Dia berdiri diam, memperhatikanku, dan memiringkan kepalanya, "Kalau begitu, kau musuh kakakku. Apa yang sudah kau lakukan padanya malam ini?"
Dia tidak tersenyum, tapi ada ketertarikan di ekspresinya tentang perbuatan bodoh apa yang kulakukan pada saudara laki-lakinya. Sudut bibirnya sedikit menukik. Sikapnya yang tidak wajar justru membuatku tidak ingin berbohong.
"Aku baru saja merusak ban motornya dan anjing galak itu menghajarku."
Muncul ketegangan dalam ekspresinya, "Nalo adalah pria berbahaya. Kau harus segera pergi sebelum dia merusak sesuatu dari dirimu yang paling berharga." Ia melirik kakiku, "Dan kurasa kakimu membutuhkan penangan cepat."
"Aku mengerti maksudmu dan kau sangat berbeda dengan Nalo. Kau murah hati, peduli padaku."
"Aku hanya peduli pada Nalo. Aku tidak ingin dia terlibat dengan hukum karena menghajarmu. Cepat keluar dari sini, jalanlah lurus sampai ke ujung koridor. Ada kamar kosong di ujung sana, balkonnya mengarah ke pagar belakang. Kau bisa memanjatnya." Ia berjalan cepat mengintip dari balik pintu dan memberiku kode untuk keluar.
"Aku tak akan melupakanmu," bisikku sebelum pergi.
Aku mengikuti arahan gadis itu, mengabaikan nyeri yang mulai membuat kaki kiriku melambat. Aku hampir saja sampai di puncak pagar saat tanpa peringatan anjing itu menerjangku lagi dan tubuhku terkapar di bawah kaki Nalo.
Aku memandang wajahnya yang tajam dengan sinar kebengisan sebagai seorang pendendam. Ia mencengkram rambut seleherku dengan kuat, "Pertama, kau merusak motorku. Dan yang kedua lebih parah lagi, masuk kamar adikku. Beraninya kau!"
Tinjunya mendarat di tulang pipiku dan beberapa tendangan menyusul. Aku meringkuk seperti bola, lengan dan tanganku melindungi wajahku. Tidak lucu jika aku kehilangan gigi, dan wajah tampan yang merupakan aset berharga.
"Apa yang kau lakukan, itu dosa Nalo." Teriakan suara adik perempuannya.
Ia berhenti sejenak menghajarku, tapi aku belum mengendurkan strategi bertahanku seperti trenggiling.
"Kau tahu, menghajar atau dihajar. Itulah cara kami bermain, tentang harga diri seorang pria. Jangan mengganggu kesenanganku dan kembalilah ke kamarmu, Nola," ucapnya penuh dengan kasih sayang.
"Kau akan membunuh seseorang hanya karena harga dirimu terluka?" teriak Nola lagi.
"Dia seorang berandalan, Anak Aspal, bahkan dia tidak akan menderita meski aku menghajarnya seperti ini. Kumohon pergilah!" Nada suaranya penuh dengan penekanan.
Aku terkekeh, "Nalo, kau curang! Bagaimana kau bisa menyembunyikannya selama ini. Dia sangat cantik dan mengge--"
"Bughh!"
Ia menendang kakiku yang digigit anjing, oh man … rasa menyakitkan sekali. Kutarik kakinya hingga terjungkal. Kali ini aku membalas pukulannya, dan beberapa tendangan membabi buta dariku diiringi jeritan dan suara-suara terkesiap.
Para penjaga rumahnya ikut mengeroyokku, benar-benar bukan pertarungan yang adil. Akhirnya tubuhku terkapar juga, Nalo mengikat satu kakiku dan menyeretku ke halaman depan rumahnya.
Aku merasakan remuk disekujur tubuh. Rupanya ia belum puas, aku digantung terbalik di pohon mangga dengan satu kaki terikat pada tali. Tubuhku berayun-ayun.
Rasanya darah memenuhi otakku, kepalaku berdentam dan pandanganku mengabur. Tapi aku masih bisa melihat darahku tetes demi tetes membasahi rerumputan di bawahku. Tak lama kegelapan menyelimutiku.
***
Suara bib asing menyambut kesadaranku, bukan suara alarm ponselku yang biasa. Aku merasa sakit disekujur tubuh, remuk dan sangat letih. Hanya untuk membuka kelopak mata saja, rasanya berat sekali.
Aku baru menyadari, satu kelopakku tidak bisa di buka. Setelah beberapa saat barulah terasa jelas di mana aku sekarang, ruang ICU. Rasanya sangat kering di mulutku, lebih parah lagi saat berusaha menelan ludah.
Sedikit gerakan memancing rasa sakit yang menyengat. Aku berhenti berusaha untuk duduk. Pikiranku memutar ingatan terakhir sebelum aku di sini. Butuh waktu sangat lama untuk mengumpulkannya.
Darahku yang telah tumpah akan menjadi bahan bakar, membuat api permusuhan di antara aku dan Nalo semakin berkobar. Dalam setiap nyeri yang kurasakan, ada sumpahku untuk menghancurkannya.
Tak lama dokter dan perawat datang, menyuntikkan obat dalam infusku dan rasa kantuk yang hebat mengambil alih kesadaranku. Keadaan seperti ini terus berulang. Sampai aku sudah tidak bisa menghitung hari, tapi tubuhku terasa semakin membaik dan dipindahkan ke ruang perawatan.
Biasanya dalam kesendirian setiap kali aku tersadar, tapi kini ada nenekku di ruangan. Beliau tidak berkata apapun, rahangnya mengeras dan ia terlihat lebih sehat dengan lipstik yang menyala.
Kupejamkan lagi mataku, tak ingin mendengar ceramahnya. "Cepatlah sembuh, dan pulang ke rumah. Aku tidak suka merawat orang yang malang karena kebodohannya sendiri. Kau akan segera menikah setelah kakimu bisa berdiri sendiri." Nenek melirik kakiku yang masih dibebat perban tebal.
Ya ampun, apakah masa lajangku tidak bisa diperpanjang lagi? Bahkan aku belum sempat membalas Nalo.
Aku sudah tidak tahan di ruang sunyi ini, dua penjaga di depan pintu tak mengizinkan siapapun masuk kecuali nenekku dan petugas medis. Tidak ada ponsel, rokok, bahkan televisi pun dipindahkan.
Sebuah cermin besar dipajang nenek, aku bahkan tidak tega memandang diriku sendiri yang sangat kacau, jelek sekali dengan memar di mana-mana. Nenek berharap aku kapok.
Tak satupun temanku yang diperbolehkan membesuk. Kata nenekku, ini proses pembersihan dari hal-hal buruk yang mengelilingiku selama ini. Aku bahkan hampir lupa bagaimana rasanya tembakau. Ini lebih-lebih dari penjara.
Waktu yang kutunggu-tunggu akhirnya datang, kamar yang kurindukan. Pengawal mendorong kursi rodaku ke kamar baru, di luar harapanku.
Kaki kiriku masih dalam proses terapi untuk belajar berjalan kembali. Aku sudah bisa berjalan perlahan dengan bantuan tongkat.
Di dalamnya hanya ada perkakas kamar pada umumnya dan buku-buku tentang filsafat, agama dan novel-novel petualangan.
Bahkan tak satupun dari majalah pria dewasaku terselip, sekedar untuk menghibur kegelisahan seorang pria sepertiku yang sedang kesepian.
Kata nenek, sebentar lagi akan ada seorang istri, jadi aku tidak akan membutuhkan semua sampah itu.
Aku tak yakin jika seorang gadis akan membuatku berpetualang begitu hebat hingga aku lupa jalan kembali ke gaya hidupku yang biasanya. Ini benar-benar siksaan paling menyiksa seumur hidupku.
Seorang pelayan pria membantuku mengenakan setelan jas hitam. Aku berharap dia adalah perempuan, sudah lama sejak terakhir kali aku menyentuh mereka.
Keluarga kami akan makan malam. Aku penasaran secepat itukah nenekku bisa mendapatkan calon menantu yang lolos sortir, setelah yang terakhir sebelum aku masuk rumah sakit, beliau menyingkirkan anak pengusaha pasar swalayan dari daftar wanita potensialnya.
Aku menatap bayangan yang sangat asing di cermin, sorot mata malas dan rahang yang tegas. Sosok yang sering kutemui di halaman sampul fashion pria.
Kulit eksotisku yang kudapat dari melalang buana di jalanan hilang. Aku tidak suka kulit cerah itu, kurang jantan menurutku.
Bahkan kemarin nenekku mengirim penata rambut untuk mengubah gaya rambutku yang selalu panjang menjadi model army dan melakukan perawatan kulit yang belum pernah kulakukan seumur hidup.