“Gavin bilang suka makanan yang Iris suka.” Iris yang pandai bermain peran segera menunduk dengan pandangan bersalah dan kecewa. Suara Iris semakin kecil dan sedikit bergetar. “Aku suka makanan pedas. Aku tidak tahu jika kamu cuma bercanda tadi, Gavin.”
Gavin tersenyum. “Apapun yang Iris berikan, akan Gavin makan, Mi.” Gavin melirik Iris kemudian memeluk Iris. Ia bahkan meremas bahu Iris dan mengusapnya. Sangat membuat Iris tegang dan kaget. “Jangan sedih, Sayang. Aku menyukai semua yang kamu beri, sungguh. Jadi jangan menangis, kumohon oke?”
Setelah mengatakan kata-kata manis itu, Gavin kemudian mencium pelipis Iris yang masih berada dalam keadaan syok.
“Oh my .... Romantisnya .... Kalin berdua memang pasangan yang serasi.” Emiliana menggenggam tangan Richard dengan terharu.
“Kalau begitu, mari makan.” Richard berkata.
Dan mereka makan dengan suasana hangat, yah itu yang Emiliana dan Richard pikirkan. Namun tidak bagi Iris. Seperti saat sarapan di rumah besar keluarga Mikhail, Iris hanya bisa menyentuh makanannya sedikit. Jika ia makan terlalu banyak, ia akan berakhir mual seolah organ tubuhnya tidak bisa mencerna apa yang ia serap.
Makan malam selesai kemudian dengan Gavin menghabiskan makanannya hingga piringnya bersih. Tentu saja Iris cukup kaget dengan keberanian Gavin memakan makanan pedas. Iris sempat bertanya-tanya apakah Gavin memang bisa memakan makanan pedas ataukah ia memakannya karena apa yang sebelumnya ia katakan bahwa dirinya menyukai apapun yang Iris berikan? Iris menggelengkan kepalanya menghilang pemikiran terakhirnya.
Gavin dan Iris berjalan bersama dan berhenti di depan pintu utama kediaman Richard. Emiliana sudah mengajak mereka untuk menginap namun Iris menolak dengan alasan besok mereka harus kerja. Padahal, alasan utamanya adalah ia tidak mau satu kamar dengan Gavin.
***
Sepulangnya dari kediaman ayah Iris, mereka langsung memasuki kamar mereka. Iris melihat Gavin yang segera menuju kamar mandi. Tidak ambil pusing, ia pergi ke walk in closet untuk menyiapkan gaun tidurnya sendiri kemudian membersihkan wajahnya di wastafel di depan kamar mandi.
Awalnya Iris hanya mendengar suara gemericik air yang berasal dari kamar mandi. Namun semakin ia menajamkan pendengarannya, suara erangan kesakitan juga terdengar samar-samar.
Secara naluriah Iris segera membuka pintu kamar mandi dan melihat Gavin yang terbaring di lantai dingin kamar mandi, memegang perutnya masih dengan pakaian lengkap yang sudah basah. Iris mematikan shower kemudian bersimpuh di depan Gavin. Ia menyentuh wajah Gavin yang pucat itu terasa dingin membuatnya khawatir. Terdapat banyak buliran keringat dingin di pelipisnya.
“Gavin, Gavin .... Kamu mendengarkan aku? Gavin?” Iris menepuk-nepuk pelan rahang Gavin seraya memangil namanya namun orang yang dipanggil hanya menjawab dengan erangan lemah.
“Gavin, kamu bisa berdiri?”
Gavin kembali bergumam tidak jelas. Dia masih setengah sadar, berusaha untuk tetap sadar namun terlihat sangat lemah.
“Ayo, berdiri. Aku akan membantumu.” Iris membawa tangan Gavin ke pundaknya kemudian menyampirkan lengannya di pinggang Gavin. Dengan usaha mereka berdua, Gavin dan dia bisa berdiri walau butuh waktu dan tenaga. Iris membawa Gavin ke tempat tidur dan mengatur penghangat ruangan di kamar mereka.
Setelah itu ia membuka kemeja yang dipakai Gavin dengan tergesa-gesa, takut jika pria itu akan semakin kedinginan. Tangannya berhenti tepat ketika ia menyentuh pinggiran celana Gavin. Apakah... Ia harus melepaskan celana pria ini juga? Bagaimana jika ia tidak sengaja menyentuh atau melihat tempat pribadi Gavin? Bukankah Iris akan dianggap wanita yang memiliki pikiran kotor? Iris menggigit bibirnya dengan dilema dan gugup. Ia berusaha menghilangkan pemikiran anehnya. Memejamkan mata dan bernafas, ia segera melepaskan celana Gavin walau harus gemetar.
Iris pikir, itu merupakan satu-satunya caranya untuk tidak melakukan kontak dengan tempat terlarang milik Gavin. Tetapi, dengan mata tertutup, ia tidak sengaja menyentuhnya. Seketika Iris berhenti bergerak dengan wajah merah gelap seperti tomat busuk. Itu... Kenapa ukurannya...
“Itu besar,” bisik Iris dengan gugup.
Kembali suara gumaman Gavin menyadarkan Iris. Iris segera membuka matanya dan dengan wajah masih bersemu merah, ia mencoba bersikap profesional ketika melucuti celana panjang Gavin yang basah.
Iris mengambil selimut terlebih dahulu untuk menutupi tubuh Gavin kemudian lanjut melepaskan boxer yang dikenakan Gavin. Setelah itu ia berlari menuju walk in closet untuk mencari pakaian yang tebal. Kembali dengan berlari lagi lalu mengenakan pakaian untuk Gavin dengan susah payah.
“Gavin, kau masih sadar? Apa kau mendengarkanku?”
“Hm...” Gavin mengerang pelan membuat Iris meringis.
“Di mana obatmu, Gavin?” tanya Iris seraya membuka nakas samping tempat tidur. Namun tidak mendapati apa yang ia cari. Iris kembali bertanya dengan lembut di sebelah Gavin. “Gavin? Obatmu ada di mana?”
“Ru...ang ker...ja...”
Iris segera mencari kunci ruang kerja Gavin di celana basahnya namun tidak ada. Ia baru saja ingat sesampainya mereka di kamar, Gavin langsung memasuki kamar mandi. Meletakkan celana basahnya di lantai, Iris berlari ke kamar mandi dan melihat kunci mobil, ponsel, dompet, dan kunci yang Iris yakini kunci ruang kerja Gavin. Iris menyambarnya dan segera pergi ke ruang kerja Gavin.
Di depan pintu, Minah melihat kelakuan Iris yang terlihat khawatir dan ingin menangis. “Nona Iris?”
Iris menoleh. Ia memberikan perintah untuk Minah, “Tolong bawakan air putih ke kamarku.”
Merasa ada yang salah, Minah segera pergi ke bawah sambil berlari.
Ini merupakan pertama kalinya Iris masuk ke ruang kerja Gavin. Namun ia tidak memperhatikan sekelilingnya. Ia hanya fokus mencari obat dan memeriksa laci meja. Iris sangat lega mendapati obat untuk masalah perut Gavin ada di sana. Iris menutup kembali pintu ruang kerja Gavin dan kembali ke kamarnya.
Minah datang tepat saat Iris duduk di pinggir ranjang dan membantu Gavin bangun hanya untuk meminum obatnya. Minah segera memberikan gelas tersebut kepada Iris. Dan Iris segera membawanya ke bibir pucat Gavin. “Ayo minum, Gavin. Setelah ini kamu akan baik-baik saja.”
Minah yang melihatnya merasa ingin menangis. Ia tahu seberapa cintanya Iris terhadap Gavin. Karena Gavin memiliki kekasih di belakang Iris membuat Iris membencinya. Namun, tetap saja seberapapun Iris membenci Gavin, wanita itu tidak bisa berhenti mengkhawatirkan Gavin.
Regina dan Jeffery masuk tiba-tiba. Mereka melihat kondisi Gavin yang lemah dengan beberapa keringat baru di dahinya. Tak lama kemudian Rosalina juga datang.
“Apakah perlu membawa Gavin ke rumah sakit? Dia sangat tidak sehat.” Iris berkata dengan suara sedikit gemetar. Matanya bahkan memerah dengan pipi basah. Mereka bertaruh jika Iris tidak sadar bahwa dirinya baru saja menangis.
Segera, Rosalina mendekat dan memeluknya, berharap bisa menenangkan Iris yang sedikit emosional. “Jangan terlalu sedih, Sayang. Dia akan baik-baik saja.”
“Papa akan menghubungi dokter keluarga. Kamu jangan sedih lagi.”
“Biar Iris saja, Pa. Iris yang akan menghubungi dokter.”
Jeffery mengangguk setuju. Ia menyebutkan nomor Bima dan detik berikutnya Iris segera menelponnya.
Setelah menghubungi dokter, Iris masih memegang ponselnya. Kedua orang tua dan Nenek Gavin sudah kembali ke kamar mereka dan melanjutkan tidur mereka.
Malam semakin larut dan Iris masih setia duduk di hadapan Gavin, memantau Gavin dari dekat. Dari dulu Iris selalu menyukai ketika Gavin tertidur. Ia sangat suka melihat bulu matanya yang panjang dan wajah tenangnya. Ia masih ingat ketika dia dan Tiffany masih menuntunt ilmu di Inggris. Saat itu musim semi. Iris yang melewati lorong kampusnya tidak sengaja melihat sesuatu. Dari jauh Iris melihat Gavin yang tengah tertidur di hamparan rumput luas area kampus. Ia berpikir bahwa Gavin pasti sedang menunggu Tiffany selesai dengan kelasnya.
Dengan keberanian yang sudah Iris kumpulkan, ia mendekati Gavin hanya untuk melihat wajah tentramnya. Wajah Gavin ketika sedang tidur sangatlah manis menurut Iris. Tidak ada jejak dingin dan marah seperti ketika melihat Iris.
Kembali ke masa sekarang, Iris kembali mengelap keringat di pelipis Gavin kemudian mengusap rahangnya. Ia menghembuskan nafas pelan ketika merasakan wajah Gavin yang suhunya masih tinggi seperti sebelumnya. Setelah itu, ia kembali melihat wajah Gavin yang terlihat kesakitan dalam tidurnya.
Iris mendesah.
Merasa bersalah? Iya, Iris mengakuinya. Niat awalnya hanya ingin mengerjai Gavin dengan memberinya makanan pedas. Tapi Iris tidak pernah berpikir jika Gavin akan melahapnya hingga habis tak tersisa. Iris benar-benar merasa bersalah akan hal itu.
Dalam posisi duduknya, ia tanpa sadar memejamkan mata.