Hate You 4

1897 Words
Di atas ranjang yang sudah tak teratur letak seprainya, terbaring seorang perempuan yang biasanya selalu tampil lengkap dengan aura intimidasinya. Namun kali ini dia seperti seseorang yang sangat kesulitan bahkan sekedar untuk bernapas. Sesekali matanya terbuka lalu dipejamkan kembali dengan paksa. Beberapa menit yang lalu saat matanya terbuka, tampak iris sendu penuh kerinduan, lalu entah apa yang memaksanya kemudian matanya kembali terpejam dan selang beberapa menit matanya kembali terbuka. Namun yang di tampilkan adalah tatapan tajam dari iris yang sama. Selalu begitu, sendu lalu tajam lalu sendu. “.. Hhh.. Silahkan!” ucap Nia susah payah menahan agar matanya tidak kembali terpejam.  “Ssh- silahkan dan dalam-” tampaknya sangat sulit hanya untuk bicara sambil bernapas padahal dia hanya berbaring di ranjang. “Tiga hari kau akan memiliki suami! Itu bagus ‘kan? Kau tidak butuh aku lagi untuk melupakan orang itu.” Seolah mendapatkan tenaganya kembali, Nia duduk dan menghirup oksigen sebanyak yang ia bisa. Wajah dan leher basah oleh keringat, rambutnya acak-acakan serta matanya tampak memerah. Gadis bangsawan itu meraih gelas yang berisi air di meja nakas lalu menandaskannya. Nia memijit dahinya dan berusaha menormalkan detak jantungnya. Baru setelah gadis itu merasa tenang, dia berjalan menuju kamar mandi. Ia merasa gerah luar biasa padahal sekarang sedang hujan deras. Padahal baru beberapa jam yang lalu ia berendam tapi sekarang mandi lagi. Tidakkah Nia terlihat seperti pria yang tidak tersalurkan hasratnya sehingga memilih mandi? Ya kalau orang lain mengetahui ini pasti mereka berpikir demikian. Tidak tau pada siapa, Nia hanya ingin menegaskan bahwa dirinya memutuskan untuk mandi dini hari begini bukan karena hal itu. Setelah selesai mandi Nia keluar dari kamar. Ia baru ingat bahwa seharian ini dirinya sama sekali belum makan. Langkahnya terhenti melihat Azka yang tidur di sofa di ruang tamu di dalam biliknya. Si kakak sepupu kembali ke kamar lalu kembali dengan sebuah selimut. Adik tengilnya itu pasti kesal padanya. Meskipun Azka menyebalkan, dia tetaplah orang paling Nia sukai di dunia ini. Karena apa? Karena bocah ini cenderung memiliki tingkah yang hampir sama dengan dirinya. Kalau tidak ingat ia hadir untuk membantu Aini, mungkin Nia akan menikmati hidup seperti yang Azka lakukan selama ini. Tapi, dimana Diah? Kenapa dia membiarkan Sultan Azka-nya tiduran di sofa? Azka merasakan sesuatu yang cukup berat di atas tubuhnya. Benda yang berat itu terasa begitu lembut dan menguarkan wangi yang terasa familiar bagi indra penciumannya. Meskipun kedua matanya terasa lengket, tapi tampak bahwa bola matanya bergerak-gerak gelisah. Dalam keadaan masih tertidur kemudian Azka segera merasa was-was. Jangan-jangan kucing dayang kakaknya menjadikan Azka si Sultan idola semua orang sebagai alas tidur. Matanya terbuka dan menemukan Kakaknya menatap dirinya dalam diam. Nia yang awalnya berdiri dengan melipat kedua tangan di d**a sambil memperhatikan wajah tidur Azka langsung berbalik dan menjauh. “Aku jengkel,” ucap Azka mengutarakan isi hatinya. Mulutnya sengaja dibuat mencibir. Nah, lihatlah Azka Lazuardy Jebat yang lebih pro dari Aini. Kalau Aini hanya memiliki Nia, Azka mungkin memiliki beberapa orang. Bagaimana tidak? Dengan Nia dia berubah menjadi manja sekali, dengan Gilang gaynya sok paham, dengan Ramdan, Mamak, Datuk dan yang lainnya juga lain lagi. Jika saja tadi Aini tidak berontak keluar, Nia pasti akan meladeni sepupu kecil mereka ini sehingga Azka tidak akan protes gara-gara diabaikan. “Bisa dimengerti, kau datang di saat yang salah.” Nia tidak terlalu peduli. Setelah mengacak rambut adiknya, Nia kembali menuju dapur. Ia butuh tehnya pagi ini. Tanpa Nia ketahui ternyata Azka mengikutinya dari belakang. Ia hampir tersiram air panas saat berbalik. Niatnya ingin menikmati the sambil duduk di meja makan. Saat itulah Nia mendapati pria yang masih berkelakuan seperti bocah itu duduk di seberang meja dengan tubuh yang ditimbun oleh selimut. Hanya wajah nya saja yang bisa dilihat. “Ada apa?” Nia yakin betul kalau Azka bukan orang yang akan duduk minum teh di pagi buta bahkan saat ayam saja belum berkokok. “Dari kemaren loh kak aku mau bicara,” ucap Azka memulai pembicaraan tentang betapa tidak inginnya dia memiliki jangankan istri, tunangan saja dia enggan. Saat dua orang sepupu itu larut dalam pembicaraan tentang bagaimana caranya agar Ramdan saja yang menikah tahun ini, Diah muncul dengan hebohnya. Bertanya apa yang sang Putri lakukan di pagi buta begini dan dengan rambut yang basah pula. Diah tidak ingin Puti kesayangannya sampai terkena flu, untuk itu ia akan mengeringkan rambut beliau. Azka menyerngitkan dahi melihat kelakuan abstrak dayang Kakaknya ini. “Heh! Kembali tidur sana!” perintah Azka pada perempuan pendek nan cerewet itu. Makanya dulu waktu kecil kita dikasih s**u formula eh dia malah minum air nasi. Kebiasaan nih orang Minang, sama bayi saja mereka berbohong. s**u kok di ganti sama air nasi, cebol ‘kan jadinya? “Tidak bisa! Memangnya siapa Sultan sampai bisa menyuruh saya? Kenapa pula saya tidur saat Puti sudah bangun?” “Seperti yang kau bilang barusan, aku Sultan-mu jadi pergi menjauh dariku!” Azka menggaruk kulit kepalanya kesal kemudian kembali berucap, “Alergi aku tu dekat-dekat sama kauuu.” Selesai dengan pengakuannya pada Diah, kini Azka beralih pada sang Kakak. Oo.. lihat senyum di wajah Kakaknya itu. Azka tau betul apa yang sedang beliau pikirkan. Sempat dayang ini tau kalau Kak Nia berpikir Azka menyukai Diah, pasti jadi besar kepala sekali dia. “Dan Kak, akan sangat menyenangkan jika dia tidak ikut kita ke Medan. Nanti aku bisa minta Datuk Medan carikan dayang baru yang lebih kompeten untuk Kakak.” “Tidak bisa!!!” sanggah Diah dengan nada yang cukup tinggi sehingga membuat Azka mempelototinya. Bahkan Puti juga terkesiap mendengar teriakannya barusan. Tidak tau datangnya dari mana, tapi Diah bisa merasakan kalau Puti-nya mulai merasa tidak senang dengan kehadiran dirinya di sini. “Benar Diah, hanya kami bertiga yang akan pergi.” ucap Nia menengahi kedua orang ini. Nia geli melihat interaksi mereka. Kalau saja persyaratan untuk seseorang sehingga bisa berkeluarga dengan mereka tidak seketat itu, Nia tentu dengan senang hati mau Diah yang menjadi adik iparnya. “Tapi kenapa, Puti?” “Karena hanya kami bertiga yang sedang diancam! Kau mau dikasih suami juga ya?” teriak Azka. Diah ingin sekali mengata-ngatai Azka, Sultan kecil ini selalu berhasil melobi Puti Aini. Namun gelengan pelan majikannya membuat Diah mengurungkan niatnya, ia memilih undur diri dan melakukan kegiatan yang berguna seperti menyiapkan keperluan Puti Aini selama di Medan nantinya. Tapi sebelum itu ia kembali menawarkan untuk mengeringkan rambut sang Putri. Sayangnya kembali di tolak. “Memangnya kenapa kalau Diah juga dicarikan suami? Kau yang tak rela, begitu?” “Apalah kakak ini, aku be aja tuh! Mau tunggang-langang pun dayang Kakak itu aku tak peduli.” ucap Azka gelagapan. Cibiran Nia menjadi lebih bermakna melihat kegupan Sultan kecil mereka ini yang hobinya mencari perkara sana sini. “Aku mau makan, kau mau makan apa?” tanya Nia sambil mendekati kompor listrik di belakangnya. “Telur dadar pake kecap,” jawab Azka dengan cengirannya.  Ia senang sekali kalau Kakaknya sudah menanyai apa yang dia mau. Karena tidak ada yang mengerti selera lidahnya lebih baik dibanding sang Kakak. “Kakak yakin Dayang Kakak ga bakal mengamuk liat Tuan Putrinya masak?” “Dia bukan Tayang Kakak, dia itu Tayang kamu.” “Mulai lagi ‘kan..” cibir Azka dengan wajah datarnya. Keadaan kemudian menjadi sunyi. Hanya ada bunyi yang dihasilkan oleh Nia yang menggoreng telur dadar. Tidak butuh waktu lama karena yang diminta Azka bukan lah rendang, Nia kemudian memindahkan telur dadar itu ke dalam piring dan menyodorkannya pada Azka. “Aku suka Kakak yang begini,” aku Azka sambil membebaskan diri dari selimut,  selanjutnya ia mengambil piring dan nasi untuk dirinya sendiri. Sempat mengutuk sang Kakak beberapa jam yang lalu, sekarang ia justru menunjukkan betapa ia menyayangi sang Kakak. “Bohong.” “Serius, Kak. Aku suka kalau Kakak sudah perhatian padaku seperti ini.” “Kalau begitu janji satu hal!  Kalau nanti aku kembali menjadi orang yang dulu..  Katakan padaku bahwa kau tidak suka aku yang itu, katakan kau ingin kak Nia kembali.” “Kedengarannya bodoh sekali,  tapi aku janji.  Dengan syarat Kakak jangan kambuh kurang ajarnya.” “Kau pikir kau ga kurang ajar?” “Aku kurang ajar tapi mereka masih maklum, katanya Sultan Azka masih belum belajar banyak. Kalau Kakak?” >>>  Om Fateh meninggalkannya. Om Fateh meninggalkannya ketika Ammar sedang sibuk belajar. Ammar menjadi kesal bukan main karena harusnya Om Fateh mengajaknya juga. Ammar ‘kan juga kangen sama Om Gilang. Sejak sekolah ia tidak bisa sering-sering mengunjungi Om-nya yang satu itu lagi. Ammar ke Padang pasti Om Gilang sibuk dan giliran Om Gilang yang ke mari, Ammar pasti sekolah. Selalu seperti itu. Memang sebetulnya Om Gilang bukan yang terbaik dari empat Om-nya. Om Gilang sering berkata-k********r, tidak peduli bahwa Ammar bisa mendengar semuanya. Beliau juga mudah saja menjitak Ammar. Meski begitu, Om Gilang lah yang tidak pernah menganggapnya anak kecil. Om Gilang kadang memerlukan Ammar untuk membahas pacarnya, sebaliknya Ammar juga membahas masalah adik bersama Om Gilang. Kalau saja dulu Om Gilang tidak menyarankannya untuk meminta adik yang hidup, mungkin sampai saat ini Abi tidak akan ada di tengah-tengah keluarga mereka, bukan? “Udah dong, Bang, nanti Om Gilang pasti datang ke Abang,” ucap Abi dengan wajah menahan tawa. Ingin mengatakan kalau wajah Abang jadi j*lek tapi ia takut Abang merajuk. Walau bagaimanapun Abi paling senang diajak main oleh Abangnya. “Pa, kenapa adik aku engga cewek? Dulu ‘kan aku mintanya cewek,” ucap Ammar,  sementara itu Abizard yang mendengar pertanyaan abangnya segera berlari mencari Mama untuk mengadukan si Abang. Ammar yang melihat itu sudah bisa menebak kalau Abi kembali mengadu. Benar saja, tak lama kemudian Mama datang dengan Adiknya yang mengejek Ammar tanpa suara. Abi berjalan di belakang Mama sambil terus memeletkan lidahnya pada Ammar. “Ammar.. Adek sedih kalo Abangnya ngomong begitu.” Ini lah yang selalu Fay lakukan setiap hari. Membuat kedua anak laki-lakinya akur. “Wajah begitu,” Ammar menunjuk wajah adiknya,  “Yang Mama bilang sedih? Kalo sedihnya begitu senangnya kaya apa ya, Ma? Mungkin mulutnya koyak ya?” “Danis!” ucap Denis agar anaknya menjaga cara bicaranya. “Daffa, Pa! Harusnya yang Papa tegur itu Daffa!” Ammar kesal saat mendengar papanya memanggil dengan nama Danis dan kenapa hanya namanya saja yang selalu disebut sang papa saat marah? Konyol sekali dunia ini. Adek yang salah tapi tetap yang dimarahi adalah Abang. Konyol sekaligus kejam untuk para abang seperti Ammar. Kalau tau jadi Adek lebih asik, Ammar akan memilih untuk menjadi Adek saja. Ammar lalu mengemasi bukunya dan meninggalkan begitu saja Papa, Mama dan Abi setelah melarang keras sang Adik masuk ke kamarnya. Denis hanya bisa bersabar melihat kelakuan anaknya.  Si sulung terlalu serius sedangkan si bungsu selalu mengajak Abangnya bercanda.  “Aku mau tinggal di rumah Nada saja,” ucap Ammar di tengah tangga dengan senyum liciknya. Meskipun begitu Ammar sangat paham untuk tidak menunjukkan seringainya pada semua orang terlebih Abi. Ammar pandai sekali kalau soal membalas seperti ini. Dia belajar banyak dari Tante Vio, Om Fateh, dan terutama Agam. Seperti dugaan, seketika terdengar tangisan Abi. Adiknya Ammar itu tidak suka kalau Abangnya punya adik lain selain dirinya. Apalagi Nada. Dia semakin benci pada anaknya ibu Restu gara-gara nada itu cewek dan Ammar suka adik cewek. “Sudah sudah! Kalau sampai Abang atau Adek memancing kehebohan lagi,  kalian Papa pindahkan kamarnya ke paviliun” ancam Denis. Denis pikir mungkin ia akan menggunakan jurus ampuh Kakek yang selalu menggiringnya ke paviliun tiap kali membuat masalah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD