Pasir pantai yang hangat

1296 Words
"Kamu mau pesan apa, Lan?" tanya Nabilla sambil memperlihatkan buku menu kepadanya. "Hot cappuccino aja deh," jawab Alana singkat sekenanya. Ia sedang tidak fokus sekarang, kepalanya dibebani terlalu banyak pikiran. Nabilla mengerutkan dahi, ia merasa ada yang aneh dengan sikap Alana sejak tadi. "Ada apaan sih, Lana? Kalau ada apa-apa cerita donk.“ "Jadi gini,” kata Alana membuka perbincangan. “Entah kenapa, aku tuh ngerasanya Devan itu enggak cinta sama aku," celetuk Alana kemudian hembuskan nafas berat, matanya nanar menembus kaca jendela bening di sampingnya. Dari sini ia bisa melihat langsung parkiran di depan kafe. "Kamu tuh ngomong apaan sih, dia tuh cinta sama kamu. Pake banget!" jawab Nabilla penuh keyakinan. "Jujur aja, aku tuh gak bisa ngerasain cinta itu, dia itu dingin dan bahkan seringkali acuh banget sama aku. Terus pas kita jalan bareng tuh, Devan kelihatan banget gak nyaman gitu, " urai Alana. "Perasaan kamu aja kali, jangan sensitif gitu ih. Kayak testpack aja," tanggap Nabilla receh. Alana terdiam lagi, kemudian membuang pandangan ke arah luar jendela. Hujan rerintik jatuh dari langit perlahan. Gumpalan awan putih membuat suasana semakin muram, semuram hatinya. Rasa insecure yang timbul di dalam dirinya tak terbantahkan. Mata bulatnya tiba-tiba saja membelalak dibalik kacamata besarnya. Sebuah mobil yang mirip dengan milik Devan berhenti tepat di depan kafe. Kemudian perlahan memasuki area parkir. "Lihatin apaan sih, kamu Lan?" tanya Nabilla ingin tahu. Namun Alana tak merespon, ia terlalu fokus pada targetnya sekarang. Mobil itupun sudah terparkir rapi, tak berapa lama seorang pria yang sangat ia kenal keluar dari balik kemudi. Langkah pria itu cepat, terkesan agak terburu membuka pintu di sebelah lain. Lalu seorang perempuan muncul dari balik pintu mobil satunya, Devan menggenggam tangan perempuan berpakaian ketat nan seksi itu mesra. "Ini pasti cuma mimpi! Bangun Lana, bangun!" Alana mencubiti tangannya sendiri, sekedar memastikan bahwa sekarang ia sedang tidak bermimpi. "Lana, kamu itu kenapa?" panik Nabilla yang hampir tersedak strawberry smoothie-nya. "Dev, Devan, Billa" ucap Alana terbata-bata sambil menunjuk ke arah bawah. "Siapa?“ "Gak ada siapa-siapa," sanggah Nabila yang sebenarnya dari tadi memang sibuk berkutat dengan ponselnya hingga tak sadari apa yang baru saja dilihat Alana. Air mata Alana tak dapat terbendung, ia langsung berdiri dari duduknya, perempuan itu kemudian tertartih turun menuju lantai satu. Nabilla pun sigap mengekori langkah Alana. Meski ia tak tahu apa yang terjadi, tapi ia yakin pasti ada sesuatu, kalau tidak, tak mungkin Alana tiba-tiba saja menangis. Terlebih ini adalah tempat umum, bukan kamar. Langkah keduanya baru sampai di tangga yang terhubung langsung ke lantai satu, ketika mereka berhadapan dengan dua sejoli yang bergandengan mesra. "Devan!" lirih Alana tak mampu percayai apa yang netranya tangkap. Pria yang ia panggil Devan membelalak kaget. "K-kamu, " Alana terbata. Luncuran air mata membasahi dua pipinya. "Alana? " sang perempuan yang digandeng Devan bereaksi, ia segera melerai gandengan tangannya. "Lana, aku bisa jelasin semuanya, kamu salah paham, apa yang kamu lihat gak seperti apa yang kamu pikirin," teriak perempuan itu maju beberapa langkah dekati tubuh Alana yang mematung. “Hmm, aku tadi tuh cuma nemenin Devan makan, kita lagi bicarain buat proyek baru kita. Iya kan Dev?" jelas perempuan bernama Clarissa tersebut. Clarissa Hartanto tak lain adalah teman SMA Alana. Mereka cukup dekat, akan tetapi akhir-akhir ini, tepatnya setelah Devan melamar Alana. Clarissa menjauh dan jarang sekali membalas pesan Alana. Perempuan itu sendiri sebenarnya sudah mempunyai calon suami, yang kabarnya adalah salah satu petinggi di daerah. "Ya kan, Dev?" Clarissa melirik Devan yang bergeming. Mengatupkan rahang. Tampak sekali di wajahnya kalau ia sedang kesal. "Enggak! semua itu emang benar Lana. Aku sama Clarissa memang ada hubungan. Kami saling mencintai. Kalau bukan karena hutangku sama orang tua kamu, aku gak mau tunangan sama kamu!" cerca Devan yang seketika membuat d**a Alana seakan meledak. "Devan! Kamu ngomong apaan sih?! " Clarissa mencoba menghentikan cerocosan dari mulut besar Devan. "Nggak, Sayang, aku udah capek pura-pura. Capek harus membohongi diriku sendiri. Selama ini aku cintanya sama kamu. Bukan sama perempuan cupu dan jelek kayak dia. " hardik Devan tanpa perasaan. "Dasar b******k Lo!“ balas Nabila penuh amarah. "Eh lo gak usah ikut-ikutan ya, lo itu bukan siapa-siapa." balik Devan murka. "Elo tuh gak nyadar ya? udah ditolongin malah gak tahu diri-" pekik Nabila meninggikan suara. “Stop! Udah cukup!" teriak Alana kemudian setengah berlari menapaki tangga ke lantai satu. Menerobos tubuh beberapa pengunjung yang terpancing karena keributan mereka. Ia benar-benar tak tahu kalau hubungan dia dan Devan adalah rencana orang tuanya. Ia sama sekali tak menyangka mamanya yang matre itu akan membuat harga dirinya jatuh dan terinjak seperti ini. Dengan memohon seseorang yang tidak mencintainya untuk menikahinya tentu membuat harga diri seorang Alana bak dilempar sejatuh-jatuhnya. Alana berlari pergi dari kafe itu, tak lagi pedulikan semua mata memandangnya dengan tatapan campur aduk. Namun jauh di pojok kafe ada seorang pria yang diam-diam menyaksikan semuanya. Pria yang diam-diam mempunyai rencana untuk dirinya. *** "Halo,” “Ginar, tolong kamu ikutin perempuan yang baru saja keluar dari kafe. Hubungi saya jika kamu sudah menemukan dimana posisinya," perintah Rafael pada Ginar, pengawal pribadinya. "Siap Pak Rafa," sigap Ginar kemudian membuntuti langkah Alana. *** "Selamat sore Pak Rafa, saya sudah menemukan dia. Kalau perlu saya bisa menjemput anda dan mengantarkan anda kepada perempuan itu," ujar Surya dibalik telepon. “Nggak perlu. Biar saya yang kesana, kamu awasi terus dia, jangan biarkan dia pergi sebelum saya datang,” perintah Rafael. "Siap Pak!" Dalam hati Ginar, bertanya-tanya, ada apa gerangan bosnya menemui perempuan berkacamata besar itu. Dia tahu betul selera bosnya bukan perempuan seperti ini. Bisa ia katakan perempuan itu tidak memenuhi standar kecantikan seorang tuan muda dari keluarga Dimitri. *** Alana menggeleparkan diri di pinggir pantai, dibenamkannya kaki telanjang itu ke pasir putih yang masih hangat. Mata sembabnya menatap sang senja yang sebentar lagi bersembunyi. Planet Venus tampak terang hari ini. Langit yang tadinya mendung muram entah kenapa berubah terang seakan sang alam memberi sebuah pertanda padanya. Ia selalu berlari ke tempat ini setiap ada masalah. Hanya disinilah ia bisa merasa tenang. “Pa, Alana kangen. Tanpa papa, hidup Alana tidak bahagia. Mama tidak pernah berubah, bahkan mama tega memaksa laki-laki yang tidak mencintai Alana untuk mau menikahi Alana, pa. Papa inget gak dulu, papa selalu bilang kalau lebih bagi wanita untuk dicintai daripada mencintai?“ “Ehem, ngomong sapa siapa sih?“ celetuk sebuah suara yang tiba-tiba muncul dari belakangnya. Alana terperanjat, ia kemudian menoleh ke kanan dan kiri memastikan tak ada orang lain selain dirinya. Ia lalu menatap seorang pria yang tak asing itu dengan perasaan heran. Apa yang ia lakukan disini? Apakah pria itu membuntuti dirinya? Namun, buat apa seorang pria tampan yang terlihat kaya itu membuntuti perempuan seperti Alana? "Perempuan bodoh!" ejek sang pria, ia lalu dengan santainya duduk di sebelah Alana. Sambil sedikit kerepotan melepas sepatu Oxford-nya. Alana mengernyitkan dahi, lalu membenarkan letak kacamata, untuk melihat penampakan pria itu dengan seksama. "Anda berbicara dengan saya?" tanya Alana polos. "Bukan, aku sedang bicara pada pasir-pasir pantai yang putih dan hangat ini," bisiknya lirih mendekati ke arah Alana. Embusan nafas harum sang pria menelisik belakang telinga Alana. Memberikan desir aneh yang tak Alana pahami. "Kamu siapa?" Alana ketakutan, ia menjauhkan dirinya dari Rafael. "Apa kamu benar-benar gak ingat aku siapa?" geram Rafael. Alana menggeleng. Mata dan hatinya tahu kalau pria ini tidak asing, ia pernah melihatnya. Tapi otaknya tak mau bekerja sama, bahkan untuk sekedar mengingat dimana ia bertemu pria ini. "Kamu pasti becanda kan?" Rafael tak sabar hingga sedikit tinggikan nada suara. Ini sebuah penghinaan, biasanya perempuan jika sekali saja melihatnya tak akan pernah bisa lupa dengan ketampanannya. "Maaf, aku benar-benar gak ingat kamu siapa,” lirih Alana sedikit ketakutan karena gertakan Rafael. "Yang benar saja, ternyata kau tak hanya 'bodoh' tapi kau benar-benar bodoh!!“ Pria itu tinggikan lagi suaranya hingga membuat nyali perempuan didepannya semakin menciut. Alana langsung menundukkan wajahnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD