Dua manusia dalam satu takdir

1921 Words
Rafael tampak berantakan, ia baru saja memarkir mobilnya di depan sebuah klinik yang tak lain adalah tempat praktik Nathaniel. Dia tak bergegas keluar untuk menghampiri Nathan yang sudah terlihat menunggunya di depan pintu klinik. Beberapa saat Rafael memilih berdiam di dalam mobil, ia sedang menimang kembali keputusannya untuk meminta tolong kepada Nathan dan satu sahabat lainnya yang bernama Ibra. Ia merasa gamang dan bingung, dia tidak tahu harus meminta solusi kepada siapa lagi kalau bukan mereka. Ia butuh wanita sewaan secepatnya untuk dinikahi secara kontrak. Ia yakin Ibra punya stok segudang wanita yang mau menjalani bisnis ini. Namun, Rafael tak yakin jika temannya itu punya wanita sebaik Alana. Alana? Kenapa tiba-tiba, nama gadis yang menolak tawarannya mentah-mentah itu terbesit di kepalanya, ah s**t! Rafael mendengus kesal kala ingat bagaimana keras kepalanya gadis miskin itu. Setelah kurang lebih lima belas menit lamanya, Rafael pun akhirnya membuka pintu mobil dan bergegas keluar. Dia tak mau membuat Nath menunggu lebih lama lagi, kasihan juga, apalagi temannya itu tadi mengeluh kelaparan. Ia segera mendatangi pria tinggi dengan kulit putih itu, Nath memang tampan, wajahnya bisa dikatakan sebelas dua belas dengan personil boyband dari Korea yang lagi hits. Oleh sebab itu, dulu pas masa mereka masih duduk di bangku SMA, Nath kerap menjadi buruan para gadis. "Lama banget, sih. Habis ngapelin cewek yang tadi ya?" kekeh Nath. "Bawel," sahut Rafael. "Jadi makan gak nih?" tanyanya. Nath pun mengangguk pelan, ia kemudian tersenyum ke arah sahabatnya. "Siapa sih sebenarnya cewek tadi siang?" tanya Nath dengan nada penasaran. "Sudahlah, aku gak mau bahas dia. Lebih baik kita pergi sekarang, karena Ibra udah nungguin kita." Keduanya pun langsung tancap gas menuju apartemen Ibra, bicara soal Ibra, dia adalah anggota geng Rafael yang paling muda, tapi juga paling gila. Bagaimana tidak, dalam dua tahun Ibra bisa ganti pasangan dua puluh lima kali. Parahnya lagi, masih saja ada wanita yang mau dia jadikan kekasih. Tak berapa lama, sampailah keduanya di apartemen milik Ibra, di sebuah kawasan elit, karena Ibra sendiri adalah salah satu model terkenal dengan penghasilan tinggi. "Ini tempat Ibra yang baru?" tanya Nath saat mereka baru saja keluar dan masuk ke lobby, Rafael mengangguk. "Dia lagi di atas angin, karirnya makin melesat akhir-akhir ini," jelas Rafael yang hanya dijawab anggukan oleh Nath. "Oh pantas saja." Nath lama tidak di Indonesia, dia baru pulang beberapa bulan terakhir ini. Jadi dia sudah cukup banyak ketinggalan perkembangan mengenai teman-temannya. Tak berapa lama kemudian, mereka berdua sudah berdiri di depan sebuah unit yang terletak di lantai teratas gedung apartemen. Penthouse mewah dengan private pool, Ibra sering menggelar pesta disana. Pesta bikini dengan para perempuan cantik, dan model pendatang baru yang sedang mencari muka kepada Ibra. Rafael— dengan tidak sabar, memencet bel pintu berkali-kali, ia sengaja melakukan hal menyebalkan itu untuk membuat Ibra kesal. Dia memang jahil dan sangat suka mengerjainya. "Kebiasaan!" rutuk Ibra dengan wajah cemberut saat membukakan pintu, sedangkan dua pria tampan itu justru tertawa melihat wajah manyun Ibra. Setelah beberapa saat berbincang, Ibra pun paham akan duduk masalah yang sedang melanda Rafael. "Jadi, intinya kamu butuh wanita buat melakukan pernikahan kontrak, kan?" Rafael mengangguk mengiyakan. "Gampang sih kalau itu, banyak kok kenalan aku, bahkan model yang berada satu agensi bisa dan mau melakukan bisnis itu." "Oh ya?" Nath tampak kaget dengan pernyataan yang keluar dari mulut Ibra. "Kamu juga mau, Nath?" tanya Ibra dengan wajah serius, dengan cepat pria tampan itu menggeleng. Di antara mereka bertiga, hanya Nath-lah yang paling lurus hidupnya. Di saat sekolah nilai akademisnya selalu cemerlang, pun saat kuliah, lulus pun menyandang gelar Summa c*m laude. Nath sebenarnya selalu membuat kedua sahabatnya iri. Di usianya yang ke dua puluh lima, pria itupun masih mempertahankan keperjakaannya. Berbeda dengan dua temannya yang telah lebih dulu melepas, jika Rafael lepaskan kepada Arnetta saja. Berbeda halnya dengan Ibra yang memang suka gonta-ganti pasangan sesering mengganti kaos kaki. "Kamu butuhnya kapan sih? Memangnya tante Sandra, gak bakalan marah kalau tahu kamu melakukan ini?" tanya Ibra. "Aku gak peduli soal hal itu, lagipula yang memberikan syarat konyol itu kan dia sendiri, aku cuma ngikutin permainan mamaku saja." Rafael menyeringai. "Kalau kamu yakin dengan ide ini," "T-tunggu dulu!" Nath yang sedari tadi diam saja akhirnya membuka mulut. "Apa?" Rafael menoleh dan menatapnya. "Apa gak terlalu beresiko ya, sewa wanita buat melakukan nikah kontrak. Gimana kalau sampai hal itu bocor ke media? Bukankah hal itu bakal merugikan kamu sendiri, Raf?" Ucapan Nath ada benarnya juga, tapi Rafael tidak punya pilihan lain. Ia terlanjur jijik dengan Arnetta. Sehingga dari hatinya yang paling dalam ia sudah berjanji kepada dirinya sendiri, bahwa dia tidak akan mau menyentuh wanita itu lagi. "I have no choice, Bro. Aku harus cepat-cepat nikah sebelum Arnetta dan mama mengambil langkah." Ibra dan Nath saling bersitatap, keduanya mengangguk setuju. Kemudian pada saat itu jugalah mereka meninggalkan apartemen Ibra untuk menemui teman-temannya yang bisa disewa untuk melakukan hubungan kontrak. Wanita yang pertama mereka temui adalah Sheila, janda beranak satu, meskipun secara fisik dia sangatlah menggoda, tapi Rafael menolaknya mentah-mentah. "Oh tarif saya cuma satu milyar, itu bukan nominal yang besar untuk servis yang akan diterima teman kamu ini. Saya lihai dalam memuaskan laki-laki," desisnya, yang tentu saja membuat Rafael bergidik. Dia sama sekali tak butuh wanita untuk dia tiduri atau melayaninya di atas ranjang. Ia hanya butuh wanita yang jujur dan dapat menjaga rahasia. Tentu saja ia menginginkan wanita good-looking. Meski hanya pernikahan kontrak, istri kontraknya nanti juga akan menjadi pendamping di kala ia menghadiri pesta dan berbagai pertemuan bisnis. Wanita kedua yang mereka temui bernama Bianca, blasteran cantik yang mempunyai tubuh semampai. "Tentu saja saya bersedia, apalagi teman kamu ini cakep banget," bisik Bianca sambil mengedipkan sebelah matanya dengan genit ke arah Rafael. "Akan ada perjanjian di atas kertas, kan?" tanya Rafael blak-blakan dan to the poin. "Bermaterai kalau perlu," sahut Bianca. "Tapi.... saya punya syarat," lanjut wanita itu dengan suara manja. "Apa itu?" tanya ketiga laki-laki itu bersamaan, sarat akan rasa penasaran. "Kamu harus mengajak saya buat bulan madu ke Paris dan Yunani, saya mau menara Eiffel dan Santorini. Terus saya juga mau mas kawin sedan mewah yang baru saja launching." "T-tunggu dulu ..." Belum sempat Bianca meneruskan kata-katanya, Rafael segera menyela. "Itu semua, yang kamu request tadi, diluar fee sewa kamu?" Bianca mengangguk tersenyum menunjukkan deretan giginya yang putih. "Apa kamu tahu, berapa biaya perawatan tubuh saya setiap bulannya? Tubuh ini selama setahun akan menjadi milik kamu, jadi sudah sewajarnya kan kalau saya memasang harga tinggi?" Bianca menggigit bibirnya, berupaya menggoda Rafael tapi lelaki itu mengacuhkan. Tanpa berpikir panjang lagi, Rafael segera menolak Bianca, ia angkat kaki dari tempat pertemuan mereka. Sesampainya di dalam mobil, Rafael menggeram kesal. "Sorry, aku gak tahu kalau mereka begitu, aku beneran gak tahu kalau mereka bakal masang harga setinggi itu." "Bukan itu masalahnya Ibra, masalahnya adalah, mereka itu gold digger. Dan aku gak mau wanita macam itu, aku maunya wanita yang bisa menjalankan kontrak dengan baik, gak pake syarat macam-macam, aku pasti bayar dengan harga tinggi, asalkan mereka trustable, dan yang terpenting aku gak mau wanita yang terlalu banyak menuntut." Rafael menyetir sembari terus mengomel. Nath memilih diam dan mendengarkan mereka. "Wanita macam itu gak mungkin ada, Bro!" tanggap Ibra kesal. "Ada, pasti ada." "You know what! Wanita yang kamu kenalin aku tadi adalah wanita cerdik dan manipulatif, mereka sudah punya rencana yang mungkin bisa saja berbalik menjadi bumerang buat aku nantinya. Aku gak mau terlibat dengan wanita macam mereka, aku maunya wanita baik-baik, wanita polos kalau perlu sehingga akan lebih mudah buat aku mengendalikannya kalau ada apa-apa," cerocos Rafael, yang segera dimengerti oleh kedua lelaki di dalam mobil tersebut. "Tapi ..." Nath yang memilih diam tiba-tiba saja bercelatuk. "Memangnya ada wanita baik-baik, yang mau disewa jadi istri kontrak?" Gumaman Nath yang sama sekali tak membantu membuat Rafael menggerutu, dia melirik ke arah Nath dengan tatapan menerkam. Serasa ingin memakan temannya itu bulat-bulat. "That's my point!" sahut Ibra setuju. Ciitt!!! Ban berdecit karena Rafael tiba-tiba saja mengerem mobilnya secara mendadak. Sontak dua orang lain di dalam mobil merutuki kelakuan Rafael. *** "Yakin kamu mau nemuin mama kamu? Ini beresiko banget sih, Lana, kata aku." Nabilla masih berusaha menghentikan sahabatnya agar mengurungkan niat untuk mendatangi Lely. Tapi, tampaknya niat Alana tak lagi bisa di cegah. "Ya aku tahu dan paham resikonya, Billa, tapi gimana lagi caranya selain ketemu mama dan nanyain hal ini langsung sama mama?" Alana yang pada dasarnya sedang sangat menghindari bertemu dengan Lely pun akhirnya memaksakan diri. Dia hanya tahu satu hal, masalah tentang hutang piutang ini harus segera diselesaikan. Bagaimana pun caranya. Motor skutik milik Nabilla berhenti tepat di depan sebuah rumah besar berhalaman luas. Rumah yang kini ditinggali Lely dan suami barunya. Oleh sebab itu Alana tak masalah jika harus tinggal terpisah, karena ia seringkali ketakutan melihat ayah tirinya yang kerap menatap dirinya dengan gelagat aneh. "Aku ikut masuk ya?" Nabilla menawarkan diri. "Enggak, gak usah. Kamu doain aja ya, supaya aku bisa menyelesaikan masalah ini. Lagian ini udah mulai petang, sebaiknya kamu pulang aja Billa. Kasihan Tante Rosi." Nabilla pun dengan berat hati akhirnya pulang, meninggalkan Alana menghadapi mamanya sendirian. Dia tahu betul bagaimana watak Lely, yang suka main tangan dan melakukan kekerasan verbal terhadap Alana. Setelah memastikan Nabilla pergi, Alana segera mengayunkan kaki ke area halaman rumah. Manik mata Alana memindai sekitar, mobil ayah tirinya yang bernama Hanung, ada di garasi. Menandakan jika orangnya juga berada sedang berada di rumah. Pelan-pelan ia mengetuk pintu rumah bercat krem itu. Bersamaan dengan ketukan pintu, jantungnya pun memacu lebih cepat dari biasanya. Ada trauma masa lalu yang membuat kaki Alana selalu merasa lemas saat berada di sini, di rumah yang harusnya menjadi tempat ia berlindung dan bernaung. Selang beberapa menit, seseorang membuka pintu. "Mau ngapain kamu kesini?" Lely langsung menyambut kedatangan Alana dengan wajah masam dan nada ujaran yang tak enak di dengar telinga. "Ma, boleh Alana masuk?" tanyanya penuh kehati-hatian. Miris, ini adalah rumahnya, rumah peninggalan sang papa yang harusnya menjadi hak Alana. Tapi untuk memasukinya saja ia bahkan butuh ijin, seperti orang asing yang bertamu. "Masuk!" pekik Lely dengan tidak ramah. Wanita yang sudah mengenakan piyama satin berwarna coklat itu pun duduk dengan cara angkuh. Menatap putri kandungnya dengan penuh kebencian. "Mau apa kamu datang ke rumah mama? Mau pinjam duit lagi?" ketusnya. "Enggak, Ma. Bukan itu, justru Alana kesini karena mau menanyakan tentang sesuatu kepada mama?" Suara Alana tertahan, seketika rasa getir menyeruak memenuhi dadanya. "Soal apa?! Langsung saja, jangan bertele-tele, mama mau keluar sama ayah, mama gak punya banyak waktu!" "Ini tentang sertifikat tanah dan rumah milik nenek, Ma. Kenapa mama menggadaikannya tanpa bicara dulu sama Alana?" Lely melengos, dan tak segera menjawab tanya sang putri. "Itu bukan urusan kamu, Lana! Yang menjadi urusan kamu sekarang ini adalah kamu harus ke rumah keluarga Devan. Kamu harus minta maaf sama mereka, mama gak mau tahu, pokoknya pernikahan kamu sama dia harus tetap terlaksana!" Belum sempat mulut Alana membuka, dan mencoba mempertahankan harga diri serta keputusannya soal Devan, tiba-tiba saja pria yang ia takuti datang, ikut bergabung. "Lho, Alana? Sejak kapan datang? Kok enggak menyapa ayah dulu, nak?" sapanya kemudian duduk disebelah Lely. "Siapin mobil, Mas!" suruh Lely kepada Hanung. "Lho memangnya kita mau kemana?" "Ke rumah pak Atmaraga, kita tidak boleh kehilangan kesempatan emas ini. Devan tidak boleh lepas, Alana harus jadi menikah sama dia. Mama gak peduli gimana caranya, Lana kamu harus ikut dengan kami. Karena cuma ini cara satu-satunya agar rumah dan tanah nenek kamu itu bisa selamat dari sitaan Bank." "Lana gak mau, Ma!" PLAK! Lely layangkan pukulan ke pipi putrinya, wanita kasar itu pun dengan serampangan menarik lengan Alana dan memaksanya berjalan menuju mobil di garasi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD