“Akh!”
Mendengar teriakan pelan Gavin membuat Iris mendekat. “Kamu tidak apa-apa? Bagian mananya yang sakit?”
“Yang ini. Ini sungguh sakit.” Gavin menyentuh pipinya.
Iris segera memegang rahang Gavin. Ia bahkan hampir menangis karena sangat khawatir. “Apakah aku terlalu menyakitimu? Maafkan aku...”
“Ini sangat sakit.” Suara Gavin menjadi lemah.
“Aku akan mengompresnya.”
Gavin menggeleng. Ia menarik tubuh Iris dengan lembut. Membawa Iris berbaring di sebelahnya. “Cukup dengan menemaniku tidur. Aku mulai mengantuk.”
“... Oh baiklah.” Iris bergumam.
Iris melihat Gavin yang memejamkan matanya dengan kedua tangan memeluk Iris. Sedangkan Iris seperti tadi malam, hanya mengusap rambut Gavin dengan diselingi tepukan lembut di bahu Gavin hingga pria itu tertidur. Setelah merasa Gavin sudah tidur nyenyak karena efek obat, dengan perlahan Iris melepaskan pelukannya lalu berjalan pelan menuju pintu. Memastikan kembali bahwa Gavin masih tidur, barulah Iris menutup pintu kamar mereka.
Iris menuruni tangga, berjalan menuju dapur dan menyiapkan makan siang untuk suaminya.
***
Wanita, toilet kantor dan gosip merupakan satu kesatuan yang sulit dipisahkan. Sama seperti yang terjadi di kamar kecil wanita perusahaan Mikhail Group. Ada dua orang wanita yang sedang bergosip seraya membetulkan riasannya yang mulai hilang.
“Hei, kau sudah dengar? Katanya Pak Gavin tidak masuk kerja hari ini karena sakit.” Wanita dengan kemeja biru gelap berkata.
Wanita satunya menatapnya dengan tidak percaya dari kaca membuat temannya tertawa.
“Sudah banyak wajah sepertimu yang aku lihat hari ini.”
“Kau pasti sedang bercanda.”
Temannya menggeleng. “Aku mendengarnya langsung dari staff bagian Humas. Saat ia bertemu Tiffany, asisten Pak Gavin, ia bertanya kenapa Pak Gavin tidak pergi bersamanya, dia bilang jika Pak Gavin sedang sakit dan tidak masuk hari ini.”
“Wow... Ini pertama kalinya Pak Gavin mengambil hari libur. Itupun karena sakit. Dulu, sebelum dia menikah, Pak Gavin tidak pernah libur. Aku kira Pak Gavin itu tidak ada kata sakit dalam kamusnya.”
Wanita di sebelahnya mengangguk seraya tertawa. “Maka dari itu, berita sakitnya Pak Gavin pagi ini membuat departemenku heboh. Mereka berspekulasi bahwa Pak Gavin masih ingin bermanja-manja bersama istrinya. Yah, maklumi saja mereka masih pasangan baru, benar kan?”
Temannya berdecak seraya memasukkan peralatan make up-nya ke dalam tas. Dia mendesah. “Aku jadi iri dengan pernikahan Pak Gavin. Ngomong-ngomong, istri Pak Gavin belum pernah datang kemari, kan? Pertama dan terakhir kali aku melihat yaitu ketika pesta pernikahan mereka.”
“Ya, sama aku juga...”
Mereka kembali berbincang setelah selesai menambah riasan dan keluar dari kamar kecil wanita. Mereka keluar dengan santai seolah berbicara biasa antar teman. Namun, mereka tidak menyadari jika salah satu bilik toilet di sana pintunya masih tertutup dan di dalamnya masih ada Tiffany.
Tiffany sedari tadi hanya bisa membiarkan telinganya kepanasan mendengarkan perbincangan karyawan-karyawan Ayahnya. Setelah tidak mendengar kebisingan lagi, barulah ia keluar dengan marah. Ia bahkan membanting pintu dengan berang.
Berjalan menuju wastafel, ia mencuci tangannya secara kasar, mengambil kertas tisu untuk mengelap tangannya kemudian menatap pantulan dirinya di cermin panjang hadapannya. Matanya memerah, tubuhnya sedikit gemetar, bibirnya ada terdapat luka karena terlalu lama digigit ketika masih berada di balik toilet. Cengkraman tangannya di ubin wastafel mengencang sangat erat hingga buku-buku jarinya memutih pucat.
“Sebelum dia menikah, Pak Gavin tidak pernah libur.”
“Pak Gavin masih ingin bermanja-manja bersama istrinya.”
“... ingin bermanja-manja bersama istrinya...”
“... bersama istrinya.”
“Gavin masih ingin bermanja-manja bersama istrinya.”
‘Prangg!’
Cermin di depannya seketika retak. Tiffany bernafas cepat melihat ke bawah di mana ponselnya sudah retak karena ia melemparkannya ke cermin tersebut.
Tidak... Bukan seperti itu...
Gavin benar-benar sakit dan tidak ada hubungannya dengan bermanja-manja bersama Iris. Jika Gavin ingin bermanja-manja, tentu saja dengannya, Tiffany. Bukan orang lain!
Mereka memuncratkan informasi yang salah!
Mereka tidak tahu apa-apa...
Tiffany mengulurkan kedua tangannya untuk memegang kepalanya. Ia berjalan mondar-mandir seraya memejamkan kedua matanya. Ia mencoba mengatur nafasnya dan menenangkan emosinya. Menghirup udara dalam-dalam sebelum menghembuskannya perlahan.
Dia membutuhkan lebih dari 10 menit untuk menenangkan dirinya. Setelah merasa tenang, Tiffany merapikan rambut dan pakaiannya secepat kilat, mengambil ponselnya lalu berjalan keluar dengan tenang dan elegan seperti tidak ada yang terjadi sebelumnya.
***
Iris masuk ke kamar membawa nampan kaca. Ia melihat Gavin yang sudah bangun tengah duduk bersandar di kepala ranjang dengan MacBook di pangkuannya. Iris mendengus kesal. Di saat sakit seperti ini pria itu masih mementingkan pekerjaannya?
“Kalau sudah sembuh seharusnya pergi ke kantor.”
Gavin mendongak melirik Iris yang meletakkan makan siang dan obatnya di nakas samping tempat tidur sedikit kasar.
Iris berjalan menuju walk in closet untuk mengambil, sepatu, jas dan tasnya. Lalu melewati Gavin begitu saja menuju wastafel untuk merias diri.
Ketika wanita itu ingin pergi, Gavin segera bertanya. “Kamu mau ke mana? Aku sedang sakit, Iris.”
“Kau terlihat baik-baik saja. Jadi aku akan siap-siap ke kantor.” Iris menjawab seraya mengenakan sepatu haknya, tanpa menatap Gavin.
Gavin menghela nafas kemudian meletakkan MacBook miliknya ke samping. “Aku hanya mengecek beberapa mail. Dan sekarang sudah selesai.”
Iris tidak menanggapinya.
“Aku masih sakit.”
Iris tetap diam.
“Iris, aku tidak bisa makan sendiri. Aku masih sakit.” Gavin berkata dengan lemah membuat Iris membalikkan tubuhnya, duduk di sebelah Gavin dan mengambil piring. Ia mulai menyuapi Gavin dalam diam.
Merasakan tatapan Gavin terhadapnya, Iris berkata, “Berhentilah menatapku!”
“Aku tidak bisa.”
Refleks Iris menatap Gavin tepat di manik matanya. Dan Gavin mengunci matanya membuat Iris tidak bisa melarikan tatapannya.
“Kamu berada di depanku. Mana mungkin aku bisa mengalihkan tatapanku. Lagipula kamu istriku kenapa aku tidak boleh menatap istri cantikku?”
Iris bisa merasakan jantungnya berdegup tidak menentu. Dengan cepat ia memberikan piring yang ia pegang kepada Gavin. “M—Makan sendiri!”
Iris berdiri. Baru saja ia hendak pergi, Gavin sudah terlebih dahulu menggenggam tangannya. “Apa kamu sadar, Iris? Kamu mulai berubah...”
Membelakangi Gavin, tangan Iris yang menganggur terkepal dengan erat hingga buku-buku jarinya memutih. Wajahnya mulai menunjukkan jejak-jejak kedinginan.
“Kamu tidak menutupi sesuatu, bukan? Apakah ada yang kurang denganku? kumohon katakan padaku jika ada hal yang tidak kamu sukai dariku, Iris.”
“Gavin...” Iris menoleh menatap Gavin dengan senyum kecil. Ia mengambil piring Gavin dan nampan. “Kamu terlalu banyak berpikir. Sepertinya kamu sudah selesai makan. Jangan lupa untuk meminum obatmu.”
“Sepertinya kamu benar.” Perkataan Gavin membuat Iris yang memegang ganggang pintu terdiam. “... Aku terlalu banyak berpikir.”
“Hm...” Iris bergumam.
“Oh iya, aku ingin makan buah naga dan melon.”
“Aku akan memanggil pelayan—”
“Aku ingin kamu yang menyiapkannya untukku.”
Iris mengangguk cepat sebelum berdiri. Iris membuka pintu, keluar lalu menutup pintu kamar dan bersandar di sana. Memejamkan matanya seraya memukul kepalanya pelan. Ia sudah berusaha mempertahankan penampilannya tapi kenapa sangat susah ketika ia sudah mengetahui semuanya?! Iris pikir Gavin tidak akan melihat celahnya. Iris pikir ia sudah berakting maksimal, menjadi seorang istri yang mencintai suaminya...
Namun....
“Itu sangat sulit...” Iris berbisik pelan.
Ketika mengetahui orang yang kau cintai memiliki kekasih namun menikahi dirimu, itu sangatlah sulit untuk bertindak seolah tidak ada yang terjadi.
Apa yang harus ia lakukan?