X IPS 2

1176 Words
Setelah keputusan Guru kesiswaan sebelumnya, sekarang di sinilah aku berdiri. Berdiri tepat di depan sebuah pintu kelas yang tak lain adalah kelas X IPS 2, kelas baruku. Tokk.. tokk.. tokk.. Dengan perasaan harap-harap cemas, aku mengetuk pintu kelas itu dan mulai membukanya perlahan dengan penuh kehati-hatian. Ceklek.. Meskipun ragu, handle pintu kelas itu pun aku tekan dan akhirnya pintunya terbuka. "Assalamu'alaikum." Salamku, membuka pintu kelas dengan kepalaku yang aku condongkan sedikit ke masuk dalamnya. Saat itu juga, semua atensi orang-orang yang berada di dalam kelas menoleh dan tertuju padaku yang baru datang dan kini sedang berdiri di ambang pintu masuk kelas tersebut. "Wa'alaikumussalam," jawab salam semua orang yang berada di dalam kelas secara bersamaan. "Iya, cari siapa?" Tanya seorang Guru, pria dewasa yang sedang duduk di bangku khusus Guru yang telah disediakan di dalam kelas tersebut. Seraya berjalan beberapa langkah untuk masuk ke dalam kelas, dengan perasaan gugup aku pun menjawab. "Mm ... nama aku Haneefa, Pak. Aku terlambat masuk kelas, Pak. Maaf." Cicitku, di akhiri dengan sedikit cengiran kuda meskipun tidak begitu kentara. Guru itu mengangguk, seolah paham. "Baiklah, silakan duduk!" Mendengar perintah itu, kontan aku bernafas lega karena ternyata aku tidak terkena marah oleh Guru tersebut di hadapan semua murid dikarenakan aku terlambat masuk kelas. Aku datang terlambat masuk kelas karena tadi harus berurusan dengan ruang kesiswaan terlebih dahulu. Setelah itu, pandanganku beralih melihat ke arah semua murid yang kini sedang duduk di bangku mereka masing-masing sembari memperhatikanku yang masih berdiri di depan papan tulis kelas. Dengan mata jeliku, aku sedang mencari bangku kosong untuk tempatku duduk. "Di sini! Di sini kosong!!" Kata seorang perempuan berjilbab agak panjang yang duduk di baris depan paling ujung di sisi kanan seraya melambaikan tangannya kepadaku yang masih berdiri di depan papan tulis kelas. Dengan langkah terkesan ragu karena malu menjadi pusat perhatian semua orang yang berada di dalam kelas, akhirnya aku izin kepada Guru untuk duduk. Setelah mendapat izin dengan isyarat melalui anggukan kepala, dengan memberanikan diri aku menghampiri perempuan yang tadi melambaikan tangannya kepadaku. Setelah sampai, aku langsung mengambil tempat duduk di bangku kosong yang berada di samping perempuan tersebut. "Hai," sapanya, tersenyum menatapku setelah aku duduk di sampingnya. Aku menoleh. "Oh ... hai," balas sapaku, sedikit kaku. "Siapa nama kamu?" Tanyanya, dengan wajah ceria. "Nama aku ... Haneefa," jawabku, agak ragu. "Kenalkan, aku Muthia," ucapnya, memperkenalkan dirinya kepadaku dengan ramah. Akhirnya, aku pun tersenyum senang setelah berkenalan dengan perempuan berjilbab agak panjang itu yang kini aku ketahui bahwa ia bernama Muthia. .......... Hari-hari berlalu, kini aku sudah menjalankan aktivitas di sekolahku dengan kondusif. Bahkan aku sudah berpindah posisi tempat duduk saat di kelas. Tempat dudukku dengan Muthia yang semula berada paling depan ujung sisi kanan, kini berpindah ke barisan paling depan yang berhadapan langsung dengan papan tulis kelas. Saat itu Muthia yang mengajakku untuk berpindah posisi tempat duduk setelah ia bernegosiasi dengan teman yang telah lebih duhulu menempati tempat duduk yang akan kami berdua tempati saat ini. Muthia melakukan itu dengan alasan karena matanya minus alias berkaca mata, jadi harus dekat dengan papan tulis agar bisa belajar dengan baik ketika di kelas. Mengetahui alasan itu, aku pun setuju. Pada hari yang semakin berlalu itu, aku juga telah dipilih dan dipercaya untuk menjadi seksi absensi kelas dan Muthia sebagai bendahara kelas. Pengalaman pertama menjadi seksi absensi kelas itu jujur saja, aku merasa takut dan gugup karena belum berpengalaman. Namun karena semangat dan dukungan dari teman satu bangkuku yakni Muthia, akhirnya aku bisa menikmati posisiku di kelas yang saat itu sebagai seksi absensi. "Siapa di sini absensi kelas?" Tanya Pak Rahmat Guru BK, yang tiba-tiba datang ke kelasku dan kini beliau sedang berdiri di ambang pintu masuk kelas. Mendengar itu, atensi semua teman yang berada di kelasku langsung beralih menoleh ke arahku. "Dia, Pak, Haneefa." Tunjuk salah satu teman laki-laki di kelasku, membuatku langsung menggigit bibir bawah. Dalam benakku aku bertanya, kenapa Pak Rahmat itu mencariku ya? Dengan langkah sedikit ragu, akhirnya aku menghampiri Guru tersebut dan langsung berdiri bersamanya di luar yang tepatnya di depan ruang kelasku. "Ya Pak, ada apa?" Tanyaku, saat sudah berdiri berhadapan dengan Pak Rahmat. "Kamu seksi absensi kelasnya?" Pak Rahmat balik bertanya. "Iya Pak, itu aku." Jawabku, lirih. "Baiklah, ini tolong absen semua nama teman-teman di kelas kamu yang ada di kertas ini. Lalu, nanti setiap minggu kamu rekap dan serahkan absensinya ke ruang kesiswaan." Seloroh Pak Rahmat kepadaku, memberikan sebuah kertas absensi kelas yang mau tak mau harus aku terima. "Jangan sampai lupa," pesan Pak Rahmat, sebelum akhirnya beliau melegang pergi meninggalkanku sendirian yang masih berdiri di depan ruang kelasku. "Ya Allaah," desahku mendrama frustasi dan mulai kembali berjalan memasuki kelasku dengan perasaan malas. .......... "Arif?" Dengan malas dan sedikit terpaksa, akhirnya aku tetap mulai mengabsen satu persatu semua daftar nama teman-teman yang berada di kelasku dan kini aku sedang berdiri di barisan bangku laki-laki sembari mengabsen satu per satu nama-nama mereka. "Hadir," "Ilham?" "Hadir," "Rizky?" "Di sini," "Rio?" "Hadir," "Hendra?" "Aku," jawab siswa laki-laki bernama Hendra yang saat itu berada di dekatku karena aku sedang berdiri tepat di samping mejanya. "Baiklah," kataku, menceklis daftar nama Hendra yang berada di kertas yang saat ini sedang aku pegang. "Raihan?" "Hadir," "Billy?" "Di sini," "Hus ... sein?" "Aku, hadir!" Teriak Husein yang saat itu sedang duduk di bangku khusus Guru yang berada di dalam kelas. Pikirku, tidak sopan sekali memang laki-laki bernama Husein itu. Aku pun menghela nafasku melihat kelakuannya, sebelum akhirnya aku kembali mengabsen nama yang lain. "Arfan?" "Hadir," Aku langsung menoleh ke arah sumber suara saat mendengar jawaban itu. Ternyata laki-laki bernama Arfan itu teman satu bangkunya Hendra karena saat ini ia sedang duduk di samping Hendra. "Baiklah," kataku, menceklis daftar nama Arfan di kertas absen yang masih aku pegang. "Abdul," "..." hening. "Abdul," ucapku, mengulang nama Abdul untuk mengabsennya karena tidak mendapat sahutan sama seperti sebelumnya. Apakah laki-laki bernama Abdul ini tidak masuk sekolah? "Abdul?" ulangku, lagi. Merasa tidak juga mendapat jawaban, lantas aku pun menoleh ke arah Hendra dan Arfan yang masih sibuk dengan gadget mereka. "Mm ... Hendra, Arfan. Kalian tahu gak Abdul ... kemana?" Tanyaku, sedikit ragu. Mendengar aku bertanya, Arfan pun yang tadinya sedang sibuk dengan gadgetnya, beralih menolehku. Sedangkan Hendra nampak tak acuh. "Kayaknya Abdul gak masuk sekolah," jawab Arfan, terdengar lembut. "Iyakah?" Aku membeo dengan wajah polos. Arfan tersenyum dan mengangguk. "Iya, Abdul duduk di bangku yang ada di depan aku dan Hendra, tapi lihat, tas dia gak ada, bahkan waktu jam kelas pertama tadi dia gak masuk. Itu berarti dia emang gak masuk sekolah, 'kan?" Seloroh Arfan, masih terdengar lembut dan halus kepadaku. Aku kontan menipiskan bibirku setelah mendengar ucapan Arfan. Sebenarnya saat jam pertama tadi aku sudah mengabsen nama teman-teman yang berada di kelasku, tapi entah kenapa aku bisa melupakan soal Abdul ini. "Mm ... gitu ya," gumamku, sebelum akhirnya menatap Arfan dengan senyuman. "Baiklah, makasih Arfan," sambungku seringan kapas, membuat Arfan mau tak mau ikut tersenyum kepadaku. "Iya, sama-sama." Setelah itu aku menghela nafas kasar, sebelum akhirnya kembali mengabsen daftar nama teman lainnya yang ada di kelasku. Huh! Ternyata menjadi seksi absensi kelas tidaklah mudah. - Bagaikan Dandelion -
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD