CLG | CHAPTER 9

1061 Words
Di meja bundar, Iris duduk dengan Richard dan Gavin di sebelah kanan dan kirinya. Sedangkan Vincent duduk di depannya. “Vincent, perkenalkan ini Gavin, suami Iris. Dan Gavin, ini Vincent CEO baru di perusahaanku." Richard berkata setelah mereka duduk. “Kami sudah berkenalan sebelumnya, Pak Richard.” Vincent berujar. “Bagus, sangat bagus... nah, kalian pasti tahu apa yang ingin aku katakan saat ini, bukan?” Richard berkata setelah pelayan meletakkan makan siang mereka. Vincent mengangguk. Gavin hanya diam. Dan Iris lanjut makan. “Masalah proyek yang akan dilaksanakan tahun depan di kantor cabang Singapura, Gavin tetap memegang proyek tersebut. Sedangkan untuk menjadi kepala cabangnya saya serahkan kepada Vincent. Bagaimana Vincent? Dan untuk posisi CEO di kantor pusat, saya akan mengambil dari karyawan yang berprestasi.” Vincent mengambil gelasnya dan meminum beberapa teguk. Kemudian menatap Richard dengan tenang dan serius. “Sebenarnya saya memiliki seseorang yang handal. Kebetulan dia adalah teman saya lulusan dari universitas Singapura. Dan sekarang dia tinggal di sana. Dia bisa menangani kantor cabang kita. Pak Richard bisa melihat kinerjanya setelah beberapa bulan menjabat.” Richard terlihat berfikir sebelum mengangguk dan menghela nafas dalam. Ia menatap masing-masing dari mereka dan tersenyum. “Kalau begitu, tidak ada masalah lagi kan?” Semuanya mengangguk pelan. “Lalu, kalian masih bertengkar, Gavin, Iris?” Richard menatap Gavin dan Iris bergantian. Dengan segera Iris menggelengkan kepalanya. Baru saja ia membuka mulut hendak bersuara, Gavin sudah dulu berbicara. “Kami sudah berbaikan saat menuju kemari. Benar kan, sayang?” Gavin memberikan usapan lembut di lengan Iris membuat wanita itu merinding seolah baru saja disentuh makhluk halus. Iris menghindari usapan tersebut segera lalu menunduk seolah malu-malu. “Ada orang lain di depan kita.” Richard tertawa. “Aku berharap cucuku datang segera.” Gerakan tangan Iris memotong beefsteak tiba-tiba berhenti. Dan Gavin yang tidak pernah melepaskan pandangannya pada Iris, menjawab Richard, “Aku akan berusaha lebih giat.” Richard kembali tertawa, namun kali ini tawa bahagia. Sedangkan Iris, ia tidak menanggapi pembicaraan tersebut. Ia hanya minum seraya mengutuk perkataan Gavin barusan. Dan Vincent, dari awal pria itu sudah melihat gerak-gerik aneh Iris. Vincent meminum minumannya lalu membahas pekerjaan kembali. “Tentang lokasi baru, saya mendapatkan informasi jika lokasi itu akan menjadi gudang baru untuk produk yang kita jual. Apakah benar, Pak Richard?” Richard menghabiskan makanan di mulutnya sebelum menjawab. “Awalnya memang itu rencananya. Tapi mengingat kembali jika gudang lama masih bisa dipakai, aku membiarkannya tetap menjadi bangunan kosong dulu.” Ini waktunya... Iris membenamkan kalimat itu terus menerus. Kemudian menyela pembicaraan mereka. “Pi, masih ingat keinginan Iris dulu?” Richard terlihat berpikir keras. Sedangkan Gavin dan Vincent menatapnya ingin tahu. Setelah memakan waktu cukup lama, akhirnya Richard menghembuskan nafas pelan. “Baiklah... Papi ingin mendengarnya.” Iris duduk tegap dan menjelaskan rencananya dengan menggebu-gebu. “Bagaimana jika kita membuka usaha yang memproduksi suatu barang? Lokasi itu bisa dijadikan pabrik. Iris pikir kita bisa memulainya dengan produk kecantikan. Begini, Pi... Iris sudah melakukan berbagai riset kecil-kecilan selama setahun. Dan hasilnya bisa kita produksi untuk diuji dulu sebelum di pasarkan.” “Itu ide yang bagus. Memproduksi suatu barang kesukaan dan memasarkannya juga.” Vincent memujinya tulus. “Sepertinya Bu Iris sangat berbakat.” Richard mengangguk setuju. “Boleh juga.” “Pak Richard, kenapa tidak membiarkan Bu Iris yang menanganinya? Kalau perlu biarkan Bu Iris membuka usaha atas namanya sendiri. Bukan nama perusahaan. Saya yakin Bu Iris mampu mendirikan usaha manufaktur produk kecantikan tersebut.” Mendengar itu membuat Iris berbinar. Sekarang ia bisa merasakan jika tatapannya seolah memuja Vincent seolah Vincent adalah kerang ajaib. Ia tidak peduli. Yang terpenting bahwa Vincent menyarankannya membuka usaha kecil-kecilannya sungguh membuat Iris senang. “Saya juga bisa mengajaknya melihat-lihat lokasinya. Bagaimana Pak Richard?” Vincent kembali berkata. Richard mendengarkan dengan serius. Ia melirik putrinya yang memelas dengan bahagia membuat ia akhirnya setuju. “Baiklah.” Mendengar satu kata yang membahagiakan dari ayahnya menyebabkan Iris menghembuskan nafas lega, ototnya mulai mengendur dan sangat senang. Senyum lebarnya tidak bisa ia tutupi. Jika saja dia sedang berada di dalam kamarnya sendirian, dia pasti berjingkrak-jingkrak dan berteriak kegirangan. Namun sebuah suara dari Gavin membuat kesenangan Iris memudar dengan cepat. “Iris tidak akan mengambilnya.” Vincent dan Richard menoleh ke sumber suara. Begitupun Iris. Dia menatap Gavin cukup cepat. “Pak Gavin, kami sedang membahas tentang bisnis Adinata bukan Mikhail.” Vincent berkata tenang dan tersenyum. Tapi Gavin tahu dibalik ucapan tersebut. Apa pria itu berpikir jika Gavin tidak memiliki hak suara dalam pekerjaan istrinya? Gavin menyeringai. “Kalau begitu istriku akan berhenti bekerja.” “Gavin!” teriak Iris. Pria di sebelahnya sudah diluar batas! “Kita harus mempersiapkan program hamil untukmu. Aku tidak ingin kamu kelelahan dan membuatmu sakit.” “Aku bisa melahirkan anak selagi bekerja, Gavin!” karena cukup kesal Iris bahkan tidak sadar apa yang ia ucapkan. Program hamil katanya? Mungkin maksudnya bersama Tiffany. Iris mendengus dalam hati. “Benarkah?” tanya Gavin seraya mengangkat sebelah alisnya. Iris yang baru sadar menjadi gelagapan. Ia berdeham lalu meminum minumanya. Memikirkan kembali, mereka tidak akan pernah tidur bersama membuat Iris mengangguk asal. “Ya.” Gavin pasti menikmati waktunya bersama Tiffany, maka dari itu Iris sedikit mengendurkan ototnya yang tegang. Dan Gavin hanya melirik Iris dengan tatapan rumit. Satu jam kemudian semuanya selesai makan siang. Mereka beranjak dari kursi kemudian menuju ke parkiran. Sepanjang perjalanan Iris hanya diam, begitupun Gavin. Sesekali Vincent akan mengajak Iris berbicara dan Iris menjawab dengan sopan. “Jam istirahat sudah selesai dan kamu harus kembali ke kantor ‘kan?” tanya Gavin tiba-tiba. Iris mengangguk dengan gembira. Bukankah itu artinya pria ini tidak akan repot-repot mengantarnya ke kantor. “Kalau begitu berikan ponselmu. Biar aku yang membawa ponselmu untuk diperbaiki.” Kedua kelopak mata Iris membulat seketika. Kenapa Gavin masih mengingat tentang ponselnya? Iris menelan salivanya lalu menjawab dengan tenang. “Aku sudah menitipkan ponselku kepada Maya.” Gavin mengangguk tepat saat mereka telah sampai di parkiran. Gavin menghadap Iris. Saat ingin menunduk hendak mencium dahi Iris, refleks wanita itu mundur. Gavin menatapnya dalam diam membuat Iris tergagap, “Ba-banyak orang melihat kita.” Gavin tersenyum. Ia hanya bisa mengusap puncak kepala Iris. “Kalau begitu aku pergi duluan.” Iris melirik Gavin hati-hati. Ia menilai ekspresi Gavin yang terlihat biasa-biasa saja. Tidak ada jejak curiga membuatnya menghembuskan nafas lega. Gavin masuk ke mobilnya sendiri. Sedangkan Iris ikut bersama Richard dan Vincent.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD