CLG | CHAPTER 16

1291 Words
“Iris pasti sudah mengatakannya kepadamu ‘kan jika Gavin kembali sakit perut?” tanya Regina. Tiffany mengangguk singkat. “Apakah dia masih sakit?” Jeffery, suaminya ikut bertanya. Regina mengangguk lalu menghela nafas dalam. “Padahal sudah lama Gavin tidak mengalaminya, tapi tadi malam sakit perutnya kembali datang. Saat aku pergi ke kamar mereka untuk melihat kondisi Gavin, Iris terlihat sangat khawatir.” “Matanya merah saat itu.” Rosalina menambahkan membuat Regina mengangguk membenarkan. “Dia pasti menangis.” “Suaminya sedang sakit tentu saja dia menangis—” ‘Brakk!’ Jeffery, Regina, dan. Rosalina refleks terkejut. Mereka bertiga menatap Tiffany yang telah berdiri. “Ada ap, Nak? Kau baik-baik saja?” Regina bertanya pada Tiffany dengan khawatir. Merasakan tatapan seluruh keluarganya, Tiffany segera memberikan senyum kecil. “Tiffany akan berangkat kerja sekarang.” “Hm.” Rosalina bergumam tidak yakin. Setelah Tiffany pergi, Regina bertanya kepada suaminya. “Sedari tadi wajah Tiffany terlihat tidak baik. Apakah ada yang salah dengannya?” Bukan hanya Regina yang khawatir tentang satu-satunya putrinya, Rosalina juga ikut khawatir. Jeffery segera menenangkan kedua wanita yang ia cintai, “Suasana hatinya sedang buruk karena tuntutan pekerjaan mungkin. Jangan terlalu mengkhawatirkannya.” “Bukankah sudah kubilang jangan memberikannya pekerjaan yang terlalu berat?” Regina menatapnya tajam membuat Jeffery membela dirinya dengan tenang. “Aku sudah menyuruh Gavin mempekerjakan satu asisten lagi untuknya. Tapi Tiffany berkata jika dia sanggup dengan jabatannya.” Tidak bisa membalas lagi, Regina hanya mendengus dan kembali melanjutkan makannya yang tertunda. *** Iris melihat mangkuk bubur Gavin yang sudah habis dengan puas. Ia meletakkan mangkuk tersebut ke atas nampan, memegangnya dan berniat untuk turun ke bawah. “Aku akan mengambil beberapa buah untukmu.” Ketika berdiri, tangannya ditahan oleh Gavin. Tidak terlalu erat namun cukup membuat Iris berhenti dengan sengatan listrik kecil menjalan di tubuhnya. Iris dengan cepat menoleh menatap Gavin. “Apa kau membutuhkan sesuatu yang lain, Gavin?” tanya Iris. Sebagai jawabannya, Gavin mengambil alih nampan tadi dengan tangan yang bebas dan meletakkanya di atas nakas kemudian segera menarik Iris ke dalam pelukannya membuat wanita itu terkejut. Walaupun Gavin dalam keadaan lemah. Pria itu memeluk Iris dengan erat membuat Iris tidak bisa keluar dari pelukannya. Iris mencoba berkali-kali melepaskan dekapan Gavin, namun yang terjadi adalah Gavin semakin mengeratkan pelukannya. Iris mendongak dan melihat wajah pucat Gavin dengan mata tertutup. “Gavin—” “Cukup temani aku seperti ini.” Gavin berbisik. “Jangan bergerak.” Dengan kaku Iris mematung tidak bergerak. Akan tetapi semakin lama badannya mulai terasa pegal. Gavin yang bisa merasakan tegangnya tubuh Iris membuatnya tersenyum. Ia mengusap punggung istrinya yang menjadi semakin tegang namun lama kelamaan mulai santai. “Ya, begitu... Rilekskan tubuhmu, Iris.” Entah sudah berapa lama mereka seperti itu. Yang jelas Iris baru tersadar jika tubuhnya tengah membebani Gavin. Dengan kekuatan rohnya, Iris berhasil melepaskan pelukan Gavin yang kaget. Iris berdeham. mengalihkan tatapannya ke sembarang arah, ia berkata dengan suara kecil, “Aku... Aku berat.” Ketika mendengar kekehan yang berasal dari Gavin, Iris segera menatapnya dengan tajam. Wajahnya sedikit memerah. Melihat senyum lemah Gavin di wajah pucatnya membuatnya kembali merasakan perasaan bersalah. Gavin bisa merasakan suasana hati Iris tidak bagus. Jadi, ia bertanya dengan lembut, “Ada apa?” “Tidak seharusnya kau memakannya jika tahu tidak bisa memakan makanan yang pedas.” Iris menunduk memainkan ujung pakaiannya, terlihat bersalah. Gavin butuh waktu lama untuk menjawab setelah tersadar jika apa yang sedang Iris bicarakan adalah tentang tadi malam. “Kamu yang mengisi piringku mana mungkin aku tidak memakannya.” Iris semakin merasa bersalah hingga ke dasar-dasarnya. “Jika aku memberimu racun apakah kau akan memakannya?! Jangan terlalu naif, Gavin!” “Aku tidak akan memakannya kalau itu racun.” Gavin tertawa pelan. “Jika aku mati, kamu akan menjadi janda dan hidup sendirian.” Iris menatapnya marah. Dia ingin meneriaki Gavin namun berhenti memikirkan sakitnya Gavin. Iris membasahi bibirnya. Setelah itu ia mengaku dengan pelan. “Aku minta maaf. Candaanku terlalu kelewatan batas saat di rumah Papi. Aku benar-benar menyesal.” Ketika Iris mendongak, ia mendapati wajah bahagia Gavin atas perasaan bersalahnya membuat Iris menyesal telah meminta maaf. Untuk melampiaskan rasa penyesalannya, Iris menatap Gavin dengan kesal. “Tapi, ini semua salahmu di awal. Tidak seharusnya kau berbohong tentang menyukai semua makanan yang aku suka!” Gavin mengangguk, tidak mengelak. “Ya, aku salah. Aku minta maaf juga. Sebenarnya, yang aku maksud adalah makanan manis kesukaanmu. Aku tidak tahu jika makanan pedas termasuk makanan kesukaanmu juga. Atau jangan-jangan kamu menyukai semua jenis makanan. Pantas saja aku merasa terlalu berat ketika memelukmu.” “Gavin!” Iris mencubit pinggang Gavin membuat pria itu mengaduh kesakitan. Setelah Iris melepaskannya, ia kemudian tertawa membuat Iris memukulnya bertubi-tubi. “Aku bercanda. Kamu tidak berat. Aku bisa bersumpah jika kamu tidak percaya.” Akhirnya Iris berhenti. Namun, wajahnya masih terlihat kesal. Gavin menghela nafas kemudian kembali memeluk Iris. Iris pun kali ini tidak lagi menolaknya. Anggap saja pelukannya ini untuk menebus rasa bersalahnya. Masih nyaman dengan pelukannya, seseorang mengetuk pintu kamar mereka lalu membukanya tanpa menunggu pemilik kamar memerintahkannya masuk atau tidak. Gavin dan Iris refleks menoleh ke arah pintu dan melihat Mama dan Nenek Gavin yang juga sedang menatap kelakuan mereka. Di belakangnya ada seorang dokter yang sudah Iris hubungi tadi malam. “Um Mama ... Tidak mengganggu kalian, bukan?” Detik berikutnya, Iris dengan cepat melepaskan diri dari Gavin dan berdiri dengan canggung. Ia berdeham lalu menyapa ibu mertuanya dan nenek. “Mama. Nenek” Dengan senyum pengertian Rosalina berseru, “Aku sempat berpikir jika cucuku ini hanya pura-pura sakit supaya bisa berduaan dengan istrinya.” “Nenek, bukan seperti itu. Gavin memang benar-benar sakit.” Iris mencoba menjelaskan namun yang terjadi malah membuat Regina tertawa. Setelah berhenti tertawa, Regina berujar, “Kami kemari ingin membawa Bima ke kamar kalian. Sekaligus juga kami ingin melihat kondisi Gavin.” Bima, dokter muda keluarga Mikhail tersebut dengan cermat memeriksa kondisi Gavin sebelum menatap ketiga perempuan yang beda usia tengah menunggu informasi darinya dengan tidak sabar dan khawatir. “Kemungkinan yang paling cepat, Pak Gavin akan sembuh sekitar 3 hari atau bisa lebih.” “Apakah perlu dibawa ke rumah sakit?” tanya Iris cepat. Bima menggeleng. “Penyakitnya tidak terlalu parah. Ia hanya sedikit lemah. Mohon untuk perhatikan pola makannya beberapa hari ke depan. Dan ini obat yang saya rekomendasikan.” Bima menyerahkan obat kepada Iris. “Terima kasih, Dokter.” Bima mengangguk. Sebelum dia pergi, dia mohon diri dari Ibu dan Nenek Gavin. Ketika di ambang pintu, Bima melirik Gavin yang juga membalas lirikannya. Dia menggeleng sejenak kemudian pergi. Sedangkan Gavin hanya tersenyum kecil. “Iris, kamu belum pergi bekerja?” Regina bertanya ketika Iris memberikan obat untuk Gavin. “Jika kamu ingin pergi, Mama dan Nenek yang akan menjaga Gavin dulu. Kamu tidak perlu khawatir.” Iris melirik Gavin sejenak. “Iris sudah meminta izin mengambil cuti, Ma” Regina mengangguk paham. Ia berkata kepada Rosalina.“Kalau begitu, Ma, sepertinya kita tidak dibutuhkan di sini. Bagaimana jika kita pergi mencari udara segar dan meninggalkan suami istri baru ini untuk bermesraan.” Wajah Iris segera memerah. Rosalina tertawa bahagia seraya mengangguk. “Benar, benar. Ayo kita pergi. Bagaimana jika membeli pakaian bayi? Sepertinya dalam waktu dekat akan ada kabar bahagia di keluarga kita!” Wajah Iris semakin memerah. Tidak ada kabar tentang momongan. Itu yang ingin ia katakan kepada Rosalina dan Regina, namun kedua wanita itu sudah buru-buru pergi setelah menutup pintu rapat. “Sangat disayangkan aku sedang sakit.” Gavin mendesah panjang. Iris menunduk menatap Gavin yang tengah tersenyum penuh arti. “Jika aku tidak sakit, kita bisa memberikan kabar bahagia untuk Nenek dan Mama segera.” Butuh waktu lama untuk Iris memahami maksud perkataan Gavin. Iris segera mengambil bantal lalu melemparkannya ke arah Gavin.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD