P. S. I Hate You 13

2357 Words
Arif benar-benar menertawai dirinya sendiri. Baru beberapa hari yang lalu bertemu dengan Puti Aini sekarang ia sudah kembali menemuinya. Orang-orang yang melihat ini pasti mengira dirinya begitu banyak waktu longgar. Tidak mengurusi pekerjaan tapi menemui seorang wanita. Itupun bukan wanita yang ia cintai melainkan wanita asing yang berstatus sebagai calon istrinya. Terbiasa menemui satu wanita saja seumur hidupnya walaupun itu harus sembunyi-sembunyi dari Shakka dan juga keluarga Keysha yang lain, kini Arif merasa ada yang salah. Bukan Keysha yang akan ia temui, bukan Key juga yang akan ia peluk. Ya meskipun mustahil ia akan memeluk Aini juga sih. Tetap saja terasa salah. Disambut oleh seorang gadis yang pakaiannya mirip-mirip dengan pakaian Puti Aini hari itu, Arif kemudian dituntun menuju sebuah ruangan. Arif melirik jam di pergelangan tangannya, ia tidak akan berlama-lama di sini. “Fateh?” tanya Arif pada pria yang sibuk dengan ponselnya. Fateh adalah adiknya Faya sedang Faya adalah adik angkatnya Shakka. Begitulah cara Arif mengenal mereka. Fateh cukup sering datang ke rumah Shakka sewaktu ia masih remaja. Dan tentu saja hanya untuk membuat keributan dengan Fay ataupun dengan Abid. Kembali pada masa sekarang, Arif jadi bingung. Kenapa Fateh bisa berada di kediaman Puti Aini yang tidak sembarangan orang bisa memasukinya? Kenapa pula Fateh tampak nyaman sekali sampai mengangkat sebelah kaki dan punggung bersandar di sofa seolah sedang berada di rumah sendiri? Apa yang kiranya Arif lewatkan? “Oh, hai Bang, ada urusan juga?” “Ga bisa dibilang urusan juga, sih..” Arif kemudian paham mengenai tujuan Fateh kemari. “Udah lama, Teh?” tanya Arif pada bocah itu. “Engga.. baru sepuluh menitan,” jawab Fateh kemudian larut dalam obrolan. Saling bertanya kabar dan kesibukan masing-masing. Tidak tau saja mereka bahwa yang satu adalah calon suami sedangkan yang satu adalah orang yang berniat menikung. Mana ada calon korban dan calon pelaku yang seakrab mereka. >>>  Rupanya tidur saat kamu menguasai tubuhmu sendiri lebih nikmat daripada terpaksa tidur karena seseorang mengambil alih tubuhmu. Saking enaknya tidur, Aini bahkan sampai susah sekali untuk membuka mata. Ai dengar kok sayup-sayup panggilan Diah yang memintanya untuk segera bangun tapi rasanya kok jauh sekali. Ia sudah berusaha untuk membuka kedua matanya tapi kok ya terasa berat sekali. “Puutiiiiiii,” rengek Diah pada majikannya. “Hm..” Aini bergumam sambil melesakkan kepalanya lebih dalam pada bantal. Astaga kenapa tidur bisa seenak ini? Berat sekali rasanya untuk bangun. “Fateh sudah datang dan calon suami anda juga sudah menunggu, Puti.” Diah tidak peduli lagi, terserah kalau mau menghardiknya tapi ia tetap akan membuat Puti Aini berjalan menuju dua tamu pentingnya. Astaga, susah sekali tugasnya akhir pekan ini. Kalau saja Sultan Ramdan dan Sultan Azka tidak menginap di istana Pagaruyung sana, Diah pasti sudah menghubungi mereka agar segera datang. “Calon suami siapa, Di?” “Calon suami anda dong, masa calon saya. Pria yang Datuk Medan pilihkan untuk anda. Arifqy Keano Hadrian.” Mengabaikan kantuknya, Aini membuat tubuhnya duduk seketika. Belum sempat ia mengambil waktu untuk berpikir siapa Arifqy Keano Hadrian, Aini merasa tubuhnya di tarik sehingga meninggalkan ranjang kemudian di dorong menuju ruang tamu. “Anda sudah cantik, ga ada iler dan pakaiannya sudah sopan, kok. Ini pertemunannya ‘kan ga resmi jadi ya ga harus pakai pakaian formal juga. Cepat hadapi mereka kemudian anda bisa tidur lagi.” Begitu Ucap Diah yang mendorong sang Putri dengan semua tenaga yang ia miliki. Aini tidak tau apa yang terjadi tapi tiba-tiba ia sudah terduduk di depan dua pria dewasa yang memperhatikannya seperti tidak pernah bertemu sebelumnya. Sedangkan Fateh yang baru pertama kali mendapati wajah bingung sang bangsawan, ingin sekali mengabadikan wajah bingung perempuan di depannya itu. Lucu sekali kebiasaan Puti Sumatera ini saat bangun tidur. “Ma- maaf, aku ketiduran,” ucap Aini menundukkan kepala. Sejak dipaksa bangun oleh Diah sampai sekarang duduk di depan Fateh dan Bang Arif, Aini sibuk memikirkan sesuatu  yang salah. Pokoknya ada yang salah tapi entah apa itu. Baru ketika mendapatkan senyuman dari dua pria itu Aini menyadari keberadaannya lah yang salah. Harusnya ‘kan Nia yang berada di sini dan menghadapi mereka berdua. “Kecapean?” tanya Arif pada wanita yang terlalu imut untuk diabaikan. Sadar kalau perempuan ini cukup berbahaya, alaram di benaknya langsung menyala. Memerintahkan untuk segera pergi dari sana. Hatinya terus mengingatkan Arif bahwa ada gadis yang tersakiti hatinya kalau ia terus saja mengamati wajah Aini. “Eng- engga. Ak- aku-” Fateh menoleh pada Arif yang mengucapkan kata tidak biasa. Bukan kah tujuan mereka untuk menemui putri Sumatera tidak jauh berbeda? Tapi kenapa pertanyaan Arif malah terdengar seolah mereka sudah sangat dekat? ‘Kecapean? Emangnya habis ngapain?’ tanya otak kotor Fateh. Ini kenapa pula Puti Aini jadi gugup begitu. Fateh sudah cukup berbangga diri dengan kegugupan yang ia terima semalam tapi ternyata gugupnya Aini di depan Arif jauh lebih dahsyat. Instingnya mengatakan kalau Arif bukan sekedar kenalan biasa bagi calon istrinya itu. Oh ya harus gitu dong sebutan untuk Aini, kata orang-orang tua dulu perkataan itu adalah doa. Jadi Fateh sebagai orang yang akan mendapatkan Aini apapun caranya harus selalu berdoa sekalipun sedang bicara. Salah satu caranya adalah dengan memanggil Aini dengan sebutan calon istri. “Abang bisa tunggu aku sebentar?” tanya Aini pada Arif. Bagaimana ya mengatakannya, Fateh ‘kan lebih dulu membuat janji dengannya sedangkan Arif datang mendadak. Jadi meskipun sebenarnya Aini tidak ingin bertemu Fateh, ia tetap harus mendahulukan pria beranak dua ini. ‘Diabangin loh, Yip! Seriusin ajalah cewek ini dari pada entar ketahuan dan lo dibangsatin,’ perintah otak Arif. Bangkit kemudian mendekati Aini, Arif memberanikan diri untuk mengusap kepala wanita dengan hoodie ungu itu. “Kamu ladeni aja tamunya, aku kesini cuma sekedar setor muka aja.” Arif beralasan waktunya tidak banyak, bahwa ia masih punya urusan yang harus dikerjakan. Sebelum benar-benar pamit, Arif berjanji akan mendatani Aini lagi kalau nanti ia ke Padang. “Minumnya ga dihabisin dulu?” tanya Aini pada Arif yang mulai menjauh. Segan sekali karena Arif yang datang jauh-jauh malah berakhir diabaikan karena ia punya tamu. Arif berbalik kemudian memberikan senyum menawannya, mengatakan bahwa ia sudah mencicipi teh yang dayangnya Aini suguhkan. Namun Diah yang paling tau bahwa sang calon Sultan bahkan tidak menyentuh gelasnya sama sekali langsung berdeham. “Ehembohong!” Aini melirik pada Diah, memberikan tatapan tidak sukanya. Harus ya, Diah sampai menyindir Bang Arif seperti itu? Mengangkat pantatnya dari sofa, Aini meraih mug berisi teh milik Arif kemudian membawanya mendekat pada pria itu. “Ayo, Bang di minum dulu. Kalo ga minum lain kali ga boleh kesini lagi.” Arif tidak bisa menolak, sang Putri sendiri yang membawakannya cangkir berisi gelas ini. Setelah selesai minum, Arif kembali disuguhkan dengan kejutan lainnya. Aini katanya ingin mengantarkan Arif sampai depan. Siapa sangka gadis yang beberapa hari lalu menangis kejer karena kekasihnya dicambuk malah jadi sebaik ini padanya? Tak ingin berlama-lama Arif mengiyakan saja tak lupa pamit pada Fateh yang ternyata mengamati mereka sejak tadi. Tadi bertanya kecapean dan sekarang Fateh malah disuguhi dengan pemandangan yang membuatnya kesal setengah mati. Begitu teman satu sekolah yang tidak pernah sekalipun ia lihat batang hidunganya itu kembali Fateh segera bertanya. Lidahnya sudah terlalu gatal untuk mengetahui hubungan Aini dengan Arif. “Bang Arif itu calonku. Kalau kamu kenapa bisa kenal sama Bang Arif?” Boleh Fateh mengumpat? Semalam cewek ini berlagak ngomong pakai anda-anda eh sekarang dia malah begitu terbuka sampai mengenalkan calon suaminya pada Fateh. Tidak berpendirian sekali anda tuan putri! Tapi ya salah Fateh juga sih, siapa suruh kepo. “Ya.. kenal yang biasa aja.” Fateh kemudian membuang segala senyum dan ekspresi gemas yang ia tunjukkan pada Aini beberapa menit yang lalu. Ia langsung mengatakan maksud dan tujuannya untuk bertemu Aini. Suasana hatinya sedang tidak enak dan kalau terus disini, bisa-bisa ia memberikan kata-kata mutiaranya pada sang putri yang berani-berani sekali menunjukkan kecantikannya pada Fateh padahal sudah punya calon suami. Tapi lihat saja, misi menikung tidak akan berakhir begitu saja. “Benar itu tanah milik mendiang orang tuaku. Tapi maaf, aku menolak bukan karena itu tanah mendiang.” Aini tidak ingin Fateh membangun mall lagi di Padang. Masyarakat mereka itu terkenal karena senang sekali berdagang. Harus berapa buah mall lagi yang dibangun di negeri ini? Lalu kemana masyarakatnya harus mengadu nasib? Ke Jakarta sana? Tidur di kolong jembatan? Atau jadi TKI? Disiksa bahkan dilecehkan oleh majikan? Sore itu obrolan mereka berakhir tanpa kesepakatan. Aini berkeras nah Fateh justru lebih keras. Pria itu berjanji akan mencoba mencari lokasi lain yang tak kalah strategis. Begitu percaya diri bahwa ia tetap akan mendirikan pusat perbelanjaan terbesar yang pernah ada di Sumatera pada Aini. >>>  “Kita tidur tempat Om Agam ya, Sayang,” ucap Fay pada putra tampannya yang tampak sangat mengantuk itu. “Kenapa, Ma? Mama takut karena ga ada Papa ya? Ammar berani kok lindungin Mama. Dulu kita juga berdua aja.” “Siapa bilang Mama takut?” kekeh fay kemudian mengacak-acak puncak kepala putranya. “Jadi?” “Hm..” Fay berpikir sebentar kemudian berbisi pada Ammar, “Kita harus merepotkan Agam sebelum dia punya keluarga sendiri.” Yang langsung dibalas dengan kikikan Ammar. pertanda ia setuju. Selesai berbohong pada Ammar tentang alasan kenapa malam ini ia ingin mereka menginap di rumah Agam, Fay kemudian menyetop taxi.  Membiarkan benda itu membawanya dan Ammar menembus hingar bingar malam dalam diam. Ammar langsung memeluknya tepat di pinggang begitu mereka masuk ke dalam taxi. Bersiap untuk tidur tentu saja. Untuk memastikan Ammar nyaman dalam tidurnya, Fay balas memeluk sang putra. Dalam diamnya sambil mengelus-elus puncak kepala Ammar, Fay menyadari perubahan sang suami. Dulu kata-kata ‘Harus bisa, karena Fay yang minta,' adalah mantra termudah untuk menyesaikan debat dengan Denis. Dulu. Apa sekarang Fay tidak seberharga yang dulu ya?  Fay terus saja memikirkan kenapa Denis bisa sampai berubah, sampai akhirnya taxi itu berhenti di tempat tujuannya. Selesai membayar tagihanya, Fay kemudian menggendong putranya tepat di punggung. Kasihan sekali putra kesayangannya ini kalau harus dibangunkan. Supir taxi itu sempat menawarkan untuk membantu menggendong Ammar sampai ke rumah tapi Fay segera menolaknya. Anak anak dia kok, ga ada tuh ya acara minta tolong sama siapa pun. Rupanya supir taxi itu tetap ingin membantu. Dia keluar, memutari badan mobil kemudian membantu meletakkan Ammar di punggung Fay. “Makasih, Mas,” ucap Fay pada taxi yang sudah bersiap untuk menjauh. Sambil menahan b****g Ammar dengan kedua tangannya yang dilipat di punggung, Fay menoleh ke bahu kanannya dimana kepala Ammar terkulai lemas. Sambil itu, ia bersenandung kecil. Tujuannya hanya satu, agar Ammar tidak terganggu tidurnya. “Sudah kuduga,” ucap Denis saat melihat Fay datang ke Agam sambil menggendong Ammar di punggung.  Langkah Fay terhenti mendengar suara sang suami yang memilih untuk mengabaikan permintaanya. Ia melihat keangkuhan di wajah suaminya yang bersandar di kap depan mobil. Apa gunanya pria ini menunjukkan mukanya sekarang? Fay mendengus keras kemudian memutuskan untuk terus berjalan, mengabaikan Denis seolah mereka adalah dua orang yang saling asing. “Danis! Mama ga sanggup gendong badan kamu yang sudah besar itu,”  ucap Denis yang mulai menghapus jarak. “Jangan bangunkan anakku!!!” ucap Fay marah tapi dengan suara yang ia jaga tetap rendah. Fay berusaha mundur namun Denis dengan gesit mengambil Ammar dari gendongan Fay. Lalu membawanya ke dalam mobil. Jujur punggungnya jadi agak lega begitu bobot Ammar berpindah pada gendongan Denis. “Danis Danis Danis,” gerutu Fay, “Gimana putraku ga ngambek kalau dipanggil sama begitu?” tanya Fay kesal. “Kamu lupa siapa yang ngasih nama itu?” tanya Denis membuka pintu sambing mobil. Setelah menidurkan putra pertamanya, Denis kemudian meletakkan siku kirinya di atap mobil dan menopang dagunya sambil menatap datar pada sang istri yang tampak sangat kesal padanya. “Kamu juga mau digendong?” sindir Denis karena istrinya masih diam di posisinya. “Aku tidur sama Agam!” ucap Fay tidak ingin diatur-atur. “Dan sudah ribuan kali aku ingatkan untuk jangan sekali-kali kamu ucapkan kata ‘tidur dengan’ kalau itu bukan sama aku, ‘kan? Darahku langsung ngumpul di ubun-ubun Fay, dengar kamu ngomong begitu. Kamu itu tidurnya sama aku!” Denis mengalah dan mendekati istrinya itu. Mata Fay berkaca-kaca, air matanya siap tumpah dan ia juga lebih dari sekedar siap untuk menampar Denis Hardian. Kalimat terakhir Denis menunjukkan bahwa dia masih posesif seperti dulu, tapi kenapa sikap suaminya itu pada anak sulung mereka berubah? “Apa perhatian dan kasih sayang kamu tidak cukup untuk tiga orang?” tanya Fay berbarengan dengan hujan lokal di pipinya. “Apa lagi sekarang, Sayang???” Fay menolak menjawab pertanyaan suaminya dan memilih untuk terus menangis. “Kali ini tentang siapa?” tanya Denis to the point. Sudah meraih Fay tapi tangannya ditepis. “Tentang anakku!!!! Apa susah untuk mengajak Ammar ikut bersamamu? Kalau memang kamu berat hati, setidaknya jangan biarkan dia tau apa yang Papa lakukan bersama adiknya.” Astaga, Denis kira apa masalahnya ternyata memang istrinya saja yang sedang sensitif. “Ammar ga suka motocross, Sayang. Dan maaf, harusnya aku tetap menawarkan pada Ammar apa dia mau ikut. Kita pulang ya?” Denis menarik sang istri ke dalam pelukan, mengecup puncak kepala sang istri. Satu tangan berada di pinggang Fay sementara satunya lagi ia gunakan untuk mengelus punggung sang istri yang masih menangis. “Maafmu salah tempat!” ucap Fay ketus. Apa Denis pikir maaf saja cukup? Anaknya sudah terlanjur merasa diperlakukan seperti anak tiri sejak beberapa hari yang lalu. “Sayang, kita selesaikan di rumah ya. Abi sudah lama tidur dengan posisi yang pasti ga nyaman. Ammar juga pasti capek apalagi kamu yang menggendongnya,” ucap Denis setelah memijit pangkal hidungnya, meredakan gejolak darahnya yang juga terpancing akibat air mata sang istri. Fay menghela napas kasar. Apa Denis masih ingin menyelesaikan masalah ini bersama Fay di rumah? Kan sudah dibilang kalau Denis itu berurusan sama Ammar. “Terserah kamu karena seperti yang aku bilang tadi, urusan kamu sama anakku. Bukan sama aku. Dan aku akan tidur sama Agam malam ini.” Denis mengumpat dalam hati mendengar kata tidur dengan favoritnya Fay itu. Apa sang istri tidak belajar konotasi dan denotasi saat SMP?? Karena jujur saja Denis terganggu dengan makna tersirat kata tersebut. “iya..  Kamu boleh tidur di kamar Agam karena paginya kamu tetap akan bangun di ranjang aku,” ucap Denis gemas.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD