Bab 35

1419 Words
Motor sport hitam melaju membelag jalanan ibukota seolah tidak memperdulikan soal keselamatam, raut wajah yang tenang namun dapat membuat siapapun merinding jelas tergambar di balik helm fullface-nya. Dering telepon membuatnya langsung menyentuh airpods-nya untuk menjawab teleponnya. "Gue lagi dijalan," kata Tia yang lalu mematikan kembali secara sepihak membuat orang yang meneleponnya hanya memandang layar ponselnya. "Gimana Jaw?" tanya Husen. Jawa menghela nafasnya lalu menjawab, "Dia sudah jalan." Laki-laki tersebut menggigit bibir bawahnya sejenak sebelum akhirnta ia menepuk keningnya sambil mondar-mandir seraya pusing. "Gimana kalau Tia tahu kalau 'dia' yang nyerang," kata Husen dengan raut wajah khawatir. "Udah Sen, kita enggak usah khawatir sama Tia. Dia bakal baik-baik saja kok," sahut Reno. Husen menghentikan aktifitas mondar-mandirnya lalu menatap ke arag mereka yang sedang duduk santai di sofa. "Yang gue khawatir bukan Tia, tapi yang bakal dihajar habis-habisan sama Tia," jelas Husen yang membuat mereka terdiam sejenak lalu menatap satu sama lain. "Aisshh! Kenapa lu baru bilang sekarang, kalau dia kalap gimana?" tanya Jawa yang raut wajahnya mulai khawatir. Irgi menyela, "Telepon Rega, cuman dia yang didengar sama Tia." Semua menatap Irgi, Husen yang mendengar jelas manggut-manggut dan langsung menelepon Rega yang masih berkumpul di area sekolah dengan sahabat-sahabatnya. Kelima laki-laki yang menjadi pangeran sekolah, yang selalu di idam-idamkan oleh para siswi sedang berada di area lapangan basket milik sekolah mereka, walau sudah jam sekolah tentu masih banyak siswa-siswi yang berkeliaran di area sekolahnya. "Ga, ada yang telepon nih," teriak Riko yang sedang duduk santai menyaksikan keempat sahabatnya bermain basket. "Siapa?" tanya Rega sambil mendrible bola basket tersebut, Riko sontak melirik ke arah handphone sahabatnya yang masih berdering. "Husen DG," jawab Riko dengan lantang, laki-laki yang sedang mendrible bola sontak terdiam sejenak sambil mengerutkan keningnya sebelum akhirnya melemparkan bola basket tersebut masuk ke ring. Revan, Bary dan Alex jelas memandang dengan raut wajah yang heran, mereka bertiga mengerutkan keningnya bingung ketika melihat Rega berlari ke arah bangku penonton. "Cafe` lu ya?" tanya Riko, Rega yang sedang mengambil handphonenya sontak menatap sekilas ke sahabatnya yang sedang menengguk minuman segar. "Kenapa?" tanya Rega ketika langsung mengangkatnya, Riko hanya menyenderkan tubuhnya di bangku sambil sesekali memandang ke arah sahabatnya. "Ga, gue takut Tia kalap. Dia udah dijalan." Rega yang mendengar jelas menatap dengan raut wajah tidak percaya, sesekali ia menoleh ke arah para sahabatnya yang mengangguk seolah bertanya. Rega menarik nafasnya dalam-dalam sebelum akhirnya menjawab, "Gue otw." Laki-laki tersebut lalu memasukkan ponselnta ke dalam saku celananya, ia mengambil tas-nya dan juga baju seragamnya yang ia lepaskan. "Gue duluan, kalau sempet nanti gue ke Warboy," kata Rega sambil berlari menjauh dari keberadaan para sahabatnya yang memandang curiga. "Heh lu mau kemana?" tanya Bary berteriak, namaun Rega tidak menggubrisnya malah terus melanjutkan larinya. Revan menyudahi bermain basketnya dan melangkah perlahan ke arah bangku penonton. "Dia kenapa?" tanya Revan, Riko hanya menghendikkan bahunya tidak tahu. "Ada keperluan keluarga kali, makanya buru-buru," ujar Bary. "Mendesak," nimbrung Alex yang kini duduk dengan nafas yang sedikit ngos-ngosan karena bermain basket, sekujur tubuhnya jelas berkeringat, ia mendongakkan wajahnya ke arah langit sambil memejakkan matanya. Revan berkata, "Kok gue curiga ya, jangan-jangan." Perkataannya digantung membuat Riko dan Bary menoleh dengan sorot mata yang penasaran, bahkan Alex yang seolah tidak perduli kini memposisikan dirinya menatap sahabatnya. "Jangan-jangan apa?" tanya Bary. "Jangan-jangan dia kebelet berakk," jawab Revan yang membuat ketiga sahabatnya menatap jengah sambil menghela nafas kasar. "Ihhh, gue udah serius-serius malah dibercandain!" seru Bary yang geram, Revan hanya tertawa pelan saja melihat wajah-wajah sahabatnya. Sedangkan disisi lain kini gadis tersebut telah sampai dirumahnya, ia beranjak turun dari motor dan melangkah masuk ke rumah. Yaps, ia ingin mengganti baju terlebih dahulu dan sekalian setor muka kepada sang Ibu. "Tia pulang," ucap Tia ketika berada di ruang keluarga. "Tumben kamu sudah pulang Queen, enggak main dulu emangnya?" tanya Caca yang sedang asik bersantai sambil menonton televisi dengan acara gosip sore hari. "Cuman numpang ganti baju Bu, habis itu cuss lagi," balas Tia sambil melangkahkan kakinya menaiki anak tangga. Wanita paruh baya tersebut sontak menoleh lalu menggelengkan kepalanya pelan. "Baru dibilangin tumben enggak main, pulang kerumah malah ganti baju doang," celeoteh Caca sambil kembali menatap layar televisinya. Caca terdiam sejenak lalu mengerutkan keningnya sebelum mencetus, "Apa dulu Mamih kaya gini kali ya lihat kelakuan gue?" Tia kini telah berganti menggunakan celana levis, kaos hitam serta jaket levis yang melekat menjadi lapisan setelah baju polosnya, tidak lupa juga dengan tas selempang untuk menarug handphone serta dompetnya. Gadis tersebut menuruni anak tangga sambil berdendang mengikuti alunan lagu yang tersambung ke airpodsnya. "Astaga! Tia!" seru Caca ketika anak gadisnya tiba-tiba saja memeluknya dari belakang, Tia hanya menyengir kuda saja. "Kalau Bubu jantungan gimana? Kamu ini bikin kaget, kok enggak ada suara langkah kaki kamu," ujar Caca sambil memegang dadanya yang terus berdebar karena terkejut. Tia menyahut, "Sengaja." Wanita paruh baya tersebut lalu menggelengkan kepalanya pelan, ia lalu melihat anak gadisnya yang sudah berganti baju. "Kamu mau kemana si Queen? Habis pulang sekolah bukannya istirahat malah mau pergi lagi," celeoteh Caca yang membuat Tia kini tersenyum manis dan kembali merangkul sang Ibu. Tia berkata, "Sebentar kok Bu, ada teman minta bantu bikin kejutan." Wanita paruh baya tersebut melirik ke arah anak gadisnya sambil mengerutkan keningnya. "Jangan malam-malam pulangnya, kalau bisa sebelum abang Rey dan Ayah pulang," kata Caca memperingati. Gadis tersebut kini berdiri tegap lalu berlaga hormat sambil berkata, "Siap laksanakan Nyonya!" Wanita paruh baya tersebut yang mendengarnya hanya menggelengkan kepalanya pelan. "Hati-hati jangan ngebut, apa kamu mau bawa mobil?" tanya Caca yang kini ingin beranjak berdiri, gadis tersebut reflek mendudukkan kembali sang Ibu yang membuat wanita paruh baya tersebut mengerutkan keningnya. "Aku naik motor Bu, kalau naik mobil macet, nanti kalau pulangnya telat gimana?" Caca terdiam sejenak lalu berpikir atas perkataan yang dilontarkan anak gadisnya. "Yasudah kalau gitu, ingat jangan pulang malam-malam," ucap Caca memperingati, Tia kini mengecup sekilas pipi sang Ibu sebelum akhirnya melangkahkan kakinya keluar dari rumahnya tersebut. Gadis tersebut kembali menaiki motor yang terparkir di halaman rumahmya, ia memakai helm fullface-nya sebelum melaju dengan kecepatan standar keluar dari area rumahnya tersebut. "Mari bermain," gumam Tia sambil menampilkan smirknya di balik helm fullface-nya. 25 menit kemudian Tia sudah sampai disebuah bangunan yang tampak terbuat dari seng yang di cat hitam full, ia memarkirkan motornya dan membuat semua orang yang berada disana jelas terdiam menoleh. Gadis tersebut melepas helm fullfacenya dan menatap datar ke mereka yang kini menunduk hormat. "Sudah ketemu siapa pelakunya?" tanya Tia sambil turun dari motor. Gadis tersebut mencepol rambutnya hingga menampilkan jenjang leher putih bersihnya, dan terlihat tato mahkota yang kecil namun disegani oleh siapapun yang melihatnya. "Belum Queen," ujar salah satu dari mereka. "Jawa mana?" tanya Tia dengan nada datarnya, belum sempat mereka menjawab deruan beberapa motor sontak membuat mereka menoleh secara bersamaan begitu juga dengan Tia. Gadis tersebut memandang datar saja kepada mereka yang baru saja datang. "Kita tutup cafe` dulu tadi," kata Husen, Tia hanya manggut-manggut sambil memutar kedua bola matanya dengan malas. "Besok lu ganti aja cctv jadi bodyguard, masaiya pelakunya belum ketahuan ada cctv segede gaban gitu, lu juga pada ngapain saja sampai bisa ini dibikin hancur," kata Tia dengan nada datar namum mampu membuat mereka diam tak berkutik. Rega kini menghembuskan nafasnya perlahan lalu menghampiri Tia yang terlihat kesal. "Lu mau minum apa?" tanya Rega dengan lembut yang membuat gadis tersebut terdiam lalu melangkahkan kakinya untuk duduk di sofa yang sudah tidak baru lagi. "Maaf Queen kami lalai, mereka jago-jago," ujar salah satu mereka sambil menunduk karena bersalah, Rega memberi kode kepada salah satu dari mereka untuk membawakan minuman. Tia menyela, "Kalau enggak lalai juga gue enggak akan datang kesini. Guna lu pada berlatih apaan si? Perasaan fasilitas fisik sudah gue lengkapin." Mereka semua menunduk pasrah akan omelan yang dilontarkan gadis tersebut. "Ti." "Cukup dengan kata maaf saja, enggak usah segala ditambahin mereka jago. Gue milih lu pada-pada karena gue percaya lu, apa selama ini gue salah pilih?" tanya Tia dengan sarkasnya, ia melirik dengan tajam membuat Rega akhirnya berkata, "Kalian pada ke dalam sana, latihan." Semua menunduk hormat lalu melangkahkan kakinya menjauh dari keberada mereka berlima. "ARGGHHHH!!! SIYALAN! SIAPA SI YANG BERANI GANGGU KETENANGAN GUE!" seru Tia sambil menendang meja hingga membuat botol kaca minuman berserakan pecah, semua yang mendengar jelas bergidik ngeri. "Gue lagi cari tau Ti," kata Husen. Jawab menimbrung, "Kita pasti temuin orangnya." "Gue yakin nih orang tahu gue," ucap Tia yang membuat keempat laki-laki tersebut mengerutkan keningnya menatap penasaran ke arah gadis tersebut. Rega menyela, "Enggak ada yang tahu soal lu Ti." Gadis tersebut yang mendengar hanya menyeringai kecil saja, ia memposisikan dirinya bersandar di sofa yang ia duduk dengan tatapan penuh kelicikan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD