Chapter 2

1083 Words
Pedro POV Aku mengembuskan napas lega, saat terbangun sendirian. Dalam artian Agusta tidak tampak dalam jangkauan mataku. Mungkin setan itu sudah bosan mengikutiku. Aku pun berganti pakaian dengan celana training dan baju kaus. Berniat untuk joging. Saat keluar dari kamar, mataku bertemu pandang dengan Ibu yang baru saja pulang. Refleks aku tersenyum menyapanya. "Pagi Ma, hari ini off?" tanyaku. Ibuku adalah seorang dokter bedah. Itu sebabnya, beliau selalu sibuk dan jarang sekali ada di rumah. Ibu mengangguk sambil mengunyah popcorn. Beliau sibuk menonton anime!? Tunggu dulu ... kenapa dua tokoh laki-laki dalam anime itu saling berpelukan? "Sejak kapan Mama suka menonton anime seperti ini? Itu film tentang apa?" tanyaku penasaran, sedikit waswas, mengingat adegan berikutnya, di film itu adalah ciuman antar dua orang laki-laki. Ibu langsung memutar kepalanya menghadap padaku. Dia menatap datar padaku, ekspresi standarnya. "Sejak dua jam yang lalu, saat tetangga kita, Agusta datang kemari dan memberi mama film ini, kalian pacaran?" WTF!? "Ap-apa maksud, Mama?" "Tidak usah disembunyikan, Pedro. Mama tidak keberatan kok, dia kaya soalnya," jawab ibuku santai, kembali menonton kembali anime laknat pencuci otak itu. Saat ini, daripada penasaran kenapa Ibu mengira kami berpacaran, aku lebih penasaran apa yang dikatakan setan itu ke ibuku. Sampai-sampai beliau santai saja, mengizinkan aku berpacaran dengan sesama pria. Kalau aku seorang laki-laki gemulai, aku mungkin bisa mengerti. Masalahnya adalah, sejak lahir hingga sekarang gaya hidupku sangat manly. Tinggi badanku 184 cm, dengan otot di seluruh tubuh. Kulitku berwarna cokelat gelap, potongan rambut cepak gaya tentara. Bahkan hobiku karate, sepak bola dan kick boxing. Apa yang ada di pikiran ibuku, hingga beliau bisa berpikir laki-laki lurus seperti ku, berpacaran dengan seorang pria? Terlebih seorang om-om berkulit putih bersih dan terlihat selalu modis. Lalu ... yang terpenting, SEJAK KAPAN KAMI PACARAN!? "Aku pergi dulu, Ma," pamitku, seraya mengecup pipi Ibu. Sementara beliau masih sibuk dengan anime laknat itu. Aku langsung berlari keluar, melupakan niat olah raga pagiku. Berniat ke rumah sebelah untuk protes. Namun, langkahku terhenti saat mendengar perkataan ibuku selanjutnya. "Oh ya, Pedro. Mama lupa bilang, kalau Agusta ada di halaman samping rumah kita. Dia sedang memperbaiki jendela kamarmu." "Apa!? Jendela kamar aku baik-baik saja, Ma. Kenapa Mama izinkan?" Sial! Aku mulai curiga, rasanya memang terlalu aneh, jika si setan bosan secepat itu. Dia pasti sedang melakukan sesuatu dengan jendela kamarku. "Karena dia pacarmu," jawab Ibu santai. Lalu beliau kembali sibuk menonton. "SETAN ITU BUKAN PACARKU, MA!! AKU INI TIDAK HOMO!!" jelasku, sambil berteriak. "Tidak usah malu-malu seperti itu, Nak. Kamu pintar cari calon suami kok. Sudah sana temui Agusta, jangan ganggu mama." "AGUSTA SEUMURAN SAMA MAMA LHO!! MAMA MASIH MIKIR DIA CALON SUAMI YANG BAGUS BUAT AKU?" "Yang penting kaya dan tampan! Umur tidak penting, Pedro. Sudah, sana pergi! Mama sibuk!" Melihat ibuku yang dengan santainya menikmati popcorn, seraya mengusirku, aku menyerah. Segera berlari ke halaman samping untuk menghajar si setan. Karena sudah ngomong seenaknya ke ibuku. Namun begitu sampai di samping rumah, aku dibuat shock! "Eh, Bunny sudah bangun!" Si setan langsung mendekatiku. Sebelum aku sadar, ia telah menciumku. Eh? Apa tadi ... dia baru saja, MENCIUMKU? "s**t! LEPASKAN, SETAN!!" makiku, sambil mendorong tubuhnya menjauh dari ku. "BERHENTI TERUS MEMELUK DAN MENCIUMKU SEENAKMU!!" Kemudian aku berteriak memprotes padanya, tapi dengan entengnya, Agusta mengabaikan teriakanku. "Kamu suka hasil karyaku, Bunny?" Ia bertanya, masih dalam posisi memelukku dari samping. Seraya memamerkan sesuatu yang membuatku shock tadi. "Tidak!! Jangan seenaknya membuat balkon seperti itu!?" Refleks aku menyikutnya, tapi gagal. Agusta keburu melepaskan aku. Ia berpindah tempat, berpose sok ganteng di depanku. Bukan berarti dia ganteng! Walaupun bentuk wajahnya sangat memesona, dengan rambut ikal seksi, tubuh tegap tinggi sekitar 190 cm atau lebih. Lalu otot-otot terlatih yang terpantul jelas dari balik kemeja putih yang dikenakannya, ditambah dengan bola mata hazel yang memikat dan bibir tipis menggoda itu. Si setan tidak ganteng! Setan itu tua! Dia om-om m***m tidak tahu diri yang jelek! Tidak ganteng sama sekali! "Itu jembatan penghubung cinta kita, Bunny," balas si setan dengan cengiran mesumnya. Aku mendengus menatap hasil karya ilegalnya. Sebuah balkon di jendela kamarku, yang dilengkapi jembatan selebar satu meter. Terhubung langsung dengan balkon kamarnya, yang berjarak kurang lebih sepuluh meter dari jendela kamarku. Mengingat rumah kami berdua memiliki halaman yang cukup luas. Kurang gila apalagi si setan satu ini? Jika membangun benda penghancur privasi itu, dalam waktu dua jam, dengan mempekerjakan sekitar dua puluh orang tukang bangunan, tanpa izin pula!? Jika ini yang dia sebut sebagai memperbaiki jendela, maka apa yang akan dia lakukan jika mengatakan ingin merenovasi rumah? Dasar berlebihan!! Setan gilaaa!! "Sialan!! Apanya yang penghubung cinta! Kita bahkan cuma 'nothing'!" balasku sinis. Hilang sudah tenagaku untuk memukulnya. Lagi pula percuma juga, si setan sangat jago mengelak. "No!! No!! Bunny! Kamu adalah milikku! Itu artinya kita pacaran." Agusta menggoyang-goyangkan jari telunjuknya ke kanan dan ke kiri. Seenaknya mendeklarasikan hubungan pemaksaan itu, dengan nada bicara riang gembira. "AKU BUKAN PACARMU DAN AKU TIDAK MAU MENJADI PACARMU!! AKU INI NORMAL!! BUKAN HOMO!!" bentakku kasar. Ya, aku normal! Aku suka d**a perempuan, suka melihat b****g bulat indah dengan paha putih mulus Deliah, tetangga depan rumahku yang pengantin baru itu. Bukan homo penyuka om-om seksi. Salah, om-om m***m b***t maksudku! Namun sialnya, Agusta seolah tidak terpengaruh sedikit pun dengan bentakanku. Dia malah dengan santainya meremas batangku. "GYAAA!!" "HIII ... MENJAUH KAU, OM-OM m***m!!" Refleks aku mundur sejauh mungkin dari setan yang kini, telah berdiri berhadapan denganku. Melotot tajam ketika melihat senyuman miring mengejek itu, terpampang dengan jelas. "Batangmu mengeras lho, Bunny! Yakin bukan gay? Mau aku bantu melemaskannya?" tanya genit, seraya menjilati bibirnya m***m. "BUKAN!! ENAK SAJA! AKU TIDAK SUKA LAKI-LAKI!! TIDAK PEDULI SETAMPAN APA KAU, SETAN!" umpatku lagi. Membantah segala tuduhannya. "Oh ... jadi menurutmu, aku tampan, Bunny?" Si setan tambah menyeringai, menatapku dengan pandangan lapar siap menerkam. Tubuhku gemetaran, berkeringat dingin. Merasa terancam oleh kilat mata bernafsu itu. "Ta-tadi aku salah bicara! Siapa bilang kau tampan! Kau itu tua bangka m***m tidak tahu diri!" Agusta mendekat. Entah bagaimana bisa, si setan telah mendorongku hingga menabrak dinding rumahku sendiri. Ia berdiri di hadapanku, mengurungku dengan lengan kekarnya. Kemudian ia mendekatkan wajahnya, hingga aku bisa merasakan napas berat itu di wajahku. "Bunny, buka mulutmu," ucapnya genit. Matanya mengunci tatapan mataku. Sorot matanya begitu teduh, entah kenapa terasa menenteramkan bagiku. Deg ... deg ... deg .... Sesuatu dalam diriku berdesir. Jantungku berdegup amat keras, meremas dengan kuatnya. KUPIKIR, MULAI SAKIT JANTUNG! Bodohnya aku, entah kenapa, aku malah membuka mulutku. Membiarkan Agusta menyusupkan lidahnya. Diam saja, membiarkan ia memeluk pinggangku erat, tapi bukan berarti aku gay! Aku hanya terhipnotis oleh tatapan mata berpelet itu.      
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD