Red Flag!

1350 Words
"Mas Rafa, anda dari mana saja? Kami sangat mengkhawatirkan anda," ujar sang pelayan yang telah bekerja puluhan tahun pada keluarganya. Melihat gelagat Rafael yang tak seperti biasa, Pak Yos tahu ada sesuatu yang tak beres. "Pak Yos sini, saya ingin bicara sesuatu," panggil Rafael. Segera Pak Yos mendekati tubuh Rafael yang terduduk linglung di sofa. "Tolong hubungi Wedding organizer yang mempersiapkan pernikahan saya. Bilang pada mereka untuk membatalkan semuanya. Bilang juga sama mereka saya tidak memerlukan pengembalian dana," ujar Rafael yang sontak membuat Pak Yos terperanjat. "S-serius Mas?" "Lakukan saja, sesuai apa yang saya perintahkan,” kata Rafael sembari mengurut keningnya. Matanya nanar pandangi sekitar. "Ada apa sebenarnya? Mas Rafael bisa cerita sama saya," Pak Yos kemudian duduk disamping pria muda yang terlihat berantakan itu. "Hubungan saya dan Arnetta sudah berakhir, Pak,” jelas Rafael tanpa mau menjelaskan lebih jauh. "Loh, kok bisa?!" Pak Yos membelalakkan matanya lebar-lebar. "Apa Mas Rafael sudah lupa dengan apa yang Nyonya Cassandra katakan tempo hari?" "Mengenai kepemimpinan perusahaan?“ sahut Rafael cepat. Pak Yos pun mengangguk. Rafael menghela nafas berat. "Om Atmaja, mana mungkin mama melakukan hal itu, Pak.“ Rafael masih menganggap enteng ancaman sang mama. “Nyonya Cassandra tidak pernah main-main dengan ucapannya, Mas Rafa. Kan mas tahu sendiri bagaimana watak Nyonya,” urai Yos. Rafael menghembus nafas kasar. "Jadi saya harus apa, Pak?" "Pak Yos gak tahu Mas, tapi yang jelas Mas Rafa harus tetap menikah tahun ini, hanya itu solusi untuk semua kepelikan ini,” tanggap Yos yang semakin membuat kepala pria muda di dekatnya itu pusing bukan kepalang. Belum selesai masalah percintaan yang ia hadapi, kini ia harus mencari cara agar perusahaan dan harta warisan yang ia incar tak jatuh di tangan Atmaja, adik dari papanya. Pria muda berambut cokelat yang selalu disisir kebelakang itu mendengus kesal. "Maksud Pak Yos saya harus tetap nikah sama Arnetta?" tanyanya pada Pak Yos. "Siapa lagi Mas?" Pak Yos menjawab. "Sama perempuan kotor itu?" balik Rafael. "Saya gak sudi nikah sama dia, Pak. Hubungan ini sudah saya akhiri." imbuh Rafael. "Sebenarnya ada apa sih, Mas?" Yos tak bisa menahan rasa penasarannya. "Sudahlah, saya tidak ingin membahasnya, tolong suruh supir mempersiapkan mobil satunya. Saya ingin mampir ke kafe sebentar. Gara-gara kesibukan kemarin saya tidak kesana sama sekali. Saya ingin memastikan keadaan kafe baik-baik saja, bagaimana pun itu adalah amanah dari papa yang harus terus saya jaga." "Siap Mas!" Pak Yos menjawab sigap. *** "Sori, aku gak bisa nemenin kamu nemuin MUA. Sama Nabila aja ya? aku ada urusan. Urgent banget," jelas Devan kemudian memungut jas yang digantung dan sudah dicuci kan oleh Alana. Tiga hari lalu, Devan datang tengah malam dalam keadaan mabuk berat. Lelaki itu mengotori jas mahalnya. Alana kemudian berinisiatif untuk membantu membersihkan jas tersebut. Tapi lelaki tak tahu berterima kasih itu malah mendorong tubuh Alana hingga membentur tembok, disaat Alana berusaha bermaksud melepaskan jas itu untuk kemudian ia cucikan. Alana menghela nafas perlahan, mencoba mengerti kesibukan Devan sebagai manager di perusahaan besar memang menyita waktu. Sesaat kemudian, dia mengangguk mengiyakan. Namun belum sempat Alana mengatakan apapun, tunangannya itu sudah pergi begitu saja tanpa menunggu jawaban Alana. Lelaki itu terlihat sangat tergesa-gesa. Dari jendela rumahnya ia melihat mobil berlogo cincin bertaut yang dikendarai Devan menderu dan terpacu laju. Seakan Devan sedang sangat terburu-buru hingga tak mau membuat seseorang yang mempunyai janji dengannya yang entah siapa itu menunggu terlalu lama. Alana mengambil ponsel yang tadi ia geletakkan di meja. Rambutnya yang panjang dan hitam tergerai cantik. Tangan kirinya memijit-mijit atas alisnya setelah melepas kacamata yang hampir dua puluh jam selalu bertengger di wajahnya. Gadis pemilik mata bulat berwarna cokelat itu memang cantik. Sangat cantik malah. Hanya saja tak pandai berdandan. Ia selalu merasa insecure akan penampilan dan wajahnya. "Bill, temenin aku ke MUA ya?" kata Alana saat Nabilla mengangkat panggilan teleponnya. "Loh, bukannya Devan tadi bilang mau nemenin kamu?" "Dia lagi ada urusan, gak tahu kemana," urai Alana dengan nada kesal. "Kebiasaan tuh cowok, eh tapi aku lagi di kafe Kopi Barata nih. Kamu yang kesini aja bisa kan, Lana?" tanya Nabila memastikan. “Sip, kalau gitu aku cari ojek dulu.“ "Okay, see you!" ujar Nabilla kemudian menutup percakapan. *** Kafe Barata terletak di tengah Kota. Tempatnya sangat nyaman untuk sekedar bersantai ataupun pertemuan dengan klien. Tempatnya yang luas dengan penataan interior apik. Terdiri dari tiga lantai. Setiap lantai mempunyai fungsinya sendiri-sendiri. Lantai satu untuk para mahasiswa dan orang-orang yang ingin menikmati kopi dengan konsep outdoor yang nyaman. Lantai dua dibuat lebih tepat digunakan untuk pertemuan bisnis. Kesan elegan dan sedikit resmi menjadi konsep untuk lantai dua. Dan lantai tiga pas untuk para pasangan karena suasananya yang romantis. Alana berjalan tergesa karena sadar telah membuat Nabilla menunggu cukup lama. Perkiraan untuk sampai disana dalam waktu kurang dari dua puluh menit molor jadi hampir satu jam gara-gara taksi online yang dipesannya mengalami ban bocor. Nabilla sudah mengatakan bahwa ia sedang menunggu di lantai tiga. Sesaat setelah menjejakkan kaki di kafe berlantai tiga itu matanya langsung memindai sekitar mencari keberadaan tangga yang menghubungkan lantai satu ke lantai atasnya. "Selamat sore kak, selamat datang ... " sambut salah seorang pramusaji. "Makasih," balas Alana sambil membenarkan letak kacamata besar yang sedikit melorot karena ia berlari tadi. Ia langsung berjalan menuju tangga yang mengular di tengah ruangan. Matanya masih tak fokus entah karena apa. Bukannya berkonsentrasi pada anak tangga yang ia lalui matanya malah sibuk berkeliling memandangi interior kafe yang memang sangat memukau. Air mancur kecil yang berada di pojok ruangan dihiasi lampu kerlap kerlip begitu menarik perhatiannya. Hingga tak sadar kakinya tak menjejak dengan benar di anak tangga. Bukannya mencari pegangan ia malah memejam mata seolah pasrah jika tubuhnya terpelanting ke belakang. "Aaaaaa .... " ia berteriak kencang mempersiapkan diri menahan rasa sakit jika tubuhnya menghantam anak tangga serta lantai di bawahnya. "Aaaaa .... " imbuhkan teriakan yang semakin ia tinggikan. "Aaaaa .... " lagi tapi aneh, setelah beberapa detik tubuhnya seperti ditahan sesuatu hingga tak sampai membentur lantai di bawahnya. "Aa," "Stop!!" suara ketus seorang lelaki meneriakinya. Dengan ragu-ragu Alana menoleh ke belakang. Satu Dua Tiga Wajah Alana beradu dengan wajah pria tampan yang ternyata menangkap tubuhnya. Wajah mereka hanya berjarak beberapa milimeter saja. Bukannya segera mencari pegangan untuk menopang tubuhnya sendiri, Alana malah tercekat tanpa bergerak sedikitpun. Ia seolah tersihir dengan mata tajam sang pria tampan. Aroma musk yang tercium dari tubuh sang pria begitu memikatnya. "Bodoh! cepatlah berdiri, sebelum aku melemparmu ke lantai!" teriak pria itu tiba-tiba. Alana sontak tersadar. Ia menelan salivanya yang tadi hampir menetes karena melihat ketampanan sang pria yang diatas rata-rata itu. "M-maaf," Alana segera mencari pegangan kemudian berdiri di salah satu anak tangga. Sang pria tak menjawab dan berlalu begitu saja meninggalkan Alana yang terpaku dan belum sepenuhnya sadar dengan apa yang terjadi. Mata bulat Alana ikuti langkah sang pria menuju salah satu sudut kafe. Beberapa pramusaji langsung menyambut dan menyiapkan minuman untuk pria yang tampak angkuh itu. Alana mendengus, dan tanpa berpikir panjang langsung mengklasifikasikan pria itu ke dalam golongan kaya dan arogan. Ketampanannya jadi tak berarti jika sudah dilabeli sifat arogan. "Lana!" panggil Nabilla di ujung tangga lantai dua. Teriakan Nabila membuat kesadaran Alana terkumpul kembali, setelah sebelumnya sempat terberai karena sang pria tampan. Ia juga jadi kembali teringat maksud dan tujuan awal kedatangannya, yang tak lain adalah untuk menemui Nabilla yang akan menemaninya untuk bertemu MUA alias make up artist yang akan merias untuk acara pernikahannya. "Malah ngelamun, ada apaan sih?" tanya Nabilla penuh selidik, perempuan yang agak tomboi itu melongok ke kanan kiri mencari sesuatu yang kiranya menyita perhatian Alana. "Eng-gak, gak ada apa-apa kok!" jawab Alana singkat kemudian menggandeng tangan Nabila menuju lantai paling atas. "Sori ya Bill, jadi terlambat deh. Ban mobil taksinya bocor, udah gitu tukang tambal bannya jauh lagi. Barusan aku telepon Mua-nya, katanya lagi nemuin customer lain dulu, gara-gara nungguin akunya kelamaan," jelas Alana. "Santai aja Lana, kita kan udah lama gak ngafe. Mumpung sekarang kita masih ada waktu berduaan. Kalo kamu udah nikah, pasti sibuk ngurusin si Devan. Ya nggak?" celoteh Nabila yang langsung diangguki oleh Alana. Ia kemudian sadar, bahwa sebenarnya ia belum sepenuhnya siap menghadapi pernikahan ini. Terlebih dengan sikap yang calon suaminya tunjukkan akhir-akhir ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD