Dalam perjalanan pulang kerja, Iris mampir sebentar untuk mengambil ponselnya. Iris menggunakan taksi saat pulang. Sebelumnya ia sudah menyuruh sopir pribadinya untuk tidak menjemput dia. Iris menyalakan ponsel tersebut dan langsung menghubungi nomor yang sering menghantuinya belakangan ini. Namun orang itu tidak mengangkat panggilannya. Iris mencoba sekali lagi dan hasilnya tetap sama.
“Sepertinya dia sibuk.” Iris bergumam. Iris memanggil sopir di depannya dan mengatakan sebuah nama kedai. Dia butuh sendirian untuk menghilangkan kesedihannya.
Iris memesan dimsum dengan rasa kesukaannya. Ketika pesanannya tiba, dia mengucapkan terima kasih dengan pelan kemudian memegang sumpitnya. Baru saja ia membuka mulutnya untuk memasukkan satu bongkahan besar dimsum, seseorang duduk di depannya tanpa permisi.
Merasa mengganggu privasinya, Iris mendongak. Melihat wajah Vincent di hadapannya membuat ia terkejut. Iris segera berdiri dan menunduk dengan sopan. “Pak Vincent.”
Vincent segera menyuruh Iris duduk kembali. “Kamu sering kemari?”
Iris menggeleng. “Saya hanya mampir kebetulan.”
“Sungguh kebetulan... saya juga mampir kemari karena kebetulan.” Vincent menyeringai. "Bagaimana? Apakah rasanya enak?"
Iris tersenyum. “Tidak buruk, Pak.”
“Kamu masih terlalu formal denganku.” Vincent berkata pelan. “Bukankah sudah aku bilang untuk tidak berbicara formal jika berdua saja denganku? Anggap saja aku temanmu.”
Iris butuh waktu untuk memikirkannya sebelum mengangguk tidak yakin. Tepat ketika itu seorang pelayan datang dengan membawa pesanan Vincent.
“Tidak apa-apa ‘kan jika aku makan di mejamu?”
“Silahkan, Pak—” melihat mata Vincent yang seolah mengingatkannya tentang bicara santai, Iris segera mengoreksi panggilannya, “Vincent.”
Mereka makan bersama sambil mengobrol ringan. Iris bahkan tertawa ketika Vincent menceritakan hal bodoh yang membuat pria itu menderita dan malu. Hingga Iris tersadar jika ini sudah malam dan ia harus pulang sekarang.
Iris dan Vincent keluar dari kedai bersamaan. Setelah saling mengucapkan sampai bertemu di tempat kerja, mereka pergi ke jalan mereka masing-masing.
***
Waktu sudah menunjukkan pukul 9 malam saat Iris memasuki kamar gelapnya.
Di saat ia menghidupkan lampu kamar, ia langsung melompat di tempat saking terkejutnya melihat wujud Gavin tengah duduk di pinggir ranjang. Pria itu seolah sedang menunggu kedatangan Iris dengan tangan disilangkan di depan dadanya.
“Bukankah cukup larut untuk pulang kerja?”
“Aku pergi bersama Maya dan yang lain setelah mengambil ponsel.”
“Hingga lupa menghubungiku?”
Apakah perlu? Tanya Iris dalam hati. Pesan-pesan Iris sebelum dia tahu kebusukan suaminya saja tidak pernah dibalas. Pria itu akan balas jika tidak sibuk. Bisa beberapa jam bahkan berhari-hari baru akan dibalas.
“Aku lupa. Lain kali aku akan mengingatnya.”
Gavin cukup lama terdiam seraya melirik Iris yang masih berdiri. Pria itu terlihat seperti sedang menahan emosi. Gavin memejamkan matanya sekilas lalu kembali membaca buku di pangkuannya. “... Pergilah mandi.”
Iris mengangguk. Ia meletakkan tasnya di meja rias, mengambil pakaian tidur yang tertutup lalu menuju kamar mandi.
30 menit kemudian Iris keluar seraya mengeringkan rambutnya dengan handuk kecil. Melihat Gavin masih di tempat tidur sedang membaca buku membuat Iris mengerutkan dahinya halus.
“Kamu tidak ke ruang kerja?”
Tanpa mengalihkan tatapannya dari buku, Gavin balik bertanya, “Apa aku tidak boleh istirahat hanya untuk malam ini?”
Tentu saja tidak! Mana mungkin Iris mau tidur dengannya sepanjang malam! “Ya, kamu pasti lelah setiap malam masih memiliki pekerjaan. Selamat tidur, Gavin.”
Gavin melirik senyuman Iris yang natural sebelum menutup buku bacaannya.
Iris melihat gerak-gerik Gavin yang sedang membuka kancing baju tidurnya dan bertelanjang d**a, membuat Iris bersiaga.
“A—Apa yang kau lakukan?”
Bukannya menjawab, Gavin malah berdiri lalu mendekati Iris yang masih mematung di tempatnya.
Gavin sudah berdiri di depan Iris. Ia mengusap lembut rahang tirus Iris lalu turun ke leher membuat Iris menggigil. Wanita itu masih syok.
“Bukankah kamu sudah berjanji memberiku anak?” bisik Gavin di telinga Iris, menambah sensasi aneh yang Iris rasakan.
Jangan...
Iris bisa merasakan nafas panas pria itu di telinganya. Ia juga bisa mencium aroma antiseptik walau samar. Dalam jarak yang sangat dekat, mata mereka bertubruk.
Jangan!
Sentuhan panasnya di leher Iris dan napas panasnya membuat Iris mabuk dan pikirannya mendadak kosong. Sesuatu di lubuk hatinya yang paling dalam menyuruhnya untuk mundur namun yang terjadi ialah dia, Iris Rianna Mikhail, membiarkan Gavin mencium bibirnya.
Ciuman itu sangat lembut, tidak menuntut. Tapi sangat menggoda. Dengan lidahnya, Gavin membuka bibir Iris dan mengajak lidah Iris bermain bersamanya. Gavin membuka mata redupnya dan melihat bagaimana Iris menikmati permainan ciumannya seraya memejamkan mata. Ia bisa merasakan jemari halus beristirahat di dadanya yang bidang. Otomatis Gavin menggeram. Dia menginginkan lebih!
Dalam setengah sadar, Iris masih memiliki akal sehat saat mendengar suara mengerikan itu. Ia hendak mendorong tubuh Gavin, namun yang terjadi Gavin memeluk tubuh Iris dengan erat. Membuat Iris terkesiap.
Beberapa menit kemudian Gavin menghentikan ciumannya sejenak, membiarkan Iris bernapas. Namun Gavin tetap meneruskan aksinya dengan mencium setiap inci wajah Iris; dari kelopak mata, pelipis, pipi, sudut bibir, dan ujung hidung kecilnya. Lalu kembali melumat bibir yang sudah seperti candu baginya dengan menggebu-gebu. Iris sangat kewalahan menyeimbangi permainan Gavin maka pria itu kembali memperlambat tempo ciuman mereka. Membiarkan Iris terbiasa.
Gavin membaringkan mereka berdua di ranjang besar mereka tanpa melepaskan ciumannya. Ketika tangan kasar Gavin hendak masuk ke dalam celananya, saat itu pula Iris tersadar dengan alarm mengerikan di kepalanya.
“JANGAN!” Entah kekuatan dari mana ia bisa mendorong Gavin ke samping ranjang.
Iris terlihat memerah, terengah-engah, dan berantakan. Tidak beda jauh dengan Gavin. Gavin menatapnya dalam. “Ada apa?”
Iris bisa melihat kabut gairah di mata Gavin.
“Aku—” Iris beranjak dari tempat tidur kemudian mundur memberi jarak di antara mereka. “Aku sedang haid.”
Cukup lama Gavin menatapnya dalam diam mempelajari wajah serius Iris. Akhirnya ia memejamkan mata dan menghela nafas dalam. “Tidurlah lebih awal.”
Gavin berjalan menuju kamar mandi meninggalkan Iris yang diam-diam menghembuskan nafas lega. Ia hampir saja tertawa saat kembali mengingat reaksinya yang cepat. Sebenarnya Iris berbohong. Menstruasinya sudah selesai sebelum pesta pernikahan mereka.
Namun beberapa saat berikutnya senyumnya menghilang. Tidak mungkin kan mulai sekarang mereka tidur di ranjang yang sama? memikirkan pertanyaan di benaknya membuat Iris menjadi gelisah.
Beberapa menit kemudian, Gavin keluar dari kamar mandi dengan baju tidur baru. Ia melihat Iris yang sudah tidur duluan membelakanginya. Ia pun naik ke ranjang dan menyusul istrinya ke alam mimpi.
Seumurnya hidupnya, baru kali ini Iris berbaring tanpa menimbulkan gerakan kecil dengan baik. Ia menoleh ke belakang di mana Gavin sudah terlelap sangat damai. Merasa aman, dengan pelan ia bangkit dan berjinjit keluar dari kamar mereka. Tidak lupa Iris menutup pintunya sangat pelan.
Sepeninggalan Iris, Gavin dengan mata terpejam diam-diam menarik ujung bibirnya ke atas.