Bab 12

2225 Words
Jam pulang sudah berbunyi sejak tapi, namun gadis tersebut masih setia berada di dalam kelasnya, ketiga temannya sudah berpamitan untuk duluan. Tia memasang airpodsnya dan menyetelkan lagu, ia melangkah keluar dari kelasnya namun langkahnya terhenti ketika ada beberapa sepatu yang ia lihat, ia mendongak dengan raut wajah datarnya. Satu wanita yang ia temui dikantin, dan ketiga wanita yang ia kenal, serta beberapa lain yang ia tidak kenal tepat di hadapannya, Tia melepas airpodsnya untuk mendengarkan apa yang dikatakan. "Lu ngomong sama gue?" tanya Tia. "Sorry gue pakai airpods tadi," lanjut Tia. Rika, Girly, dan Jena yang hanya ia kenal, selebihnya ia tidak kenal sama sekali namun sepertinya mereka kenal siapa Tia. "Lu yang kemarin hampir nusuk Rika pakai garpu?" tanyanya sinis. Tia menatap wanita tersebut lalu beralih menatap Rika dengan sepele. "Jadi lu ngadu?" tanya Tia, lalu tertawa lepas membuat mereka yang ada dihadapannya saling menatap satu sama lain. "Astaga Rika, kemarin gue ngelawan sendiri loh, segitunya lu takut sampai ngadu sama mereka," cetus Tia dengan berani, Rika jelas mengepalkan tangannya dengan amarah. Rika berkata, "Gue enggak ngadu! Tapi Kak Gina yang tahu dengan sendirinya." Tia kini menatap wanita yang ia ketahui sebagai kakak kelasnya, Gina Artana wanita yang populer di sekolahnya, bahkan mereka menganggap Gina ada Queen sekolah. "Lu enggak kenal gue siaap?" tanya Gina dengan tatapan tajam. "Harus banget tahu? Kayanya lu mau banget ya di kenal," cetus Tia dengan sinisnya, Gina tanpa pikir panjang langsung mendorong gadis tersebut hingga kembali masuk ke dalam kelasnya, beberapa teman Gina menutup pintu dan hordeng jendela. Gadis tersebut hanya tersenyum miring menatap tajam ketika tubuhnya di dorong kasar hingga membentur dinding kelas. "Jangan macem-macem sama orang yang ada dibawah naungan gue," kata Gina dengan nada ancaman, ia mencengkar pipi gadis tersebut hingga wajah Tia memerah. "Lu udah salah cari lawan, siapapun yang ganggu mereka akan berhadapan dengan gue," lanjut Gina, lalu ia menghempaskan dengan kasar Tia hingga tersungkur kebawah. Tia tersenyum miring, ia menatap tajam ke beberapa orang dihadapannya yang tertawa puas. "Gue enggak boleh ada luka hari ini," batin Tia, ia kini beranjak berdiri perlahan yang membuat Gina memandang remeh. "Sudah?" tanya Tia dengan senyuman. Mereka yang mendengar saling menatap dengan geram. "Belum puas? Salah cari lawan? Sepertinya bukan gue yang salah cari lawan, tapi kalian," jelas Tia dengan nada dinginnya, semua jelas terkejut mendengarnya, bulu kuduknya mulai merinding karena mendengar perkataan tersebut. Lembut, namun mencekik. Gadis tersebut kini menatap tajam, ia maju perlahan lalu mencengkram pipi Gina dengan sangat kencang hingga membuat lawan bicarannya kesakitan, semua temannya jelas membantu namun semua dapat dihalau dengan Tia hingga semua jatuh tersungkur kesakitan. Gadis tersebut memojokkan Gina ke dinding kelas. "Lu enggak tahu secara detail siapa lawan lu sebenarnya, kalau lu bisa ngancem, gue bisa ngehabisin!" seru Tia dengan sorot mata yang seolah ingin menerkam, Gina jelas sedikit down melihatnya. Tia melepas cengkaraman tangan tersebut dan menghempaskan seperti apa yang dilakukan Gina terhadapnta, ia mengambil tas yang terjatuh sambil berbisik, "Jangan buat malu diri lu sendiri, kalau lu belum bisa lawan!" Gadis tersebut lalu melenggang pergi, membuka pintu kelas yang tadi ditutup. Mereka semua masih tersungkur dengan badan yang sakit dan linu karena di hempaskan begitu saja walau dengan satu tangan dari gadis yang mereka lawan tadi. "SHITTT!" seru Gina kesal. "Baru kali ini ada yang ngalahin kita sampai segininya," ucap Fia - teman Gina. Rika menyela, "Sudah gue bilang Kak, dia psiko!" "Iya Kak, dia enggak kenal takut," timpal Girly. Gina tersenyum miring lalu berkata, "Dia harus jadi teman kita." Semua jelas terkejut bukan main ketika mendengar perkataan Gina tersebut. "Lu serius Gin!?" tanya Fia sedikit terkejut, Gina hanya tersenyum saja menatap semuanya, mereka jelas tidak mengerti apa yang sedang dipikirkan Gina sehingga bisa berfikir ingin berteman dengan orang yang telah mengalahkan mereka semua. Sedangkan disisi lain, Gadis tersebut kini melangkah ke arah parkiran dan ia terdiam sejenak ketika tidak melihat keberadaan motor dari sahabatnya serta abangnya. "Loh, kemana? Ini gue ditinggal?" tanya Tia bingung. "Aisshh s**t! Gara-gara tuh bocah siyalan, gue jadi ditinggalin," kata Tia dengan kesal, dengan rasa terpaksa ia berjalan menyusuri trotoar luar sekolahnya tentunya sambil berusaha menelepon Rega ataupun Revan. Tia kembali bergumam, "Ini orang dua kemana si, mana enggak di angkat!" Ketika teleponnya tidak.juga di angkat oleh kedua orang tersebut, baru saja ingin kembali menelepon bunyi klakson membuatnya tersentak kaget dan reflek menoleh ke arah sumber suara tersebut. "Alex!" seru Tia ketika melihat motor sport yang mengklaksonin ia tadi. Laki-laki tersebut menaikkan kaca helm fullface-nya lalu bertanya, "Kok lu tahu ini gue?" "Gue hafal sama motor lu," jawab Tia. "Cocok lu jadi pacar gue," ujar Alex dengan tiba-tiba, Tia jelas mengerutkan keningnya ketika perkataan Alex tidak nyambung dengan jawabannya. "Eh iya, lu lihat Rega atau Revan enggak?" tanya Tia sambil menatap lekat mencari jawaban. Alex terdiam sejenak lalu menoleh ke arah belakang dan berkata, "Enggak, kayanya mereka lagi di tempat tongkrong si." "Siyalan! Gue malah di telantarin kaya gini," kesal Tia yang membuat Alex tersenyum geli karena melihat wakah kesal Tia begitu menggemaskan. Alex bertanya, "Lu mau bareng gue? Sekalian nongkrong sama yang lain." Tia terdiam sejenak sambil mengrnyitkan dahinya yang membuat Alex mengangguk ke atas seolah bertanya dengan kode. "Boleh deh, tapi benaran ke Rega dan Revan kan?" tanya Tia penuh selidik. "Lu takut banget gue culik si," ujar Alex. Tia memingkemkan kedua bibirnya yang tanpa sadar Alex menelan salivanya. "Shitt! Kenapa lu gemesin banget si," batin Alex. "Kalau lu enggak mau ya enggak papa, gue duluan soalnya udah di tungguin," ucap Alex. "Iya iya gue ikut," ucap Tia, ia langsung naik ke motor Alex tentunya dengan memegang pundak laki-laki tersebut. Alex berkata, "Pegangan dong." Tia yang mendengar jelas memukul bahu laki-laki tersebut dengan sedikit kencang hingga membuat Alex meringis perih. "Awskhs gue minta peluk bukan pukulan." "Jangan mimpi kalau belum tidur mah," cetus Tia yang membuat Alex tersenyum tipis lalu menyahut, "Okey. Jangan nyesel ya." Laki-laki tersebut lalu melajukan motornya dengan mendadak hingga membuat Tia tidak ada persiapan selain memeluk Alex. "Lu sengaja ya?!" "Kan gue bilang jangan nyesel," balas Alex, ia kembali melajukan motornya dan menambah kecepatan yang membuat Tia enggan untuk melepas pelukannya, walaupun gadis tersebut mahir dalam melajukan motor tetap saja jika di bonceng dengan keadaan cepat ia akan takut juga. Alex hanya tersenyum tipis dibalik helm fullface-nya sambil sesekali melirik kearah tangan mungil yang melingkar di perutnya, raut wajah Tia jelas ketakutan hingga ia bersembunyi di balik punggu Alex, merasakan hal itu laki-laki tersebut memelankan laju motornya. "Maaf," kata Alex. Tia yang merasa laju motornya sudah memelan ia mendongak dan bertanya, "Sudah sampai?" "Belum," balas Alex, gadis tersebut jelas mengerutkan kening namun ia masih belum sadar tangannya masih melingkar walau laju motor melambat. Alex berkata, "Tadi aja enggak mau meluk, sekarang enggak di lepas." Tia yang mendengar dan tersadar, langsung melepas lingkaran tangan dari perut laki-laki tersebut. "Tadikan lu bawanya kencang, gimana kalau gue jatuh," ujar Tia sedikit kikuk. Alex menyela, "Ya buktinya lu enggak jatuh kan." Gadis tersebut jelas memutar bola matanya dengan jengah mendengarnya. Laki-laki bernama Alex tersebut sebenaenya sedingin kutub utara, namun bersama Tia ia akan menjadi hangat sehangat mentari atau ia akan tetap menjadi es namun es yang menyegarkan. 15 menit kemudian Alex menghentikan laju motornya di sebuah tempat dengan bertulis 'Waroenk Kita' , semua yang tadinya sedang bersendau gurau mendadak berhenti ketika melihat Alex membawa Tia. "Alex kok bawa Tia?" tanya Riko. Bary tersenyum tipis lalu bergumam, "Dia membawa ratunya." Revan dan Rega hanya tersenyum tipis memperhatikan, kedua oramg tersebut yang berjalan ke arah mereka. Tia dengan raut wajah geram tanpa pikir panjang langsung menabok sang abang dan sahabatnya. "Bisa banget lu berdua ninggalin gue, mau gue aduin?! Hah?!" "Lah kan gue udah ngchat lu kalau gue enggak bisa nganter," balas Rega. Revan menibrung, "Lunya aja enggak lihat pesan kita." Gadis tersebut jelas terdiam lalu mengecek handphonenya, dan benar sana kedua laki-laki tersebut bilang tidak bisa bareng pulang. "Tapi tetap aja! Untung ada Alex, kalau enggak gue nanti pulang gimana," cetus Tia dengan raut wajah cemberut. Rega menyela, "Buktinya lu enggak pulang malah kesini kan." "Di ajak." Keempat laki-laki tersebut sontak menoleh dengan tatapan penuh selidik terutama Revan. "Dia nanyain lu berdua, makanya gue ajak kesini," balas Alex dengan datarnya, Tia tidka mengelak yang dibilang laki-laki tersebut itu benar adanya. Tia melihat ke arah sekeliling warung tersebut, tempatnya lega dan nyaman, ia juga melihat banyak anak dari siswa dari sekolahnya. "Bang, ini tempat nongkrong geng lu?" tanya Tia yang kini duduk disamping Revan. Revan menoleh ke arah sang adik lalu menjawab, "Iya ini tempat nongkrong The Boy's." Gadis tersebut sedikit tertegun mendengarnya, pasalnya ia tahu The Boy's tapi tidak tahu ternyata kelima orang tersebut yang memegang tahta tertinggi di geng tersebut. "Lu ikutan?" tanya Tia berbisik dengan tatapan penuh selidik, Revan yang mendengar jelas tersedak minumannya yang membuat keempat sahabatnya menoleh ke arah sahabatnya. Tia mengangguk ke atas dengan tatapan interogasi. "Jangan bilang Bubu." Gadis tersebut kini tersenyum tipis, akhirnya ia ada ancaman untuk membuat sang abang kedua menurutinya. "Okeii, asal jajanin gue," ucap Tia sambil menaikkan kedua alisnya. Revan menatap sang adik penuh curiga sebelum ia berkata, "Oke." "Benar ya?" tanya Tia untuk menyakinkan, Revan hanya berdehem walau perasaannya sebenarnya tidak enak dan merasa curiga. Benar saja, Tia kini beranjak berdiri dan berteriak, "Semuanya jangan pad abayar, hari ini dibayarin Revan." Laki-laki tersebut sontak mendongak ke arah sang adik yang kini tersenyum puasa sambil menaikkan kedua alisnya. "Ti!" "Wah benar nih Van?" "Benar enggak nih Bang? Syukur kalau benar mah, gue lagi boke." Tia menjawab, "Ambil aja jangan khawatir, enggak bakal bohong Revan mah, iya enggak?" Dengan lantang sambil menaikkan kedua alisnya menatap sang abang. Revan hanya menatap pasrah ke arah sang adiknya yang kini beranjak untuk memesan menu yang tersedia di warung tersebut, Alex tersenyum lebar melihat tingkah gadis tersebut yang membuat Bary menatap dengan lekat. "Tumben amad senyum," cetus Bary sambil menaikkan kedua alisnya ketika Alex menoleh ke arahnya. Alex kembali berubah menjadi datar yang membuat Bary tertawa pelan, tidak hanya Bary namun semua juga melihat bagaimana senyum di bibir Alex tercipta. "Sudah ketemu mataharinya ya gitu, jadi cair," ujar Rega. Alex mulai beranjak berdiri untuk memesan minuman, namun ketiga sahabatnya sontak berteriak 'Cie-cie' karena dikira ingin menghampiri Tia yang kini menatap bingung ke arah mereka. "Kangen banget apa engga ngelihat sedetik?" tanya Riko meledek. "A awalnya teman biasa," kata Bary dengan nada nyanyi. Riko menyahut, "B biasa menjadi suka." "C cantik parasmu menggoda" timpal Rega. Tia bergumam, "Pada kenapa si mereka." Sambil menggelengkan kepalanya, Alex yang kini berdiri disamping Tia untuk memesan, menoleh ke arah ketiga sahabatnya yang bernyanyi. "D detak jantung berbicara," timpal Bary kembali. Bary kini mengkode untuk semua mengikuti gerakan tangan yang mulai memukul meja dengan sedikit nama. "Inginku, mengatakan," sahut Riko. "I love you and i miss you," lanjut Rega bernyanyi sambil memukul meja seraya drum dengan semangat. Bary berteriak. "Satu, dua, tiga." "Lagi-lagi ku enggak bisa tidur, lagi-lagi ku enggak bisa makan." Mereka kompak bernyanyi, bahkan Revan juga. "Mati dong," sahut Tia sambil tertawa. Sedangkan Alex memandang kesal ke arah sahabatnya yang menyindirnya lewat lagu. "Pikiranku selalu melayang." Riko kembali bernyanyi melanjutkan. "Wajahmu pun selalu terbayang," lanjut Revan bernyanyi sambil menaikkan kedua alisnya. Bary menyahut, "Asik-asik hoy!" Setelahnya mereka tertawa ketika melihat raut wajah Alex datar menahan kesal. "Lu pada kenapa si?" tanya Tia yang kini duduk di samping Revan, gadis tersebut menyeruput minuman yang sudah digenggamannya. Revan hanya tertawa pelan aja lalu berkata, "Lu itu aja, pesan makan sana, gue enggak mau nanti lu ngadu yang kaga-kaga sama Bubu sama Ayah." Ketika melihat sang asik hanya membawa segelas minuman bewarna. "Belum laper bang," balas Tia. Namun beberapa detik kemudian, seporsi siomay lengkap tanpa pare berada dihadapannya semua yang melihat jelas menatap melongo lalu bertepuk tangan. "Akoh juga mau dong bang Lex," ucap Bary menggoda. "Punya kaki kan? Pesan sendiri," ujar Alex sedikit ketua yang membuat Bary menatap kecewa, sedangkan yang lainnya tertawa puas. Tia berkata, "Gue enggak mau." "Makan, mumpumg di traktir abang lu," kata Alex dengan tatapan manis. "Bang." Tia menoleh ke sang abang dengan raut wajah merajuk. Revan tersenyum lalu berkata, "Kalau enggak mau makan, seenggak hargain itu pemberian orang." Gadis tersebut hanya menghela nafasnya dengan gusar, ia mulai mengaduk siomay agar bumbunya tercampur rata, Tia mulai melahap dengan perlahan tentunya dengan raut wajah yang masih sedikit kesal karena dipaksa. "Katanya enggak mau makan, tapi lahap banget," sindir Rega. "Laper, lu enggak dengae kata Revan? Hargain pemberian orang," cetus Tia dengan tatapan malas ke Rega. Rega yang melihat hanya tertawa pelan dan tangannya mulai mengacak-ngacak rambut sang gadis, Alex jelas merasa panas dan tidak suka. "Ish! Rega! Berantakan rambut gue jadinya," kata Tia sambil membenarkan rambutnya. "Ga, jangan ganggu," ucap Revan tenang, Tia kini memeletkan lidahnya meledek sahabatnya, lalu tertawa kemenangan. Dering telepon milik Tia membuat semuanya menoleh, termasuk Alex yang penasaran. Tanpa pikir panjang Tia mengangkat teleponnya, kali ini ia tidak beranjak dari hadapan mereka. "Halo sayang." Semua jelas sontak terkejut mendengarnya, begitu juga dengan Alex dadanya sesak mendengae kalimat tersebut terlebih raut wajah Tia begitu sangat bahagia. "........" "Iya siap laksanakan." Setelah menjawabnya, telepon mati secara sepihak. Semua menatap Tia seolah banyak pertanyaan yang ingin ditanyain, gadis tersebut jelas mengerutkan keningnya. "Kenapa lu pada?" tanya Tia. Bary berkata, "Siapa Ti yang telepon? Kok manggil sayang gitu." Gadis tersebut yang mendengarnya tersenyum jahil lalu menjawab, "Kepo, yang jelas segalanya buat gue." Ia lalu tertawa membuat Alex semakin sesak mendengarnya. "Spesial banget kayanya sampai bilang gitu," batin Alex.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD