CLG | CHAPTER 13

1073 Words
Saat Iris membuka pintu kamar, ia melihat Gavin yang sedang bersandar di tempat tidur dan berselonjoran kaki dengan MacBook keluaran terbaru di pangkuannya. Gavin melirik Iris sekilas sebelum kembali fokus pada layar di depannya. “Sepertinya kamu lebih sibuk dibandingkan denganku.” Iris tidak bisa memahami perkataan Gavin. Entah Gavin mengejek atau memujinya. “Aku bertemu dengan teman-temanku.” “Kamu masih tidak menghubungiku ke mana kamu pergi. Apa terlalu sulit untuk setidaknya mengirim pesan alasanmu pulang terlambat?” Iris memejamkan matanya dan menghembuskan nafas perlahan. “Ke manapun aku pergi bukankah kau tidak akan peduli?” Suara Iris terdengar kasar membuat Gavin terlihat kesal. “Tentu saja aku akan peduli karena aku suamimu. Kamu harus mendengarkan aku, Iris.” Baru sekarang dia ingat jika dia adalah seorang suami? Iris mendengus. Tidak ingin memperpanjang masalah, Iris tidak menanggapi Gavin lagi. Saat ia berjalan menuju walk in closet, Gavin kembali berseru. “Iris, did you listen to me?” Iris berhenti dan membalikkan tubuhnya. Dengan sabar ia berkata, “I listened very carefully to what you said.” “Apa itu?” Iris mencoba bersabar saat dia berkata dengan manis. “Aku akan melaporkan kepada kamu ke manapun aku pergi. Bisa diterima?” “Bagus.” Gavin mengangguk puas. “Well then, Thank you.” Iris memutar matanya dengan sarkasme. Gavin hanya tersenyum kecil mendengar sindiran Iris. “Oh iya... Mami mengajak kita makan malam di rumahnya.” “Mami menghubungimu?” Iris terlihat mengerutkan dahinya halus. “Bersiaplah, setengah jam lagi kita akan pergi.” “Um, sepertinya tidak untuk malam ini—” “Kamu mau pergi lagi?” potong Gavin. Iris menggeleng. “Tidak, aku hanya—” “Kalau begitu kita bisa memulai program hamilmu lebih awal,” potong Gavin. “...Apa?” Iris menatap Gavin dengan bingung. “Iris, kita belum melakukannya setelah menikah jika kamu lupa.” Gavin bangkit dari posisi nyamannya dan mendekati Iris. Kemudian ia berbisik dengan suara berat, “Berhubungan badan...” Mendengar itu, refleks Iris mundur selangkah. Dia bingung dan penuh pertanyaan dibenaknya yang diawali dengan kalimat ‘Apa-apaan ini?!’ Apakah Gavin serius dengan program hamil?! Dia bahkan tidak ingin menyentuh Iris di malam pertama. Semenjak kapan Gavin yang terkenal selalu menghindarinya mulai aktif untuk melakukan hubungan intim dengannya? Apakah pria itu tidak sengaja membenturkan kepalanya akhir-akhir ini? Mereka hanya berciuman di bibir dan itu hanya dua kali jika Iris hitung dengan benar. Jadi kenapa dengan sikapnya yang tiba-tiba berubah? Iris mencoba mengeluarkan tawa walau tersendat. Ia tidak memungkiri jika dirinya saat ini terlihat waspada, takut, dan panik. “Aku masih dalam masa haid, Gavin.” Terdengar hembusan nafas panjang ketika Gavin memegang tangan halus Iris. “Kalau begitu, kita bisa tidur lebih awal—” “Sebenarnya, aku merindukan Papi dan Mami. Bagaimana jika kita pergi sekarang? Mami pasti sudah memasak sangat banyak. Sangat tidak baik jika kita tidak pergi, bukankah begitu?” potong Iris dengan cepat mengiyakan Gavin seraya menarik tangannya dan menghindari Gavin. Dengan kecepatan yang ia bisa, Iris mengambil pakaiannya dari walk in closet dan menggantinya di kamar mandi. Dia memang merindukan kedua orang tuanya, namun bukan berarti akan pergi bersama Gavin. Rencanya, ia akan pergi ke kediaman orang tuanya besok setelah pulang kerja. Iris menghembuskan napas sedih ketika sedang mengganti pakaiannya. Gavin yang masih berdiri di sana hanya bisa mengeluarkan senyum tipis yang hanya Tuhan yang tahu arti dari senyumannya itu. Mereka memakan hampir satu jam perjalanan sebelum tiba di kediaman keluarga Adinata. Iris mencoba melepaskan seat belt dengan kecepatan maksimal dan hendak membuka pintu mobil, namun masih tetap Gavin yang lebih dulu membuka pintu untuknya. Gavin memegang tangan Iris ketika mereka berjalan beriringan masuk ke dalam kediaman Adinata. Saat Iris mencoba melepaskan genggaman Gavin, pria itu malah menggenggamnya lebih erat dari sebelumnya. Pintu utama terbuka dengan seorang pelayan yang menundukkan kepalanya dengan hormat. “Tuan Gavin, Nona Iris. Tuan dan Nyonya Adinata telah menunggu kalian.” Iris tersenyum sedangkan Gavin sedikit cemberut. Kenapa masih memanggil Iris Nona? Dia sudah menikah! Gavin berdecak memikirkan bagaimana tidak kompetennya pelayan di kediaman Adinata. “Tolong lewat sini.” Pelayan tersebut membawa mereka menuju ruang makan yang sudah tersaji banyaknya hidangan yang menggugah selera. Emiliana yang baru saja mencuci tangannya menoleh ketika mendengar suara sepatu. Melihat bahwa Gavin dan Iris telah datang, ia bergegas mendekati mereka. “Akhirnya kalian datang.” “Iris merindukan Mami.” Iris membalas pelukan ibunya. Begitupun Gavin. Ia berperilaku sangat sopan malam ini. “Papi kira kalian akan terlambat.” Richard datang setelah itu. “Papi.” Gavin menyapa Richard lalu disusul Iris. “Ayo, duduk! Mami sudah menyiapkan banyak makanan kesukaan Iris. Mami harap makanan-makanan ini bisa sesuai dengan seleramu, Gavin. Jika ada makanan lain yang ingin kamu makan, jangan sungkan untuk katakan pada Mami.” Gavin dengan penuh perhatian menarik ke belakang kursi untuk Iris yang terlihat canggung. Kemudian tersenyum kepada Emiliana. “Makanan kesukaan Iris merupakan makanan kesukaan Gavin juga, Mi.” Iris mengalihkan tatapannya ke samping lalu memutar matanya. Iris baru tahu makanan kesukaannya akan bisa menjadi makanan kesukaan Gavin. Semenjak kapan? Iris mendengus. Pria di sebelahnya cukup hebat untuk mengambil hati kedua orang tua Iris. “Iris, kenapa diam saja? Isi piring suamimu, ayo.” Emiliana menegurnya dengan lembut membuat Iris tersadar dari lamunannya. “Oh iya, Mi.” Tiba-tiba saja ia memiliki ide jahat. Dengan senyum manis ia mengikuti perintah Emiliana. Iris mengambil nasi yang banyak dan meletakkan ikan saus pedas dan udang lada hitam di piring Gavin. Menyukai seseorang bertahun-tahun tentu saja Iris tahu kesukaan dan yang tidak disukai Gavin. Terutama untuk makanan pedas, Gavin sangat tidak bisa memakannya. Pria itu akan sakit perut selama 1 hari penuh paling cepat. Melihat piring yang penuh dengan makanan, ia berdecak kagum. Iris menatap Gavin di sampingnya lalu tersenyum. “Makan yang banyak ya, Sayang.” Gavin mengangkat sebelah alisnya, menyeringai kecil lalu membalas senyuman Iris dengan usapan mesra di kepalanya. Ketika Iris ingin menjauhkan kepalanya, Gavin sudah dulu melarikan tangannya. “Tentu. Terima kasih, Sayang.” Iris kembali memberinya senyum manis. “Bukannya kamu pernah bilang Gavin tidak bisa makan makanan pedas, Iris?” Emiliana bertanya dengan bingung membuat Richard menatap anaknya lalu Gavin dengan aneh. Dulu, sebelum mereka menikah Iris pernah membuatkan makanan untuk Gavin dan dia bilang bahwa Gavin tidak bisa memakan makanan pedas. Maka dari itu Emiliana juga memasak makanan yang tidak pedas malam ini. Gavin terdiam, menyaksikan Iris. Ia sedang menunggu jawaban Iris selanjutnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD