Hari Pertama Masuk SMA

1353 Words
"Duluan ya, Fa!" Aku hanya tersenyum menanggapi salam perpisahan dari Lyana sahabatku yang saat itu sudah ikut rombongan kelasnya menuju kelas X IPS 1. Qadarullaah, ketika di SMA aku dan Lyana tidak satu kelas. Lyana merupakan sahabat baikku sejak sekolah dasar (SD). Meskipun saat sekolah dasar itu kami tidak satu sekolah, akan tetapi kami tetap saling mengenal baik satu sama lain. Puncak persahabatanku dengan Lyana semakin dekat dan erat saat kami ditakdirkan satu SMP dan satu kelas juga kala itu. Sekitar dua tahun di SMP aku satu kelas dengannya dan atas izin Allaah setelah kelulusan SMP kami kembali satu sekolah ketika SMA meskipun berbeda kelas. Setelah kepergian Lyana tadi, pagi ini aku sedang berdiri di pinggir lapangan sekolah sembari mendengarkan dengan seksama ucapan Pak Anton yang saat itu sedang mengumumkan nama-nama siswa baru untuk masuk ke dalam kelas. Hari ini merupakan hari pertama aku masuk SMA. Aku yang saat itu memilih kelas IPS sejak dilakukannya daftar ulang, entah mengapa ketika di lapangan sekolah itu aku tidak mendengar namaku disebut oleh Pak Anton untuk segera masuk ke kelas IPS yang telah aku pilih. "Maaf, apa kelas IPS cuma sampai IPS 4, ya?" Tanyaku, pada seorang siswi perempuan tak berkerudung yang belum aku kenal. "Iya, tadi yang Pak Anton sebut itu adalah kelas IPS terakhir." Jawab perempuan tak berkerudung itu, kontan membuatku langsung terkejut. "Apa? Kamu ... serius?" Tanyaku sedikit terbata, merasa tidak percaya. "Iya," ia mengangguk. Tanpa ba bi bu lagi, setelah itu dengan panik aku segera meluncur berlari menuju ruang kesiswaan. Dalam benakku berkecamuk, kenapa namaku tidak disebut untuk masuk ke kelas IPS yang telah aku pilih ketika daftar ulang masuk SMA waktu itu? "Mm ... permisi. Kenapa di sini ramai, ya?" Tanyaku sedikit ragu, pada seorang siswa laki-laki yang sedang berdiri di ambang pintu masuk ruang kesiswaan. Saat aku sudah sampai di ruangan yang aku tuju, aku mendapati banyak siswa-siswi yang sedang berkumpul berdiri di depan ruangan tersebut. "Kita di sini sedang mengajukan banding karena telah di tempatkan di kelas yang salah," jawab siswa laki-laki itu, formal dan datar. "Jadi, kamu juga salah masuk kelas?" Tanyaku lagi, tanpa ragu dan penasaran. "Iya ... kamu?" Siswa laki-laki itu, melirikku dengan enggan. "Ah ya, aku Haneefa. Seharusnya nama aku disebut di kelas IPS, tapi tadi aku gak dengar nama aku disebut oleh Pak Anton waktu di lapangan untuk masuk ke kelas IPS yang udah aku pilih sebelumnya." Selorohku pada siswa laki-laki itu, meskipun kentara sekali bahwa ucapanku itu tidak begitu penting untuknya. "Silakan masuk!!" Setelah mendengar suara berat khas bapak-bapak yang secara tiba-tiba itu, seketika atensiku dan siswa laki-laki yang tadi mengobrol denganku beralih untuk segera masuk ke dalam ruang kesiswaan. "Ada keperluan apa kalian kemari?" Tanya seorang Guru, pria dewasa yang kini sedang duduk di hadapanku dan siswa laki-laki tadi yang kini berdiri tepat tak jauh di sampingku. Setelah sebelumnya banyak drama dan kericuhan ketika akan masuk ruang kesiswaan tadi, akhirnya atas izin Allaah aku dan siswa laki-laki yang tadi sempat mengobrol denganku dipersilakan menjadi yang pertama dari siswa-siswi lainnya untuk masuk ke dalam ruang kesiswaan tersebut. Aku tersenyum. "Nama aku gak disebut di kelas IPS oleh Pak Anton waktu tadi di lapangan, Pak." Jawabku, tanpa ragu. "Kalau kamu?" Tanya Guru itu lagi, beralih pada siswa laki-laki yang berdiri tak jauh di sampingku. "Aku di tempatkan di kelas yang salah, Pak. Seharusnya aku masuk ke kelas IPA, tapi tadi waktu di lapangan malah disebutkan oleh Pak Anton di kelas X IPS 2." Mendengar jawaban dari laki-laki itu, aku pun hanya bisa menatap diam. "Nama kamu siapa?" Tanya Guru itu lagi, kembali padaku. Atensiku pun mau tak mau kembali beralih pada guru tersebut. "Nama aku Haneefa Shaqueena Zahrany, Pak." Jawabku, menyebutkan nama lengkapku dengan yakin dan cepat. "Dan kamu?" Guru itu kembali beralih pada siswa laki-laki yang masih berdiri tak jauh di sampingku. "Fahmi." Jawab siswa laki-laki itu, membuatku akhirnya tahu siapa namanya. Fahmi, ternyata. Batinku. "Dari data yang ada, untuk Fahmi memang ada yang salah. Dia seharusnya berada di kelas IPA, tapi sepertinya Pak Anton salah menyebutkannya waktu di lapangan sekolah tadi," ucap Guru itu memberitahu, sembari menatap satu lembar kertas yang ada di tangannya. "Tapi untuk kamu, Haneefa ... data kamu benar, kamu memang seharusnya berada di kelas IPA, bukan IPS. Jadi, apa yang salah?" Guru itu kini menatapku heran, setelah membaca satu lembar kertas yang masih ada di tangannya. Sepertinya itu adalah lembar kertas yang berisi daftar nama siswa baru. "Kamu sudah benar, berada di kelas IPA 6. Itu 'kan pilihan kamu saat daftar ulang? Lantas apa yang salah?" Guru itu kembali bertanya dengan formal karena melihatku bergeming. Aku bergeming karena terkejut. Dengan perasaan cemas, aku segera berjalan mendekati meja yang tidak jauh dari tempat duduk Guru tersebut yang merupakan pria dewasa. "Tapi ... bagaimana bisa, Pak? Aku 'kan inginnya masuk ke kelas IPS, bukan IPA." Selorohku tanpa ragu, setelah melihat satu lembar kertas berisi daftar nama siswa baru yang tadi berada di tangan Guru tersebut. Aku benar-benar terkejut saat tahu bahwa aku di tempatkan di kelas IPA. Yaa Allaah, bagaimana bisa itu terjadi? Padahal sejak awal daftar ulang masuk SMA waktu itu, aku sudah memilih untuk masuk ke kelas IPS. Tidak! Aku tidak mau masuk kelas IPA. Otakku tidak segenius itu sehingga harus masuk ke kelas tersebut. "Tapi ini namamu tercantum di sini, di kelas IPA. Sepertinya kamu salah memilih lintas minat waktu daftar ulang, jadinya kamu dimasukan di kelas IPA." Guru itu kembali memberitahu sembari masih memegang satu lembar kertas berisi daftar nama siswa baru dan menunjukannya padaku. Mendengar itu, aku pun menatap Guru itu dengan ekspresi wajah yang dibuat memelas. "Tolonglah, Pak. Pindahkan kelas aku ya, Pak. Aku maunya masuk kelas IPS, nggak mau IPA." Pintaku, sedikit merengek. Sepertinya dugaan Guru itu benar. Ketika daftar ulang waktu itu, sepertinya aku memang sudah salah memilih lintas minat sehingga saat ini malah dimasukan ke kelas IPA. Salahkan saja diriku yang memang waktu daftar ulang terlalu bodoh memahami perkataan Guru tentang lintas minat tersebut. Ketika daftar ulang, aku yang memang awam dan baru pertama kali masuk SMA, aku belum begitu paham mengenai sistem pembelajarannya. Sehingga ketika dijelaskan pun karena otakku yang cenderung pas-pasan, aku tetap tidak bisa mencernanya dengan hanya sekali dijelaskan. Perlu beberapa kali jika ingin membuatku paham. Tapi apapun itu, aku harus tetap bisa pindah kelas ke kelas IPS. Aku tidak mau tahu. Lagipula, mana sanggup jika aku harus berada di kelas IPA? Yaa Allaah, ujian apakah ini? Batinku berteriak. Guru itu terdiam untuk beberapa saat, seolah sedang memikirkan sesuatu setelah mendengar permohonanku tadi yang terkesan merengek, sebelum akhirnya Guru itu pun kembali angkat bicara dan membuat binar mataku muncul tanpa permisi. "Baiklah, kamu Fahmi masuk ke kelas X IPA 6 dan kamu Haneefa, kamu masuk ke kelas X IPS 2. Kalian bertukar kelas!" Mendengar itu, seketika aku langsung tersenyum dengan perasaan yang bahagia dan bernafas lega. "Makasih, Pak. Makasih banyak." Ucapku bahagia, kontan menyalimi telapak tangan Guru tersebut yang diikuti oleh Fahmi—siswa laki-laki yang bertukar kelas denganku. "Terima kasih banyak, Pak." Kata Fahmi dengan nada tenang dan terkesan formal, tidak sepertiku yang sedikit heboh dan terkesan santai untuk bicara dengan seorang Guru. Setelah berhasil mendapatkan apa yang aku inginkan, kini aku dan Fahmi diperintahkan untuk keluar dari ruang kesiswaan dan masuk ke kelas kami yang tadi baru saja kembali ditentukan. Tepat setelah keluar dari ruang kesiswaan tersebut, aku langsung menoleh ke arah Fahmi yang masih berdiri di sampingku dengan senyum bahagia. "Makasih, ya," ujarku tulus, membuat laki-laki bernama Fahmi itu menolehku. "Hm, sama-sama," balasnya dingin, sebelum akhirnya pergi meninggalkanku begitu saja yang masih berdiri di depan ruang kesiswaan. Mendapatkan respon seperti itu darinya, aku pun menatap kepergiannya dengan perasaan dongkol. Seketika aku merasa kesal pada laki-laki itu. Bagaimana tidak kesal, kenapa bisa ada laki-laki sedingin es sepertinya? Padahal sejak SMP teman laki-lakiku selalu hangat dan baik sekali kepadaku. Tidak seperti Fahmi-Fahmi itu, sudah dingin, jutek, berwajah datar, terlalu formal, menyebalkan pula. Astaghfirullaah. Batinku beristighfar. "Ah! Kenapa sih, Fa?! Kenapa juga kamu malah memikirkan laki-laki aneh itu?!" gumamku, merasa kesal sendiri dengan kekonyolanku. Akhirnya, setelah itu aku segera pergi berjalan menuju kelas baruku yang berada di lantai 2, yakni kelas X IPS 2. - Bagaikan Dandelion -
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD