Pohon Sebatangkara

1151 Words
Haji Bakir tersenyum simpul, melihat pohon kelapa di samping rumah yang gosong akibat disambar petir tadi malam. Ia tidak mau ambil pusing meskipun pagi tadi para tetangga berbondong-bondong menuntutnya untuk segera menebangnya karena was-was, takut pohon sebatangkara itu akan menimpa rumah mereka. Bagi Haji Bakir, persoalan menebang pohon kelapa bukanlah perkara sulit. Ia pasti akan melakukannya, tidak perlu menunggu demonstrasi lanjutan. Hanya saja waktunya tidak sekarang, nanti, menunggu hasil musyawarah keluarga. “Apa yang harus dimusyawarahkan, Pak?” Isna Fairuz, gadis bungsu Haji Bakir mempertanyakan ide bapaknya. “Bapak tinggal menebangnya tanpa perlu meminta persetujuan kami.” “Nanti kamu juga akan tahu.” Haji Bakir mengerjap gembira. “Kita tunggu kakakmu pulang.” Isna terkekeh, sudah terbiasa dengan jalan pikiran bapaknya yang sering aneh. Ia tidak mau pusing memikirkannya, lebih baik baginya untuk meneruskan game di ponsel pintarnya. “Peristiwa pohon kelapa tersambar petir itu mengingatkan bapak kepada almarhumah ibumu.” Pandangan Haji Bakir tertambat pada langit biru. Ingatannya mundur ke masa dua puluh empat tahun lalu. “Kakekmu dulu berniat menjodohkan ibu dengan bapak.” Alih-alih mendengarkan ucapan bapaknya, Isna membaringkan tubuh di atas sofa, sambil terus menggerak-gerakkan kedua ibu jari pada layar ponsel. Matanya fokus kepada game yang sedang dimainkan. “Kakek sadar, dari gelagatnya, ibumu keberatan, tetapi beliau mantap, perjodohan itu harus tetap dilakukan.” Senyum Haji Bakir mengembang. “Malam sebelum beliau menyampaikan keinginannya kepada ibumu, pohon kelapa di belakang rumah beliau tersambar petir.” Isna kesal, mengumpat dalam hati karena game over. Ucapan bapaknya membuatnya sulit berkonsentrasi. Pandangan Haji Bakir masih tertambat ke langit, tidak menyadari tingkah Isna di belakangnya. “Kakek ragu, takut peristiwa tumbangnya pohon kelapa menjadi firasat buruk. Tetapi akhirnya beliau tetap menyampaikannya kepada ibumu karena yakin perjodohan itu sangat baik.” Isna terus menggerakkan kedua ibu jari pada ponsel, makin lama makin cepat. Ucapan bapaknya masuk lewat telinga kanan, keluar melalui mulut. “Huft!” Ia kalah lagi. “Tanpa disangka, ibumu menyetujui perjodohan itu.” Pipi Haji Bakir bersemu merah. “Tidak lama kemudian bapak dan ibu menikah.” Isna menyilangkan kaki. Ia tidak mau menyerah, memainkan lagi game yang sebelumnya, meski selalu kalah. “Bapak tidak percaya pada takhayul, hanya ingin berprasangka baik.” Haji Bakir kembali memandang pohon kelapa yang tersambar petir. “Peristiwa tersambarnya pohon petir ini identik dengan peristiwa dua puluh empat tahun silam. Dulu kakek ingin menjodohkan ibu dengan bapak. Sekarang bapak ingin menjodohkan kakakmu dengan seseorang. Semoga rumah tangga mereka akan langgeng seperti bapak dan ibumu.” “Aamiin!” Isna mengucapkan itu sambil tetap fokus kepada game. “Astaghfirullahaladziim!” Haji Bakir terperanjat ketika membalikkan badan, melihat tingkah anaknya. “Isna, kamu itu anak perempuan, tidak pantas menyilangkan kaki sambil tiduran seperti itu.” Buru-buru Isna meluruskan kaki sambil cengar-cengir. “Itu kakak sudah pulang!” Terdengar suara mesin motor dari depan rumah. Tidak lama, Ida masuk membawa sekeranjang sayur-sayuran. “Assalamu alaikum!” Ida meletakkan keranjang ke atas meja. Diciumnya tangan bapaknya. “Bapak kelihatan sedang gembira. Baru dapat rejeki banyak ya?” “Waalaikum salam!” Haji Bakir tersenyum. “Ada yang ingin bapak bicarakan, duduklah!” “Tampaknya ada kabar baik.” Ida duduk di sofa, bersebelahan dengan Isna. Isna tersenyum geli. “Kabar baiknya, pohon kelapa di samping rumah tersambar petir tadi malam.” Haji Bakir melotot kepada Isna. “Taruh kakimu di lantai! Lihat cara kakakmu duduk! Seperti itulah seharusnya anak perempuan bersikap.” Isna bersungut-sungut. Kalau dihardik sudah biasa baginya. Yang membuatnya kesal adalah selalu dibanding-bandingkan dengan kakaknya. Mereka memang memiliki kepribadian yang bertolak belakang. Ida anaknya lemah lembut, bicara pelan, penampilannya menggambarkan perempuan pada umunya. Sementara Isna anaknya santai, ceplas-ceplos, gayanya urakan, cenderung seperti lelaki. Ida, lengkapnya Ida Alesha, berusia dua puluh dua tahun, baru lulus D3 keperawatan. Isna terpaut tiga tahun dari kakaknya, tidak mau melanjutkan sekolah, lebih suka menjadi anak band, ketimbang pusing-pusing memikirkan kuliah. Haji Bakir mengambil sebuah foto dari saku baju. “Ini santri Ustaz Amin. Ia seorang alhafidz.” Ia menyerahkannya kepada Ida. Isna memiringkan kepala, mengintip foto, penasaran seperti apakah lelaki yang baru saja dipromosikan bapaknya. “Namanya Alhafidz, Pak?” Haji Bakir menatap Isna tajam. “Kamu diam dulu! Bapak ingin bicara dengan kakakmu.” Isna tidak menggubris hardikan bapaknya. Ia pindah tempat duduk, merangsek kepada Ida. “Wah, ganteng juga!” Ida melirik sekilas foto lelaki muda di tangannya. Ia menyadari, ke mana arah pembicaraan bapaknya. Meski dalam hati mengakui lelaki itu tampan, tetapi ia kurang tertarik. Sudah ada lelaki lain dalam hatinya. “Minggu lalu, bapak bertemu dengan Ustaz Amin, membahas banyak hal tentang kampung kita. Beliau prihatin dengan keadaan di sini yang jauh dari agama. Gedung madrasah di kampung ini sudah lama mangkrak. Maka itu beliau akan mengutus salah satu murid terbaiknya untuk menghidupkannya lagi.” Ida menatap gambar lelaki setengah badan dalam foto 4R di tangannya. Ia menduga lelaki itu yang akan diutus Ustaz Amin ke kampung ini. “Seperti kalian ketahui, Ustaz Amin dulu pernah menghabiskan masa kecilnya di sini. Pada masa itu kampung ini masih Islami. Madrasah yang didirikan di atas tanah wakaf bapaknya, dipenuhi anak-anak yang ingin mendalami pelajaran agama. Mushola pun selalu makmur oleh jamaah.” Ida paham benar, bapaknya kalau bicara muter-muter. Maka itu ia bersabar, menunggu inti dari pembicaraan. Ia yakin kalau yang sedang dibahas lebih dari sekadar misi Ustaz Amin. “Selain itu, Ustaz Amin menyatakan harapannya agar santri terbaiknya itu mendapatkan jodoh perempuan dari kampung ini agar istiqomah dalam berdakwah.” “Pohon kelapa yang tersambar petir itu bagaimana, Pak?” Isna mengingatkan bapaknya agar segera masuk ke pokok pembahasan. Haji Bakir melotot ke arah Isna, membuat anak bungsunya kesal. Ida kembali menatap lekat-lekat foto di tangannya. Lelaki itu memang ganteng. Rahangnya kokoh. Lehernya jenjang, membuatnya yakin kalau lelaki itu memiliki postur yang tinggi. Itu sesuai dengan kriteria lelaki idamannya. “Bapak ingin punya menantu seperti dia.” Haji Bakir bicara hati-hati, menunggu reaksi Ida. “Maksud bapak?” Ida bertanya, memastikan dugaannya. “Bapak ingin menjodohkan aku dengan lelaki ini?” Haji Bakir mengangguk mantap. “Selain ganteng, dia juga salih.” Ia harap-harap cemas. “Bapak sudah mengenal dengan baik lelaki ini?” Ida bertanya. Haji Bakir termenung sejenak, sebelum akhirnya berkata mantap. “Ustaz Amin begitu membanggakannya. Bapak yakin santrinya itu sesalih seperti yang dikatakannya.” Ida menarik napas panjang. Ia belum memikirkan pernikahan, ingin bekerja lebih dulu. Lagi pula ia ingin memiliki suami atas pilihan sendiri, bukan karema dijodohkan. Tapi jika itu ia katakan, pasti bapaknya akan menasehatinya panjang lebar. Yang bisa dilakukannya adalah mengulur waktu sambil mencari kalimat penolakan yang tepat. “Tidakkah bapak ingin mengenalnya lebih dahulu sebelum menjodohkan kami?” Haji Bakir terdiam, memikirkan pertanyaan anaknya. “Bukannya aku menolak, tetapi alangkah bijak jika bapak mengenalnya secara langsung, karena baik menurut Ustaz Amin belum tentu baik menurut bapak.” Haji Bakir menimbang-nimbang ucapan Ida. “Baiklah, nanti bapak bicarakan lagi dengan beliau.” Isna menyela. “Kalau Kak Ida tidak mau, biar buat aku saja!” Haji Bakir melotot kepada Isna. Isna yang sudah kebal dengan pelototan bapaknya, tersenyum genit. Nalurinya sebagai seorang perempuan mendadak berfungsi dengan baik. “Memang siapa nama si tampan itu, Pak?” Ida mengangguk, sepakat. “Iya, siapa namanya?” “Slamet Ghaissan” Haji Bakir tersenyum simpul. “Tapi nama lahirnya, Slamet Tahun Baru!” Ida dan Isna saling pandang. “Bapak, tidak bercanda bukan?” Isna terkekeh. “Aku tidak bisa membayangkan bagaimana nanti orang-orang membaca undangan pernikahan. Menikah: Isna Alesha dengan Slamet Tahun Baru. Hahaha!” Ida melotot kepada adiknya. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD