"Ng-ngapain kamu di sini? Malam-malam lagi," tanya Rafael sembari membuka pintu mobil, hendak mendekati tempat dimana Alana kini berdiri membeku.
"Aku, aku dari rumah, rumah temen." Alana bingung harus menjawab apa.
"Jalan kaki? Sendirian?" Rafael memiringkan kepala, menyipitkan pandangan matanya ke arah Alana dengan curiga.
"I-iya."
"Aneh." Rafael menggosok dagunya, melirik sekali lagi pada Alana.
"Kebetulan sekali, kita bertemu di sini. Uhmm .... ada hal yang perlu aku bicarakan," kata Alana tak mau membuang waktu lagi.
Dia menganggap ini adalah takdir Tuhan, mungkin pertemuan yang tidak disengaja ini adalah tanda yang Tuhan berikan untuknya.
"Kita bicarakan?" Rafael mengulang.
Alana mengangguk, memastikan jika yang di dengar oleh pria itu tidak salah.
"Tapi enggak di sini, hmmm ..."
lanjutnya.
"Kalau kamu tidak keberatan, kita bisa bicara di rumah kamu-"
"Jangan!" sela Alana menolak dengan tegas.
"Jangan di rumahku, hmmm ... gimana kalau di-"
Alana melirik ke arah mobil, ia tahu kalau Rafael tidak sedang sendirian, ada dua orang pria lain disana. Tak mungkin rasanya jika ia ikut naik ke dalam mobil yang dipenuhi pria asing, yang tak ia kenal. Apa kata orang nanti.
"Ya sudah ke kafe saja, gimana?" tawar Rafael.
Alana merasa tak punya pilihan lain pun akhirnya setuju dan mengangguk mengiyakan.
"Kalau begitu sampai jumpa di kafe ya?" katanya sambil kembali meneruskan langkahnya menuju jalan besar tempat halte berada, dari sana ia bisa naik taksi ataupun bus.
"Alana, kamu mau kemana?" teriak Rafael coba hentikan langkah Alana. Gadis itu berbalik sambil berjalan mundur.
"Nyari bus!" jawabnya.
"Loh, kamu kan bisa naik mobil sama aku."
"Enggak, kita ketemuan saja di kafe!"
"Dah!" Alana melambaikan tangan.
Gadis itu berbalik dan tinggalkan Rafael yang keheranan dengan sikap absurd-nya.
***
Rafael sudah duduk hampir dua puluh menit lamanya di lantai satu, ia sengaja memilih meja pojok, agar dapat melihat pemandangan luar. Sekaligus agar ia tahu jika gadis yang ia tunggu sudah datang.
Ia tak sabar ingin tahu apa yang akan gadis itu bicarakan. Terlebih sikap yang ditunjukkan Alana saat di kantor dan baru saja, terlihat sangat berbeda. Hati kecil Rafael yakin jika gadis itu telah berubah pikiran dan mau menerima tawaran darinya.
Tak berapa lama Alana akhirnya datang. Gadis itu langsung tahu dimana Rafael biasa duduk. Di saat pertama kali mereka bertemu, Rafael juga sedang duduk di tempat itu. Meja pojok, tempat yang punya jangkauan luas dibandingkan lainnya.
"Maaf sudah membuat kamu menunggu," kata Alana. Pria di hadapannya mengangkat pandangan, lalu mempersilakan ia duduk.
"Apa yang mau kamu bicarakan?" Rafael tampak tak mau membuang waktu, dia langsung menembak Alana dengan pertanyaan inti.
Gadis itu terlihat gusar, jemarinya bertaut dan saling meremas, ia menunduk, lalu beberapa kali tangannya membenarkan letak kaca matanya.
"Aku-" Alana berusaha mengumpulkan nyalinya.
"Aku-" Kembali ia mengulang kata-kata itu, namun lagi-lagi terhenti. Lidahnya mati rasa, sehingga ia sulit menggerakkannya.
"Apa?" Suara Rafael meninggi.
"Aku bersedia melakukan tawaran dari kamu," ucap Alana masih dengan nada ragu.
"Apa?" Rafael justru berpura tidak mendengarnya dan memaksa Alana untuk mengulang kata-katanya.
"Aku bersedia menikah dengan kamu," ulang Alana dengan lebih jelas lagi. Di saat itu, seandainya bisa, dia ingin menghilang saja, melebur di lantai kalau perlu. Karena bagi Alana ini adalah tindakan paling memalukan yang pernah ia lakukan.
"Kamu yakin? Jadi sudah berubah pikiran nih?" Rafael bertanya dengan nada sinis.
Alana menghela nafas dalam-dalam, lalu ia segera berdiri.
"Tidak jadi!" ketusnya lalu berjalan pergi.
Rafael mendesis, lalu dengan satu gerakan cepat ia segera menyusul Alana, menarik lengan dan menahan gadis itu agar tidak pergi.
"Kamu mau kemana? Kita kan belum selesai bicara," bisiknya seraya terus mencengkeramnya.
"Anggap saja aku tidak pernah mengatakan hal itu," sesalnya, ia kesal sekali dengan Rafael. Mungkin jika bukan karena kelakuan mamanya yang menggadaikan tanah tanpa bisa membayar, hal ini tak perlu ia lakukan. Sungguh sesuatu yang jauh dari prinsip hidup Alana. Meski selama ini, dia sering kekurangan uang, tapi Alana tak pernah menggadaikan harga diri seperti ini.
"Okay aku setuju. Kita akan menikah!" lirih Rafael membisik di telinga Alana, lelaki itu masih berdiri di belakang Alana, tangannya mencengkeram lengan si gadis, namun dengan gerakan lembut sehingga Alana tak kesakitan.
"Tapi-"
"Tapi aku punya syarat!" ujar Alana, yang menerbitkan senyum di wajah Rafael. Senyum misterius yang tidak terbaca.
"Kalau begitu sampai jumpa besok, sekarang sudah malam, sebaiknya kamu pulang. Supirku akan mengantar kamu," ucap Rafael lalu tangannya terangkat seperti memanggil seseorang. Selang beberapa detik kemudian, seorang lelaki berseragam supir datang menghampiri mereka.
"Tolong antarkan Nona Alana ke rumahnya," suruhnya pada lelaki berkumis itu.
"Siap bos!"
***
Kini Alana sedang berada di dalam mobil mewah milik Rafael, dia memilih diam dan tak mau banyak bicara dengan supir berkumis yang sedari tadi memerhatikan dirinya. Entah apa yang ada di dalam pikiran supir itu yang jelas Alana beberapa kali mendapati pria itu sedang melihatnya dari kaca spion tengah.
"Non, maaf ya kalau saya lancang," celetuknya tiba-tiba, memecah keheningan yang sengaja Alana ciptakan.
"Iya, Pak?"
"Saya mau tanya sesuatu.'
"Oh, silakan Pak."
"Non ini siapanya pak Bos ya? Kok saya baru melihat sekali ini?" Dahinya mengerut, kentara sekali kalau pria itu penasaran.
"Saya temannya, Pak," jawabnya singkat.
"Teman kuliah, atau teman sekolah?"
"Teman di -" Alana berpikir sejenak, coba cari alasan masuk akal.
"Di sekolah kolong untuk anak-anak jalanan, Pak," sambungnya.
Si supir pun tersenyum, lalu ia manggut-manggut. Tak lama kemudian pria itu hentikan laju mobil tepat di depan rumah nenek Alana.
"Sudah sampai, Non."
"Lho, bapak kan belum saya kasih tahu di mana rumah saya. Tapi kok bapak sudah tahu kalau ini rumah saya?" Alana mengernyitkan kening penasaran.
"Waduh!" Si supir memukul kepalanya.
"Lho, emangnya kenapa, Pak?"
"S-saya seharusnya berpura-pura belum tahu rumahnya Non, begitu perintah Pak bos. Eh malah lupa akting," kekehnya sambil menyengir kuda. Alana pun terbahak.
"Lalu bagaimana caranya bapak tahu kalau ini rumah saya?"
"Hmmm... tapi Non janji jangan bilang sama Pak Bos ya?" Alana mengangguk setuju.
"Sudah empat hari ini saya disuruh buat mengawasi Non, saya juga disuruh ngikutin Non kemana-mana."
"Siapa yang nyuruh, Pak? Rafael?" Alana memastikan, ia tak mau dituding ke ge-eran. Si supir mengiyakan.
"Oh, ya sudah kalau begitu. Terima kasih ya, Pak?" Alana hentikan basa-basinya, ia segera turun dari mobil dan masuk ke dalam rumah.
***
Rafael baru saja masuk ke dalam rumah sebesar istananya, di saat dua pasang mata wanita di ruang tengah menatapnya. Arnetta, dan Cassandra-mamanya.
"Jam segini kok baru pulang, Sayang," Cassandra langsung berdiri dan menghampiri putranya. Memeluknya dengan sayang seolah tadi siang tidak terjadi apa-apa di antara mereka. Rafael dengan malas dan terpaksa membalas pelukan Cassandra, di kesempatan ini Arnetta tak mau membuang waktu. Wanita itu langsung menggelayut mesra di lengan Rafael.
"Hun, aku mau bicara sesuatu sama kamu," bisiknya.
Rafael berusaha lepaskan gelayutan Arnetta, pria itu tak dapat tutupi rasa risihnya.
"Lepas, Netta."
"Gak ada yang perlu kita bicarakan!" Rafael tak pedulikan dua wanita itu, dengan langkah cepat ia meninggalkan ruang tengah, setengah berlari menapaki tangga yang mengular ke lantai tiga.
"Rafa, kita harus bicara!" Arnetta berteriak, diikuti dengan teriakan Cassandra.
"Rafael! Arnetta mau bicara sama kamu, please jangan bersikap childish begini!"
Persetan dengan ocehan mereka berdua, yang Rafael lakukan justru segera mengunci kamar dan menutup kedua telinga dengan earphones. Dia sedang berusaha menelepon seseorang. Tak berapa lama panggilannya pun dijawab.
"Halo Om .... " Dia menelepon Om Barata, sahabat almarhum sang papa, yang sudah menganggap dia seperti anak sendiri.
"Rafael, lama sekali kamu tidak menghubungi Om. Bagaimana kabar kamu?" sahut Barata dengan ramah.
"Baik, Om. Maaf, beberapa waktu ini Rafa sibuk, oh ya Om bagaimana kabar tante dan Oma?" tanyanya basa-basi.
"Semuanya baik, kamu sendiri dan mama kamu gimana kabarnya? Oh ya, Om denger-denger kamu akan segera menikah," tanyanya.
"Iya Om, oleh sebab itu saya menelepon Om, karena saya ingin menanyakan sesuatu. Tentang teman Om yang membuka jasa pernikahan siri," ucap Rafael terkesan tergesa-gesa, dia sangat percaya pada Barata, dia yakin sahabat karib papanya itu mau dan bisa membantunya.
"Lho, memangnya siapa yang mau menikah siri?" tanya lelaki itu.
"Saya, Om."
"Jangan becan-"
"Saya serius, Om." Nada suara Rafael sama sekali tak menunjukkan ketidak seriusan.
Suara Barata seketika berhenti, lelaki itu pasti sedang tercengang mendengarkan apa yang Rafael katakan.