Amanat

1547 Words
“Jika tidak keberatan, saya ingin mengusulkan nama Slamet Ghaissan terdaftar resmi di Dukcapil menggantikan nama lahir Slamet Tahun Baru.” Slamet menunduk, menimbang usulan Ustaz Amin. Ia merasa keberatan, karena nama lahirnya sudah melekat pada banyak dokumen resmi dan ijazah, juga karena ia tidak berani merubah nama pada kartu keluarga. Ustaz Amin adalah pengasuh pondok pesantren di mana Slamet pernah belajar agama di sana selama tiga tahun dan menjadi pengajar selama dua tahun. Ia sudah dianggap layaknya sebagai seorang bapak. Di pesantren, Ustaz Amin dipanggil dengan sebutan Kyai, namun di masyarakat ia lebih populer disebut ustaz karena sebutan itu sudah melekat sejak masih muda. Hari ini Ustaz Amin meminta kehadiran Slamet untuk menugaskannya berdakwah di sebuah desa. Setangah abad sudah Ustaz Amin menghirup udara dunia. Matangnya usia, membuatnya mudah untuk bisa menerka isi hati murid di hadapannya. “Itu hanya usul, jangan merasa terbebani. Saya tahu kamu bimbang untuk melakukannya.” Slamet merasa tidak enak hati. “Saya akan menerima apa pun yang menjadi kehendak Ustaz karena pasti telah melalui pertimbangan yang matang. Juga jika Ibu mengizinkan, tentu saja.” Ustaz Amin tersenyum bijak. “Saya tahu, pasti repot jika nama pada KTP berbeda dengan yang ada pada ijazah. Lagi pula, teman-teman sekolah dan kuliahmu sudah terbiasa dengan nama itu bukan?" Slamet tersipu, mengiyakan. Ia pernah menghabiskan waktu selama belasan tahun untuk melakukan protes kepada ibunya yang terkesan asal-asalan dalam memberikan nama kepadanya. Masih jelas dalam ingatan Slamet bagaimana reaksi Ibu ketika pertama kali ia beranikan diri memprotes nama yang disandangnya. Waktu itu ia masih kelas tujuh SMP. “Kamu malu menyandang nama Slamet Tahun Baru, HAH?” Ibunya menunjuk hidung mancung anaknya. “Kamu pernah tahu tidak, ada pahlawan nasional bernama Slamet Riyadi?” Slamet yang masih berjiwa remaja kala itu, tiak mau kalah. “Kalau cuma Slamet aku tidak malu, Bu! Tapi Slamet Tahun Baru bukan terdengar seperti sebuah nama, lebih mirip lelucon.” “Kamu pikir ibu sedang melucu waktu memberi nama kamu?” Ibu Slamet berkacak pinggul. “Slamet Riyadi itu artinya selamat hari raya. Mungkin ia lahir pada hari raya. Karena kamu lahir saat pergantian tahun, maka ibu beri nama Slamet Tahun Baru.” Slamet bungkam, tidak mau berdebat, selain tidak ingin membuat ibunya marah, juga karena protes tidak akan membuat teman-teman sekelasnya berhenti mengolok-olok. Dalam hati, sebenarnya Ibu sangat memahami kegelisahan anak semata wayangnya itu. Slamet berhak mendapatkan nama yang lazim dan tidak menimbulkan olok-olok. Maka itu, ia menawarkan kompromi yang ia harap bisa menjadi solusi untuk mengurangi kegelisahan anaknya. "Begini saja!" Ibu mengusap rambut Slamet lembut. "Ibu ubah nama lengkapmu menjadi Slamet Ghaissan, tetapi nama di akte dan ijazah tidak berubah." Tidak mudah mensosialisasikan nama baru, teman-teman sekolahnya sudah terbiasa memanggilnya 'Slamet' tanpa embel-embel Ghaissan. Sehingga olok-olokan tetap ia dapatkan. Secara tidak langsung, para guru di sekolah memiliki andil atas olok-olok tersebut. Mereka selalu memanggilnya secara lengkap, baik saat melakukan presensi maupun saat menyuruhnya maju. Setiap kali namanya disebut, setiap kali itu pula teman-temannya tertawa terbahak-bahak. Mereka seolah tidak pernah bosan mengoloknya, bahkan menganggap itu lelucon abadi. Dari SD sampai perguruan tinggi, nama itu disebut terus, dari kelas ke kelas, dari forum ke forum, selama tujuh belas tahun. Slamet pun menjadi minder, cenderung menjauh dari pergaulan. Ia tidak punya teman, membuatnya semakin terkucilkan. Dulu saat awal kuliah, ia menjadi primadona karena berwajah ganteng, tubuh atletis, hidung mancung, berkulit putih, dan berperilaku sopan. Banyak mahasiswi yang mengajaknya berkenalan, tukar nomor ponsel, bahkan tukar pikiran. Pada akhirnya, satu per satu mereka mundur teratur setelah mengetahui nama lengkapnya. Beruntung masih ada seorang mahasiswi yang masih mau menjadi teman Slamet sejak semester pertama hingga wisuda, namanya Rachela. Gadis itu sangat menyenangkan, selalu menemaninya dalam suka atau duka. “Kamu tidak malu berteman denganku?” Suatu ketika, Slamet bertanya sentimentil. “Kenapa harus malu?” “Karena namaku kurang keren.” "Ghaissan keren kok!" Di kampus hanya Rachela yang memanggil Slamet dengan sebutan Ghaissan. "Itu tidak tercantum pada catatan sipil." "Tapi aku memanggilmu Ghaissan. Lagi pula, apalah arti sebuah nama.” Rachela meyakinkan. “Orang dikenang karena kebaikannya.” Sungguh manis sekali kalimat Rachela, membuat hati Slamet berbunga-bunga. Semakin hari, semakin subur bunga-bunga itu. Lambat laun ia jatuh hati kepada satu-satunya gadis yang bisa memahami keresahannya itu. Maka, selepas acara wisuda, pada siang yang gerimis, saat matahari masih bersinar terang, Slamet mengutarakan isi hati kepada Rachela. “Maukah kamu menikah denganku?” Ia menyodorkan setangkai mawar merah. Rachela bergeming. Matanya berkaca-kaca, tidak menyangka Slamet akan mengajaknya menikah yang diucapkan beberapa saat selepas acara wisuda. Gilanya lagi, lelaki itu menyatakannya dengan didampingi ibunya. Slamet mendekatkan setangkai mawar di tangan kr Rachela. “Jika mau, terimalah bunga ini.” Gumpalan bening di pelupuk mata Rachela pecah, mengalir, membasahi pipi. Ada perasaan terharu, terselip di antara perasaan bimbang. “Kamu tidak sedang bercanda bukan?” Slamet menggeleng pelan. “Sejak dulu aku sudah yakin bahwa kamu adalah tulang rusukku yang hilang satu.” Romantis sekali kalimat Slamet, apalagi di atas sana, lengkung pelangi seolah mendukungnya. Sayang, Rachela tidak sedang dalam posisi nyaman. Ada ibunya Slamet yang membuatnya segan untuk menjawab apa adanya. Rachela menyukai Slamet sejak pertama bertemu. Selain cerdas dan tampan, lelaki itu baik padanya, sabar, dan pengertian. Namun, ia sekarang belum ingin berumahtangga. Selepas kuliah ia ingin mengaplikasikan ilmunya dengan bekerja. Lagi pula, ia merasa malu punya suami memiliki nama lengkap aneh. “Kamu terlalu baik untukku, Ghaissan!” Rachela menunduk. Hanya itu yang bisa ia katakan untuk menjawab. Mimiknya menunjukkan rasa bersalah. “Dengan wajahmu yang tampan, pandai, dan baik hati, kamu bisa mendapatkan pendamping hidup yang lebih baik dariku.” “Aku hanya memilihmu,” desak Slamet. Ia kurang berpengalaman sehingga tidak peka atas maksud dari jawaban Rachela. Kalimat kamu terlalu baik untukku baginya adalah sebuah sanjungan. Ia tidak tahu, itu adalah kalimat usang yang biasa diucapkan para gadis untuk menolak. Rachela melirik sekilas ibunya Slamet. Ia merasa tidak enak hati pada perempuan itu. Tidak mungkin ia menolak dengan kata-kata yang jelas. Namun, ia harus tegas agar Slamet paham. Tatapan Slamet terus melekat pada wajah Rachela. Dengan hati berdebar, ia menunggu sikap gadis idamannya itu. “Tetapi kamu terlalu baik untukku!” Rachela berlalu, membiarkan Slamet kuyup oleh gerimis. Ibu Slamet yang menyaksikan adegan itu sejak awal, menghampiri anaknya. Dengan penuh kasih sayang, ia mengelus-elus rambut anaknya. “Itu artinya ia menolakmu, Nak. Jangan berkecil hati! Ia memang tidak layak untukmu.” “Kenapa?” Slamet protes kepada ibunya. “Apa salahku?” Ibu Slamet memeluk anaknya. Ia sering mendengar desas-desus perihal banyak gadis yang konon malu menjadi kekasih Slamet karena memiliki nama aneh. Ia yakin, Rachela pun demikian. “Hanya karena sebuah nama saja, ia menolakmu. Bagaimana nanti jika kamu miskin, apa ia tidak akan lebih malu? Jadi bangkitlah, Nak! Orang dikenang bukan karena namanya, tetapi karena memberi manfaat kepada orang lain.” Penolakan tersirat Rachela dianggap Slamet sebagai jawaban ambigu. Ia merasa pinangannya masih digantung, belum diterima dan ditolak. Sejak itu, Slamet bertekad untuk menjadi orang yang berguna bagi orang banyak. Ia berhenti meratapi namanya yang aneh. “Sudahlah, abaikan saja usulan saya.” Ustaz Amin membuyarkan lamunan Slamet. “Saya mengundangmu ke sini bukan untuk membahas soal itu, tetapi ada sesuatu yang lebih penting.” Slamet terkesiap, malu, telah hanyut dalam lamunan, mengenang peristiwa pahit beberapa tahun lalu. “Kamu sudah lulus, menghafal Alquran sampai tiga puluh juz. Pengetahuan agamamu juga sudah luas. Itu akan sia-sia jika tidak diamalkan.” Ustaz Amin menatap murid di depannya. “Saya ingin menugaskanmu untuk berdakwah di sebuah kampung yang telah lama jauh dari agama.” Slamet mengangguk-angguk, mendengarkan ucapan gurunya dengan khidmat. “Di kampung itu ada sebuah madrasah yang sudah lima tahun mangkrak. Gedungnya masih kokoh. Hanya saja karena tidak terawat, kondisinya sangat memprihatinkan. Tugas kamu menghidupkannya kembali.” “Di daerah mana kampung itu, Ustaz?” “Tidak terlalu jauh dari sini, hanya sekali menggunakan angkot. Nanti saya kasih tahu alamatnya, sekalian surat pengantar yang harus kamu berikan kepada Haji Bakir, ketua RT di sana.” “Kapan saya harus ke sana?” “Lebih cepat, lebih baik.” Ustaz Amin menepuk bahu Slamet. “Apakah kamu siap?” “Siap, Ustaz!” Slamet menjawab mantap. Haji Amin tersenyum gembira. “Selain menghidupkan madrasah, kamu juga harus aktif memakmurkan mushola di sana.” “Insya Allah!” “Berdakwalah seperti yang diteladankan Rasulullah saw. Utamakan akhlak, bukan menggurui. Lakukan pendekatan secara lembut. Jangan mudah menyerah, karena saya yakin tantangannya akan sangat berat.” “Saya akan selalu ingat nasihat Ustaz.” Slamet mengerjap mantap. “Doakan saya agar bisa melakukannya dengan baik dan benar.” Ustaz Amin mengulas senyum. Ia memberikan sebuah amplop berwarna putih kepada Slamet. “Pertama yang harus kamu lakukan adalah menyerahkan surat ini kepada Haji Bakir, ketua RT di sana. Beliau telah menyiapkan tempat tinggal untukmu.” Slamet menerima amplop dari Ustaz Amin. “Insya Allah saya akan menyampaikan amanat Ustaz. Besok saya akan berangkat ke sana.” “Kalau perlu sesuatu, jangan ragu untuk menghubungi saya.” Ustaz Amin kembali menyerahkan sebuah amplop berwarna cokelat kepada Slamet. “Apa ini, Ustaz?” Slamet ragu menerimanya. Ia menduga di dalamnya berisi uang. “Terimalah untuk bekal kamu selama beberapa hari di sana.” Slamet mengembalikan amplop berwarna cokelat kepada Ustaz Amin. “Maaf, saya tidak bisa menerimanya. Saya sudah punya bekal.” Ustaz Amin menggeleng, menolak kembalian amplop dari Slamet. “Ambil saja, jangan bantah gurumu!” Tidak ingin disebut membantah guru, terpaksa Slamet menerimanya. “Selepas subuh, kamu harus sudah bersiap. Besok saya antar pakai mobil.” Slamet merasa keberatan di antar gurunya. “Saya merasa tersanjung diantar Ustaz. Tetapi kalau menggunakan mobil, maaf, saya malu.” “Kenapa?” Slamet menunduk dalam-dalam. “Karena belum apa-apa sudah manja. Bagaimana nantinya jika saya harus menghadapi masalah di sana?” Ustaz Amin merasa kagum. “Saya memang tidak salah memilihmu.” Slamet semakin menunduk, takut pujian akan membuatnya besar kepala. “Kamu persiapkan segala sesuatunya dari sekarang.” Ustaz Amin menepuk bahu Slamet. “Selamat berdakwah.” 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD