ratu penuh harap. Pertanyaan Ibu barusan lah yang membuat Gilang sadar akan keberadaan Ayahnya. Gilang mendapati Ayah menatapnya dengan cara meremehkan. Sadar akan adanya mara bahaya yang pasti segera menghampirinya Gilang langsung mengambil satu langkah mundur. Dan benar saja, Ayah mengambil apapun yang ia temukan. Hari ini Gilang berhadapan dengan tangkai sapu yang menari-nari tepat di depan wajah tampannya. Menikah katanya? Abangnya, si Fateh yang sudah mapan dan siap untuk berumah tangga saja mencari-cari alasan untuk tidak menikah lah dia mau menikah? Gilang beruntung saja karena meskipun pemarah, Bayu tidak akan menaruh tangan di kulitnya lagi. Kapok Bayu. Semakin dipukuli Gilang malah makin tidak mengerti, makin tidak paham. Namun begitu Bayu tidak bisa menyembunyikan betapa kesal dirinya pada sang anak. Ia memilih melampiaskannya dengan berteriak. “Nikah aja sana! Nikah terus kasih istrimu makan sama kerikil. Rebus kerikil itu sehari semalam biar lunak dan bisa dimakan!” cibir Bayu pada darah dagingnya sendiri. Ya Ayah mana yang tidak akan mencibir coba? Setiap semester dalam dua tahun belakangan ini Bayu selalu menambahkan uang ekstra untuk membayarkan semester pendek putranya itu. Semester pendek untuk memperbaiki nilai-nilainya, bukan yang sengaja mengambil mata kuliah baru agar bisa wisuda cepat. Dengan keadaannya itu Gilang ingin menikah? Ingin menambahkan tanggungan baru untuk Bayu begitu? Bayu benar-benar tidak sanggup membayangkan dirinya menanggung dan menjamin hidup menantu dan cucu-cucunya sementara Gilang masih berusaha untuk wisuda. Tidak sanggup pokoknya. “Nikah aja, Nak.. Kebetulan rumah kita dekat sama pantai kamu mudah buat ambil pasir untuk makan anak-istrimu. Itu di pinggir rel kereta api juga banyak kerikil-kerikil. Gratis lagi.” “Iih.. Ayah apaan sih! Masa anak sama istrinya Gilang makan pasir sama kerikil!” ucap Ratu menangkap tangkai sapu yang sejak beberapa saat lalu digunakan suaminya untuk menunjuk-nunjuk muka putra kesayangannya. “Biar anak kamu ini paham! Nikah cuma untuk mereka yang udah siap, kalo ga punya apa-apa tapi mau nikah gara-gara mau menuhin syahwat mending ga usah! Itu sabun banyak!” tunjuk Bayu ke arah kamar mandi. Biarkan putranya berdosa dengan cara seperti itu dari pada berdosa karena menelantarkan dan menyengsarakan anak dan istrinya nanti. Gilang menganga, apa barusan ada yang mendengarnya berkata ingin menikahi Dinda untuk memenuhi syahwat? Ada? Satu orang saja tolong acungkan tangan. “Ayah! Malu tau! Perlu kamu teriak begitu? Tetangga pada dengar nanti Gilang disangka m***m!” Ratu tidak bisa menahan dirinya untuk memukulkan tangkai sapu itu pada sang suami. “Oh, dia ga m***m?” tanya Bayu melirik tajam sang putra. Dalam sekejap mata ketika pandangannya dan sang Ayah bertemu, Gilang langsung menoleh ke kanan atas. Memeriksa apakah langit-langit rumahnya ada yang bocor. Ternyata tidak ada, Gilang baru sadar kalau rumahnya ini dua lantai sehingga tidak mungkin bocornya di lantai pertama. “Kamu ga gitu, ‘kan, Sayang?” tanya Ratu, masih menatap garang sang suami. Beberapa detik menunggu tapi tidak kunjung mendapat jawaban akhirnya ia menoleh pada sang anak. “Jawab Ibu!” hardik Ratu sambil memukulkan tangkai sapu itu juga pada Gilang. “Engga,” jawab Gilang sambil meringis. “Engga?” tanya Bayu yang matanya benar-benar siap meloncat kapan saja. “Engga parah-parah amat maksudnya, Bu,” ucap Gilang mengoreksi ucapannya. Kemudian hanya terdengar teriakan kesakitan Gilang. Bukan Bayu yang menganiaya putranya melainkan sang istri. Biarkan saja lah, toh nanti yang akan mengobati lukanya juga Ratu sendiri. Di tengah teriakan kesakitan putranya, Bayu menengadahkan kepala ke arah langit. Bertanya pada yang di atas sana, kenapa harus Raffa yang diberi putra baik-baik. Padahal Raffa sering sekali meninggalkan putranya itu sejak remaja tapi tidak sedikit pun kelakuannya menyimpang. Ya meskipun mulut ponakannya itu tidak ada hambatannya sama sekali.   “Sudah kamu apain aja Adin? Ngaku sama Ibu!” Ratu pikir bagaimana anaknya bisa menjawab kalau ia menjatuhkan pukulan bertubi-tubi seperti itu? Malang sekali nasib Gilang gara-gara mulut Ayahnya yang hoax. “Jadi itu alasannya kenapa Adin selalu mau main di rumah kita dan patuh banget sama Ibu? Karena kamu udah ngerusak dia?” “Sakit Ibu! Rusak apaan sih, Bu? Kan tadi aku ngakunya ga parah-parah amat.” “YA MAKANYA JELASIN APA YANG KAMU MAKSUD GA PARAH-PARAH AMAT ITU GILANG IVANDER ALDARI!” “Malu sama tetangga, Tu..” ucap Bayu pada istrinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD