Alana berusaha berontak, namun tampaknya sia-sia. Sang mama dan suami barunya menyeret tubuh Alana memaksanya masuk ke dalam mobil.
"Masuk!" lengking Lely.
"Tutup pintunya. Mas!" suruh Lely pada Hanung. Lelaki itupun segera mengunci pintu mobil, dan gegas melajukan mobil sedan putih miliknya meninggalkan halaman luas rumah besar itu.
"Ma, Lana sudah bilang, Lana gak mau. Devan tidak mencintai Alana, Ma. Jadi untuk apa pernikahan ini diteruskan?" Gadis itu masih berharap ada sedikit kelembutan yang tersisa di hati Lely, meski ia sendiri tidak yakin akan hal itu.
"Kamu bisa diam gak, Lana?" teriak Lely seraya menutup telinganya.
"Kamu ikuti saja apa kata mama kamu, Lana. Jangan membuat keadaan semakin sulit." Hanung ikut berbicara.
Alih-alih melawan, Alana justru memilih diam, dan hentikan perdebatan tanpa ujung ini. Dalam hati ia bertekad untuk tetap teguh pada keputusan awalnya. Sudah terlalu lama ia diam dan mengalah dengan segala keegoisan dan arogansi sang mama. Kini saatnya Alana menentukan sikap. Dia bukanlah gadis kecil lagi yang bisa dijadikan boneka mainan oleh Lely.
Mobil yang dikemudikan Hanung akhirnya berhenti di sebuah rumah dengan gaya mediterania. Rumah besar bercat putih dengan pagar tembok tinggi mengitari, pohon palem berjajar rapi di depannya. Rumah milik keluarga Atmaraga.
"Cepetan keluar!" bentak Lely dengan kasar, sembari membuka pintu mobil belakang. Alana pun keluar seperti yang diperintahkan Lely.
"Kamu tahu kan Lana, apa yang harus kamu lakukan?" tanya Lely sambil meremas lengan Alana dengan keras. Gadis itu mengangguk mengerti.
"Kali ini jangan buat kekacauan lagi, kalau kamu gak mau kehilangan rumah nenek," ancam Lely. Alana lagi-lagi mengangguk. Tanpa banyak bicara lagi, Lely menyeret Alana masuk ke rumah besar milik keluarga calon besannya.
Atmaraga sendiri adalah sahabat dari almarhum papa Alana. Keluarga Devan sejatinya punya hutang budi besar kepada keluarga Alana. Oleh sebab itu Lely menggunakan kesempatan ini untuk meminta balas budi, dengan merelakan Devan untuk menikahi Alana. Jadi, pada dasarnya hubungan Alana dan Devan memang pemaksaan kehendak.
Gadis bermata bulat itu sedang kuatkan hatinya, ia berusaha tegar agar tak terlihat lemah di mata Devan dan keluarganya. Setelah menunggu cukup lama, akhirnya salah seorang asisten rumah tangga Atmaraga keluar. Bi Ruminah, menyapa mereka dengan ramah, dan mempersilakan mereka masuk ke ruang tamu.
"Bi Rum, kok ada mobil di depan. Mas Atma lagi ada tamu ya?" tanya Lely penasaran tatkala melihat sebuah sedan sport mewah terparkir di halaman depan.
"Oh iya, Bu Lely, memang lagi ada tamu istimewa."
"S-siapa?" tanya Alana, meski ia sudah menduga mobil siapa itu, akan tetapi ia ingin memastikannya saja.
"Calon istri Mas Devan," celetuk Bi Rum, yang sontak membuat Lely naik pitam. Tanpa basa-basi Lely merangsek ke dalam rumah, Bi Rum kelabakan berusaha menghentikan tamu tidak tahu sopan santun itu.
"Bu Lely!" Bi Rum panik, tapi dihiraukan oleh Lely.
"Saya mau ketemu sama Devan dan Mas Atma," kata Lely berteriak seperti orang gila.
Sontak acara makan malam hangat untuk menyambut calon mantu baru itu buyar karena Lely bergabung ke ruang makan.
"Oh, jadi gini ya cara Mas Atma membalas budi semua kebaikan almarhum suami saya?!" Mama Alana memekik keras hingga terdengar sampai ruang depan.
Alana sudah dapat menduga apa yang selanjutnya terjadi, tapi dia memilih tetap berada di ruang tamu. Ia tak mau terlibat kegilaan mamanya.
"Lana, bantuin mama kamu sana!" suruh Hanung, tapi Alana tak merespon, dia hanya melirik lelaki itu sambil tersenyum lalu duduk kembali.
"Mas Atma, kamu sudah berjanji kepada almarhum suami saya untuk menjodohkan anak-anak kita. Tapi kenapa kamu mengingkari janji itu, Mas?!"
"Lely, diam kamu. Saya sama sekali tidak mengingkari janji saya, yang memutuskan pertunangan ini juga bukan Devan, tapi putri kamu yang cacat dan belagu itu!" Atmaraga ikut berteriak tak mau kalah dengan mantan sang calon besan.
"Kalau anak-anak kita bertengkar, kita sebagai orang tua harusnya menasehati mereka, bukan malah mendukung kelakuan anak kamu yang selingkuh itu!" Lely melengkingkan suaranya.
"Jeng Lely, kamu itu harusnya mikir ya! Kenapa anak saya tidak mau menikah dengan anak kamu, jelas dia lebih memilih Clarissa yang cantik pintar dan kaya. Kamu jangan seenaknya menyalahkan anak saya, ya!" Mama Devan tak mau kalah. Hanya dalam waktu sekejap keributan besar terjadi, Alana tak tahu Devan dimana karena di antara teriakam-teriakan yang terjadi tak ada suara darinya.
"Lana, cepat kamu kesana, bantuin mama kamu!" panik Hanung.
Alana pun akhirnya berdiri, gadis itu tersenyum mantap sebelum akhirnya melangkahkan kaki masuk ke ruang makan. Sesampainya di sana, ia melihat sang mama yang berdiri menghadap sepasang suami istri itu dengan mata melotot. Mama dan Papa Devan berdiri tegang, menatap Lely dengan penuh kemarahan.
"Kalau kamu punya malu, seharusnya kamu tidak melakukan ini Mas Atma. Ingat, jika bukan karena suami saya, kamu tidak akan bisa memiliki semua ini. Dasar manusia gak tau balas budi!" Lely kembali menyerang.
"Jaga mulut kamu, Lely! Selama ini saya sudah cukup sabar dengan sikap kamu yang selalu saja mengungkit tentang hutang budi saya. Tapi kali ini saya pastikan tidak akan diam, terlebih ini mengenai kebahagiaan masa depan putra tunggal saya."
"Janji adalah hutang Mas Atma, kamu sudah berjanji pada papanya Alana, dan kamu harus menepatinya, saya tidak mau tahu!"
"DIAM!!" Alana berteriak keras, ia coba hentikan perdebatan mereka.
"Lana?" Atma terlihat kaget saat tahu bahwa Alana ada bersama Lely.
"Mana Devan, Om?" tanyanya dengan berusaha bersikap setenang mungkin.
"Lana, maafkan Om, sama sekali Om tidak bermaksud menghina kekurangan kamu—" Atma merasa bersalah karena telah membawa kecacatan Alana ke dalam pertengkaran ini.
"Gak apa-apa, Om." Alana berusaha tetap tersenyum meski hatinya sekarang seperti sedang dilelehi oleh lava pijar, panas dan menyakitkan.
"Bi Rum, panggil Devan di kamarnya," suruh mama Devan.
"Sekalian Clarissa-nya suruh turun, Tante," sahut Alana.
Mama Devan tampak kaget, dan kemudian menyuruh Bi Rum untuk memanggilkan keduanya.
Hanya selang beberapa menit, Bi Rum turun, di belakangnya ada dua orang lain, Devan dan Clarissa.
"Kamu mau apa lagi, Lana? Kamu sudah tahu kan kalau aku lebih memilih Clarissa dibandingkan kamu? Sebaiknya kamu pergi dari rumah aku. Tidak ada lagi yang perlu kita bicarakan," kata Devan sembari terus menggenggam jemari perempuan berambut panjang kemerahan itu.
"Kamu itu cacat, Lana. Seharusnya kamu sadar diri, seberapa keras pun kamu mengemis buat jadi istri aku. Sorry aku gak bisa." Dengan penuh percaya diri Devan mengatakan hal itu kepada Alana.
Lelaki itu sangat yakin kedatangan mantan tunangannya ke rumah adalah untuk memohon agar ia mau menikahinya.
Meski begitu ia tetap tersenyum, hingga membuat mamanya terkejut dengan sikap aneh yang ia tunjukkan.
"Apa masih ada yang mau menghina kekurangan saya lagi?"
celetuk Alana. Kontan semua pandangan orang di rumah itu tertuju padanya.
Sebaliknya, semuanya malah terdiam, mama Devan yang pada mulanya sedang on fire, terlihat melunak. Devan salah tingkah, sedangkan mantan sahabat Alana, yang bernama Clarissa itu tak berani mengangkat pandangannya.
"Alana, maafkan Om. Bukan begitu maksud Om," Atmaraga kembali memohon.
"Apa Om lupa. Kenapa kaki saya sampai cacat?" Alana menatap Atmaraga dengan senyum seringai, yang entah kenapa membuat pria berjenggot itu meneteskan keringat dingin.
"Lana, tolong jangan bahas ini disini," mohonnya.
"Papa memberitahu Lana semuanya Om, sebelum papa meninggal."
"Lana, Om mohon," kata Atmaraga, tapi sepertinya Alana sudah tak pedulikan permohonan pria tua itu.
"Apa maksud omongan kamu, Lana?! Apa ada yang kamu rahasiakan dari mama?" Lely terkesiap tak percaya saat mendengar ucapan putrinya.
"Jadi, sebenarnya kematian papa dan cacatnya Alana ada hubungannya dengan kejahatan yang dilakukan Om Atmaraga." Alana memulai ceritanya.
"Lana Om mohon, jangan di sini, jangan di depan anak dan istri Om."
Alana menjadi saksi bisu dari kejadian tragis itu. Sebenarnya almarhum papanya berpesan agar merahasiakan hal ini, termasuk dari sang istri—Lely.
"Om Atma saat itu dikejar dan hampir dihakimi massa. Kalau bukan karena papa, mungkin Om tinggal nama saja sekarang."
Atmaraga menunduk, dia malu setengah mati mengingat kejadian itu.
"Lana, apa maksud kamu?!"
"Papa kamu pencuri Devan, dia mencopet tas seorang wanita hamil di pasar loak, papa kamu saat itu jadi tukang parkir di pekan raya. Dan kamu tahu apa? Karena menolong papa kamu itu, aku dan papa aku sampai tertabrak."
Devan tersenyum sinis, dia tentu saja tak percaya dengan apa yang dikatakan Alana. Mana mungkin papanya yang kaya raya ini menjadi pencopet.
"Pa, jangan diam saja! Panggil satpam, Pa! Usir mereka dari rumah kita!" sergah Devan.
"Iya, Pa. Mereka ini orang gila, omongannya ngelantur ke sana-sini." Mama Devan terlihat khawatir dan ketakutan.
"Tante, tenang saja, Tante gak perlu mengusir saya dari rumah ini. Dengan sukarela saya akan pergi dari sini." Alana pun pergi, berjalan pelan meninggalkan ruang makan itu. Baru beberapa langkah, air di pelupuk mata yang sedari tadi ia tahan akhirnya luruh juga. Membasah di pipinya.
"Lana, tunggu, mau kemana kamu!" Lely dengan cepat menyusulnya.
"Ma, lepasin Lana."
"Lana mau pergi!"
"Kamu sudah tidak waras ya! Kamu mengacaukan segalanya, mama pikir kamu sudah tahu apa yang seharusnya kamu lakukan. Ternyata kamu malah membuat runyam keadaan!" Lely menjambak Alana dengan kasar, namun segera dipisah oleh Hanung.
"Ma, jangan disini. Jangan ribut lagi di sini, kalau sampai ada yang lihat, nanti kamu dilaporin atas kasus KDRT lho," kata Hanung yang membuat Lely melepaskan rambut Alana.
Sesampainya di luar pagar rumah Devan, Lely kembali murka.
"Kamu pulang jalan kaki sana! Anak gak tahu diuntung, kalau habis ini rumah nenek kamu disita karena kebodohan kamu yang gak mau nurut sama mama. Kamu jangan nyalahin mama ya!" Lely menunjuk muka Alana dengan jemarinya.
"Ayo mas, kita pergi. Biarkan anak itu jalan kaki," katanya lalu segera masuk mobil dan benar-benar meninggalkan Alana sendirian. Lidahnya sudah terlalu kelu, dia tak mau lagi menjawab tanya, ataupun memohon agar Lely mengasihaninya.
Dalam otak Alana sudah ada rencana matang, yakni menerima tawaran Rafael. Hanya dengan itu dia bisa menyelamatkan tanah dan rumah sang nenek. Dan dengan itu pula ia bisa terbebas dari mamanya.
Alana menyusuri jalanan, ia terpaksa harus berjalan kaki hingga keluar dari area perumahan untuk kemudian mencari bus. Tapi baru beberapa langkah, entah kenapa, mungkin ia kelelahan hingga kehilangan fokus. Dia menyeberang tanpa melihat ke kanan dan kiri, sehingga hampir saja ditabrak oleh sebuah mobil yang melintas. Untung saja mobil itu melaju dalam kecepatan rendah, jika tidak mungkin Alana sudah pindah alam sekarang.
Ia menoleh ke arah pengemudi mobil yang ia yakini, kini pasti sedang menyumpahi dirinya. Ia tak punya modal lain selain mulutnya untuk meminta maaf, lagipula tak ada yang terluka. Masih dalam mode panik sekaligus terkejut karenanya, ia berusaha mendekati mobil tersebut, berniat minta maaf.
Baru saja mulut Alana ingin mengucapkan kata maaf, dengan cepat ia mengunci bibir saat tahu siapa gerangan yang ada di balik kemudi.
"Ra-Rafael?"
"Alana?"