2

534 Words
“Masuk ke masjid depan aja Qis, biar kamu bisa cuci kaki di sana.” “Iya, tapi kawani ya.” “Beres itu,” jawab Yenni dengan mengacungkan jempol di hadapan Qisti kemudian merangkul pundak sahabatnya. “Masuk saja ke sana, aku tunggu kamu di bawah pohon, panas kali hari ini,” ucap Yenni sambil melangkah ke pohon dalam pekarangan masjid yang dia maksud. Sedangkan Qisti berjalan menuju kran air di luar karna lebih mudah membersihkan kaki di sana menurutnya. Qisti duduk membuka sepatunya agar tidak basah, setelah itu dia menuju kran yang di inginkannya. Nizam, seorang Ustadz baru yang akan jadi pengajar di majelis pengajian ibu-ibu, dia memilih untuk berwuzhu dulu sebelum mengajar, Nizam lebih dulu mendatangi kran air di sana yang hanya ada dua kran. Nizam sedang fokus berwuzhu, Qisti tanpa rasa berdosa mendekati kran di samping Nizam dan mulai mencuci ujung celananya yang kena lumpur, kemudian Qisti melipatkan celananya ke atas lanjut membersih betisnya yang putih dan mulus. Nizam yang sedang cuci telinga sebelah kiri sedikit memalingkan wajahnya ke arah Qisti. “Astagfirullah,” ucap Nizam dengan pelan dan cepat-cepat memejamkan matanya agar pemandangan itu tak lagi terlihat. Tapi sialnya, Qisti telah duluan mendengar istigfar pelannya Nizam. Qisti berhenti mencuci kakinya dan memandang ke arah Nizam dengan perasaan risih dan tak sukanya. “Ustadz, tapi matanya kok jelalatan!” ucap Qisti dengan senyum sinisnya. Mendengar ucapan Qisti yang menghinakan dirinya, Nizam mendongakkan kepala ke arah Qisti untuk melihat wajah perempuan yang telah merendahkan harga dirinya. Tapi, lagi-lagi, Nizam harus menundukkan pandangannya ketika menatap wajah cantik milik Qisti dalam satu detik. Rambut lurus yang terurai dengan indah dan sedikit kecokelatan karna cat, mata yang bulat bening, pipi mulus yang sedikit berisi dan di tambah bibir merah bukan karna lipstik membuat perawakan Qisti sangat indah di mata Nizam. Nizam cepat-cepat melangkahkan kakinya memasuki masjid tanpa menghiraukan Qisti yang memandang aneh kepadanya. Qisti menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah Nizam, kemudian dia kembali menyusul Yenni yang masih duduk berteduh di bawah pohon. Qisti mendekat pada Yenni dengan wajah kesal. “Kenapa kamu? Datang mukanya malah cemberut,” sambil bangkit dari tempat duduk untuk lanjut pulang bersama Qisti. “Itu, tadi ada laki, Laki macam apa itu? Lari berhadapan sama wanita, cemen banget, mana kerjaannya guru ngaji pula, memangnya berapa banyak sih gaji guru ngaji itu?” tanya Qisti pada Yenni. “Yang kamu maksud Ustadz Nizam?” “Terserah namanya siapa, tapi sepertinya dia guru ngaji, karna ibu-ibu pengajian sudah kumpul di dalam masjid.” “Iya itu Ustadz Nizam, anak dari Abi Ja’far, pimpinan pesantren di kampung sebelah, aku dengar-dengar sih sekarang dia bakalan sering ngajar di kampung ini.” Qisti hanya cuek saja dengan cerita Yenni, dia tidak tertarik sama sekali untuk membahas lelaki cemen seperti itu. “Tapi menurutku Ustaz Nizam itu ganteng, tapi aku malas dekatinya, aku belum sanggup untuk pakai baju lebar-lebar, gerah.” “Memangnya berapa sih penghasilan guru ngaji itu? Kok orang-orang pada bela-belain putus sekolah malah masuk pesantren, yang ujung-ujungnya Cuma jadi guru ngaji.” “Setahuku sih, guru di pesantren Abinya Ustadz Nizam gak ada gaji, karna murid-murid di sana uang bulanan Cuma 20 ribu, itu pun di pakai untuk beli keperluan pesantren.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD